WAWASAN
KEBANGSAAN
Pengertian Wawasan Kebangsaan
Indonesia
Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa yaitu
mawas yang artinya memandang atau melihat, jadi kata wawasan dapat diartikan
cara melihat atau cara pandang. Sehingga Wawasan Kebangsaan Indonesia
adalah cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai
negara kepulauan dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya,
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Selain pengertian Wawasan Kebangsaan Indonesia
diatas. Prof. Muladi, Gubernur Lemhannas RI, meyampaikan bahwa wawasan
kebangsaan indonesia adalah cara pandang bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Wawasan kebangsaan dapat juga diartikan
sebagai cara memandang / sudut pandang yang mengandung kemampuan seseorang atau
kelompok orang untuk memahami keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam
memandang dirinya dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsa dalam
lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Suhady dan Sinaga, 2006).
Wawasan Kebangsaan Indonesia juga dikenal
sebagai sebuah pedoman yang masih bersifat filosofia normatif. Sebagai
perwujudan dari rasa dan semangat kebangsaan yang melahirkan bangsa Indonesia.
Akan tetapi situasi dan suasana lingkungan yang terus berubah sejalan dengan
proses perkembangan kehidupan bangsa dari waktu ke waktu. Wawasan Kebangsaan
Indonesia harus senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembagan dan
berbagai bentuk implementasinya.
Makna Wawasan Kebangsaan
Wawasan Kebangsaan bagi bangsa Indonesia
memiliki berbagai makna, salah satunya adalah:
- Wawasan kebangsaan mengamanatkan kepada seluruh bangsa
agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan
bangsa di atas kepentingan individu atau golongan.
- Wawasan kebangsaan tidak memberi tempat pada
patriotisme yang licik
- Wawasan kebangsaan mengembangkan persatuan Indonesia
sedemikian rupa sehingga asas Bhinneka Tunggal Ika dipertahankan.
- NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
bertekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera
lahir batin, sejajar dengan bangsa lain yang sudah maju.
- Dengan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh pandangan
hidup Pancasila, bangsa Indonesia telah berhasil merintis jalan menjalani
misinya di tengah-tengah tata kehidupan di dunia.
Nilai Dasar Wawasan Kebangsaan
Nilai Wawasan Kebangsaan yang terwujud dalam
persatuan dan kesatuan bangsa memiliki 6 dimensi yang bersifat mendasar dan
fundamental, yaitu sebagai berikut:
- Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
- Cinta atas tanah air dan bangsa.
- Demokrasi atau kedaulatan rakyat.
- Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas,
merdeka, dan besatu.
- Masyarakat adil-makmur.
- Kesetiakawanan sosial.
Mengapa Wawasan Kebangsaan Harus Ada ?
Wawasan
Kebangsaan merupakan konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia
sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk
dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan,
yang mempersatukan bangsa dan negara secara menyeluruh mencakup segenap bidang
kehidupan nasional yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan
hankam.
Wawasan
Kebangsaan sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi
pemikiran politik bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan,
secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin
nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif.
Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional
yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, ekonomi, politik, sosial
budaya dan pertahanan keamanan.
Landasan
Wawasan Kebangsaan
- Konstitusional ==> UUD 1945
- Idiil ==> Pancasila
Terdapat
3 Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan, Yaitu:
- Wadah (Contour)
- Isi (Content)
- Tata laku (Conduct)
Berikut
penjelasan dari ke 3 Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan diatas.
Wadah
(Contour)
Wadah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mencakup seluruh wilayah
Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk
serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yang
merupakan wadah beragam kegiatan kenegaraan dalam bentuk supra struktur politik
dan wadah dalam kehidupan bermasyarakat pada berbagai kelembagaan dalam bentuk
infra struktur politik.
Isi
(Content)
Isi
(Content) merupakan aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita
serta tujuan nasional.
Tata
laku (Conduct)
Hasil
interaksi antara wadah dan isi wawasan kebangsaan akan berwujud tata laku, yang
terdiri dari :
- Tata laku Lahiriah yaitu
tercermin dalam perbuatan, tindakan dan perilaku dari bangsa
Indonesia.
- Tata laku Bathiniah yaitu
mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa
Indonesia.
Kedua
tata laku tersebut mencerminkan identitas kepribadian / jati diri bangsa
berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang mempunyai rasa bangga dan cinta
terhadap bangsa dan tanah air sehingga menyebabkan rasa nasionalisme yang
tinggi dalam segala aspek kehidupan nasional.
Asas Wawasan Kebangsaan
Merupakan
ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, dipelihara, ditaati dan
diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya unsur / komponen
pembentuk bangsa Indonesia (golongan/suku) terhadap kesepakatan (commitment)
bersama. Asas Wawasan Kebangsaan terdiri dari:
- Kepentingan/Tujuan yang sama
- Solidaritas
- Keadilan
- Kerjasama
- Kejujuran
- Kesetiaan terhadap kesepakatan
Hakekat Wawasan Kebangsaan
Hakekat
Wawasan Kebangsaan Adalah keutuhan nasional / nusantara, dalam pengertian cara
pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi
kepentingan nasional.
Berarti setiap warga negara dan
aparatur negara wajib berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh
dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang
dihasilkan oleh lembaga negara.
Hubungan
Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Nasional
Dalam
penyelenggaraan kehidupan nasional agar senantiasa mengarah pada pencapaian
tujuan nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokoh berupa
konsepsi wawasan kebangsaan untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta kepentingan
dan tujuan nasional.
Wawasan
nasional bangsa Indonesia merupakan wawasan nusantara yang tidak lain adalah
pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. sedangkan
ketahanan nasional adalah kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian
tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa wawasan kebangsaan dan Ketahanan Nasional merupakan dua
konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman bagi penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya.
Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik
Indonesia
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas
tentang pengertian dan penjelasan wawasan nusantara sebagai geopolitik
Indonesia. dalam pembahasannya kita juga akan melengkapi dengan menyajikan
Hakikat dan Kedudukan Wawasan Nusantara, Pengertian Geopolitik, Teori-Teori
Geopolitik serta masih banyak lagi. Pertama-tama kita akan mengawalinya dengan
membahas Pengertian Wawasan Nusantara secara umum, berikut pembahasannya.
Pengertian Wawasan Nusantara
Garis-garis besar haluan negara
(GBHN) 1998
Pengertian wawasan nusantara menurut GBHN 1998
adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam
meyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kelompok Kerja LEMHANAS
(Lembaga Pertahanan Nasional) 1999
Pengertian wawasan nusantara menurut Kelompok
Kerja LEMHANAS 1999 adalah cara pandang dan sikap bangsa indonesia mengenai
diri dan lingkungan yang beragam dan bernilai startegis dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional.
Prof.
Dr. Wan Usman
Pengertian wawasan
nusantara menurut Dr. Wan Usman adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai
diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan
yang beragam.
Pengertian Wawasan Nusantara
Secara Etimologi
Secara etimologis, Wawasan Nusantara berasal
dari kata Wawasan dan Nusantara. Wawasan berasal dari kata Wawas (bahasa jawa)
yang memiliki makna tinjauan, pandangan dan penglihatan indrawi. Jadi wawasan
adalah tinjauan, pandangan dan penglihatan indrawi. Wawasan berarti pula cara
melihat dan cara pandang.
Sedangkan Nusantara berasal dari kata nusa dan
antara. Nusa artinya pulau atau kesatuan kepulauan. Antara artinya menunjukkan
letak antara dua unsur atau diapit di antara dua hal (dua benua yaitu benua
Asia dan benua Australia serta dua samudra yakni samudera Pasifik dan samudera
Hindia). Jadi Nusantara adalah kesatuan kepulauan yang terletak antara dua
benua, yaitu benua Australia dan Asia, serta dua samudra, yaitu samudra Pasifik
dan Hindia. Berdasarkan pengertian modern, selanjutnya kata
"nusantara" digunakan sebagai penyebutan nama Indonesia.
Hakikat Wawasan Nusantara
Hakikat Wawasan Nusantara adalah Keutuhan
Nusantara atau Nasional, yang juga dapat diartikan sebagai cara pandang yang
utuh / menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional. Hal
Ini berarti, setiap warga dan aparat negara harus berpikir, bersikap dan
bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan nasional,
bangsa dan negara Indonesia.
Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara berkedudukan sebagai visi
bangsa. Dalam kaitannya dengan kedudukan, wawasan nusantara merupakan visi
bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai
dengan konsep Wawasan Nusantara ialah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah
yang satu dan utuh pula.
Selain itu, dalam paradigma nasional,
kedudukan wawasan nusantara adalah sebagai berikut:
- Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar
negara berkedudukan sebagai landasan idil
- UUD 1945 adalah landasan konstitusi negara yang
berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
- GBHN (garis-garis besar haluan negara) sebagai politik
dan strategi nasional atau sebagai kebijakan dasar nasional yang
berkedudukan sebagai landasan operasioal.
- Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional yang
berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
- Sebagai visi nasional yang berkedudukan sebagai
landasan visional.
Fungsi Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara memiliki fungsi sebagai
pedoman, dorongan, rambu-rambu serta motivasi dalam menentukan segala
kebijakan, perbuatan, keputusan dan tindakan bagi penyelenggaraan negara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tujuan Wawasan Nusantara
Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua,
yaitu:
- Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD
1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial“.
- Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap
aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional,
serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina
kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh
dunia.
Pengertian Geopolitik
Geopolitik berasal dari dua kata yaitu
"Geo" dan "Politik". "Geo" artinya bumi/planet
bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang yaitu sistem
dalam hal menempati suatu ruang di permukaan bumi. Dengan demikian, geografi
berkaitan dengan interelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya.
"Politik" berarti kekuatan yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan
nasional untuk mewujudkan tujuan nasional.
Jadi, geopolitik dapat diartikan sebagai
sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan nasional yang
didukung oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya
terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas)
suatu negara, yang apabila dijalankan dan berhasil akan berdampak langsung
kepada system politik sebuah negara.
Geopolitik
juga dimaknai sebagai penyelenggaraan Negara yang setiap kebijakannya
dihubungkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal sebuah
bangsa.
Teori-Teori Geopolitik
Teori Geopolitik Frederich Ratzel (1844-1904)
Frederich
Ratzel berpendapat bahwa negara itu seperti organisme yang hidup. Pertumbuhan
Negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup
(lebensraum) yang cukup agar dapat tumbuh dengan subur. Makin luas ruang hiduo
maka Negara akan semakin bertahan, kuat, dan maju. Teori ini dikenal sebagai
teori organisme atau teori biologis.
Teori Geopolitik Rudolf Kjellen (1864-1922)
Menurut
Rudolf Kjellen, Negara adalah satuan dan sistem politik yang menyeluruh yang
meliputi bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik, social politik, dan
krato politik. Negara sebagai organisme yang hidup dan intelektual harus mampu
mempertahankan dan mengembangkan dirinya dengan melakukan ekspansi.
Teori Geopolitik Karl Haushofer (1896-1946)
Melanjutkan
pandangan Ratzel dan Kjellen terutama pandangan tentang lebensraum (ruang
hidup) dan paham ekspansionisme. Karl Haushofer berpendapat bahwa Jika jumlah
penduduk suatu wilayah Negara semakin banyak sehingga tidak sebanding lagi
dengan luas wilayah, maka Negara tersebut harus berupaya memperluas wilayahnya
sebagai ruang hidup bagi warga Negara
Karl
Haushofer yang pernah menjadi atase militer di Jepang juga pernah meramalkan
bahwa Jepang akan menjadi negara yang jaya didunia dimana untuk menjadi jaya
sebuah bangsa harus bisa menguasai benua-benua di dunia. Ia berpendapat bahwa
pada hakikatnya dunia terbagi atas empat kawasan benua dan dipimpin oleh negara
yang unggul.
Paham Geopolitik Bangsa Indonesia dalam konteks Wawasan Nusantara
Paham geopolitik bangsa Indonesia terumuskan
dalam konsepsi Wawasan Nusantara. Bagi bangsa Indonesia, geopolitik adalah
pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor-faktor geografis wilayah Negara
untuk mencapai tujuan nasionalnya.
Karena bagi Indonesia, geopolitik adalah
kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memamfaatkan keuntungan
letak geografis Negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis
tersebut.
Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik
Indonesia
Geopolitik merupakan pertimbangan dasar dalam
penyelenggaraan negara berdasarkan letak geografisnya. Untuk memenangkan suatu
perlombaan, kita wajib memahami medan sehingga mengetahui strategi terbaik apa
yang harus diterapkan dalam perlombaan tersebut. Sama halnya dengan negara,
suatu negara membutuhkan geopolitik untuk menentukan pembinaan politik nasional
berdasarkan kondisi dan situasi geografis dalam mencapai tujuan negara
tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa yang majemuk mempunyai
geopolitik tersendiri, yaitu wawasan nusantara.
Wawasan nusantara merupakan cara pandang
bangsa Indonesia terhadap lingkungannya, Bangsa Indonesia memandang wawasan
nusantara sebagai visi dan perwujudan kebhinekaan (keberagaman) yang ada di
Indonesia. Hakikat dari wawasan nusantara ini adalah menyatukan perbedaan dan
batasan wilayah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke sehingga
terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersatu dan utuh
dalam mencapai tujuan nasional Indonesia.
Wawasan Nusantara Indonesia dibentuk dan
dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah
pancasila dan oleh pandangan geopolitik Indonesia yang berdasarkan pemikiran
kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia. Karena dasar pemikiran Wawasan
Nusantara terdiri atas dasar pemikiran berdasarkan filsafat, kewilayahan,
sosial budaya, dan kesejarahan.
Tujuan Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia
- Tujuan ke luar, yaitu terjaminnya kepentingan nasional
dalam dunia yang serba berubah, dan ikut serta dalam melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social serta mengembangkan suatu kerja sama dan saling menghormati.
- Tujuan ke dalam, yaitu menjamin perwujudan persatuan kesatuan
segenap aspek kehidupan nasional, yaitu politik, ekonomi, social budaya,
pertahanan keamanan.
Manfaat Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia
- Diterima dan diakuinya konsepsi Nusantara di forum
internasional.
- Wawasan Nusantara menjadi salah satu sarana integrasi
nasional.
- Penerapan wawasan nusantara menghasilkan cara pandang
tentang keutuhan wilayah nusantara yang perlu dipertahankan oleh bangsa
Indonesia.
- Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup memberikan
potensi sumber daya yang besar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
- Pertambahan luas wilayah teritorial Indonesia.
Implementasi Wawasan Nusantara dalam Bidang Ekonomi
Setiap bangsa memiliki wawasan nasional yang
merupakan visi bangsa tersebut guna mewujudkan cita-citanya pada masa depan.
Adapun wawasan nasional Bangsa Indonesia merupakan Wawasan Nusantara, yang
dimaksud wawasan nusantara adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh
pemerintahan Orde Baru sebagai identifikasi Bangsa Indonesia.
Pengertian Wawasan Nusantara
Menurut ketetapan MPR tahun 1993 dan 1998
tentang GBHN, wawasan nusantara merupakan wawasan nasional yang berasal dari
Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 yang berarti cara pandang dan sikap Bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Secara umum wawasan nusantara juga dapat
diartikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya,
wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah serta menghargai kebhinekaan
untuk mencapai tujuan nasional.
Penerapan atau Implementasi wawasan nusantara
menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bertindak dan bersikap dalam rangka
mangatasi bermacam masalah menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara indonesia. Implementasi wawasan nusantara senantiasa mengutamakan
kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh.
Implementasi wawasan nusantara dalam bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, penerapan wawasan
nusantara akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan
dan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Di
samping itu, juga dapat menggambarkan tanggung jawab pengelolaan sumber daya
alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik
serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.
Prinsip-prinsip penerapan (implementasi)
wawasan nusantara pada bidang ekonomi yaitu :
- Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara
diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam
sistem ekonomi kerakyatan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
- Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi
di semua daerah tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh tiap-tiap
daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.
- Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun
efektif, merupakan modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan
di seluruh wilayah Indonesia secara merata.
Contoh implementasi wawasan nusantara dalam bidang ekonomi
Contoh implementasi wawasan nusantara dalam
bidang ekonomi diantaranya dengan menyeimbangkan Keuangan Pusat dan Daerah
dengan keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah. Pembagian keuangan yang semula hampir 80% anggaran
daerah harus menunggu didatangkan dari pusat, padahal 90% hasil-hasil daerah
diserahkan pada pemerintahan pusat, kini pada UU tersebut diubah menjadi :
- Hasil kehutanan, pertambangan umum dan perikanan, 20%
untuk pusat dan 80% untuk daerah.
- Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, 20%
untuk pusat, 80% untuk daerah.
- Hasil Pajak Bumi dan Bangunan, 10% untuk pemerintah
pusat dan 90% untuk daerah.
- Hasil gas alam, 70% untuk pusat dan 30% untuk daerah
sedangkan minyak bumi, 85% untuk pusat, 15% untuk daerah.
Bahkan, porsi daerah ditambah lagi dengan
adanya "Dana Alokasi Umum" yang dialokasikan untuk daerah-daerah
dengan perimbangan tertentu, yang jumlah totalnya adalah 25% dari penerimaan
dalam negeri APBN, sebagai perimbangan.
Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu ideologi atau kefahaman yang meletakkan negara dan bangsa pada tempat yang
tinggi. Atau yang mencipta dan mempertahankan kedaulatan sesebuah negara (dalam bahasa Inggeris "nation") dengan mewujudkan satu
konsep identiti bersama
untuk sekumpulan manusia. Ia berbeza dengan patriotisme.
Para nasionalis menganggap negara adalah
berdasarkan beberapa "kesahihan politik" (political legitimacy). Ia
berpunca dari teori romantisme iaitu "identiti budaya", hujah liberalisme yang menganggap kesahihan politik
adalah berpunca dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua-dua teori.
Dalam zaman moden ini, nasionalisme merujuk
kepada amalan politik dan ketenteraan yang berlandaskan nasionalisme secara
etnik serta keagamaan, seperi yang dinyatakan di bawah. Para saintis politik
biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrim
seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Etimologi
Kata nasionalisme berasal daripada gabungan
dua kata bahasa Inggeris,
iaitu nation yang membawa maksud bangsa dan ism yang
membawa maksud faham. Lalu, nasionalisme boleh difahami sebagai faham yang
menjunjung tinggi rasa kebangsaan.
Beberapa bentuk nasionalisme
Nasionalisme boleh menonjolkan dirinya
sebagai sebahagian ideologi negara, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut
lazimnya saling kait-mengait dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan
sebahagian atau kesemua elemen tersebut.
Nasionalisme sivik (atau nasionalisme sivil) adalah sejenis nasionalisme
dimana negara memperolehi kesahihan
politik dari penyertaan aktif rakyatnya,
"kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula
dibangunkan oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah
buku bertajuk On the Social Contract (atau dalam Bahasa Melayu
"Mengenai Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnik adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan
politik dari budaya asal atau etnik sesebuah
masyarakat. Ia dibangunkan oleh Johann
Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa
German untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga dipanggil nasionalisme organik, nasionalisme
identiti) adalah lanjutan dari nasionalisme etnik dimana negaramemperolehi kesahihan
politik secara semulajadi
("organik") hasil daripada bangsa atau ras;
menurut semangat Romantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada kewujudan budaya etnik yang
menepati idealisme Romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Brothers
Grimm" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnik Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan
politik dari budaya bersama dan bukannya
"sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh
yang terbaik ialah rakyat Cina yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada
budaya. Unsur ras telah dibelakangkan dimana golongan Manchu serta ras-ras minoriti lain masih dianggap sebagai rakyat negara
Cina. Kesediaan dinasti Quing untuk menggunapakai adat istiadat Cina membuktikan keutuhan budaya
Cina. Malah ramai rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Cina sebab persamaan budaya mereka
tetapi menolak China kerana kerajaannya berfahaman komunisme.
Nasionalisme
kenegerian ialah variasi kepada nasionalisme
sivik, selalunya digabungkan dengan nasionalisme etnik. Perasaan nasionalistik adalah
kuat sehinggakan ia diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan
kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalunya kontras dan berkonflik dengan
prinsip masyarakat demokratik. Penyelenggaraan sebuah national state adalah
suatu hujah yang ulung, seolah-olah ia membentuk kerajaan yang lebih baik
dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme,
serta nasionalisme Turki kontemporari, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan
di Sepanyol, serta sikap Jacobin terhadap unitari dan golongan
pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgium, yang
secara ganasnya menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan
lebih autonomi untuk golongan Fleming,
dan nasionalis Basque atau Corsica. Secara sistematik, bila mana nasionalisme kenegerian itu kuat, akan wujud
tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap
nasionalisme Kurdi,
pembangkangan di antara kerajaan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis
dengan nasionalisme Basque, Catalonia dan Corsica.
Nasionalisme keagamaan ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi "political
legitimacy" dari persamaan agama. Zionisme di Israel adalah satu contoh yang baik. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme
etnik adalah dicampurkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Ireland semangat nasionalisme adalah berpunca dari persamaan agama mereka
iaitu mazhab gereja Katolik Rom; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut parti Bharatiya Janata adalah berpunca dari agama Hindu pegangan majoriti penduduk di India.
Namun demikian, bagi kebanyakan kumpulan
nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kumpulan
tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme kaum Irish dipimpin oleh
mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Ireland bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan ideologi yang
bersangkut paut dengan Ireland sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Ireland. Justeru, nasionalisme kerap
dikaitkan dengan kebebasan.
Di sebaliknya, Islam menentang nasionalisme, tribalisme (perbezaan
kaum), rasisme, atau sebarang bentuk diskriminasi manusia
yang tidak berdasarkan kepada kepercayaan seseorang itu. Islam menggalakan
keharmonian masyarakat Islam atau ummah. Bahkan menjamin keharmonian penganut agama lain dan menganjurkan kemamanan
untuk semua. Penduduk Islam diseluruh dunia tidak kira bangsa, warna dan keturunan bersolat dikiblat yang sama, berpuasa pada bulan Ramadan yang sama serta menunaikan haji di Kaabahyang sama. Malah sewaktu menunaikan haji atau umrah, semua orang wajib
memakai kain ihram putih yang sama. Perkataan ummah selalu
disalah terjemahkan ke dalam bahasa Inggeris sebagai negara (nation)
(berlainan dengan gerakan "Nation of Islam" dan ini bertentangan dengan ajaran
Islam dan ditolak oleh kebanyakan orang Islam.
Patriotisme
Patriotisme Sutomo.
Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata
"patriot" dan "isme" yang berarti sifat kepahlawanan atau
jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism"
dalam bahasa Inggris.
Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.
Ibu Pertiwi
Citra seorang wanita atau
seorang dewi agung
dalam busana tradisional kuno zaman
kerajaan Hindu-Buddha di Monumen Nasional, Jakarta yang
merupakan penggambaran populer Ibu Pertiwi di Indonesia.
Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia,
sebuah perwujudan tanah air Indonesia.[1] Sejak masa prasejarah, berbagai suku
bangsa di kepulauan Nusantara sudah menghormati roh alam dan kekuatan bumi, mereka mengibaratkannya
sebagai ibu yang memberikan kehidupan, sebagai dewi alam dan lingkungan hidup.
Setelah diserapnya pengaruh Hindu sejak awal millenia pertama di nusantara, dia dikenal sebagai Dewi
Pertiwi, dewi bumi.
Ibu Pertiwi populer dalam berbagai lagu dan
puisi perjuangan bertema patriotik, seperti lagu "Ibu Pertiwi"
dan "Indonesia Pusaka". Dalam lagu kebangsaan "Indonesia Raya", lirik dalam bait "Jadi
pandu ibuku", kata "ibu" di sini merujuk kepada Ibu
Pertiwi. Meskipun Ibu Pertiwi populer dalam berbagai lagu dan puisi perjuangan,
perwujudan fisik dan citranya jarang ditampilkan di media
massa Indonesia.
MILITANSI
Arti: ketangguhan
dalam berjuang (menghadapi, kesulitan, berperang, dan sebagainya)
NUSANTARA
I
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya – Sejarah
berdirinya Nusantara tentu tidak lepas dari perjuangan para pahlawan. Selain
perjuangan para pahlawan, tentunya kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia juga
memiliki pengaruh besar terhadap sejarah Indonesia. Salah satu kerajaan besar
yang ada di Indonesia adalah kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
Melayu yang berada di pulau Sumatera serta memiliki pengaruh besar terhadap
Nusantara. Nama kerajaan ini berasal dari Bahasa Sansekerta, sri artinya
bercahaya dan wijaya yang memiliki arti kemenangan. Sehingga arti nama kerajaan
ini berarti kemenangan yang bercahaya.
Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang
meliputi Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, bahkan hingga Pulau Jawa ini
membuat nama Kerajaan Sriwijaya dikenal di seluruh Nusantara. Tidak hanya dari
Nusantara saja, akan tetapi juga kerajaan ini dikenal hingga ke mancanegara.
Hal ini dibuktikan dengan adanya
berbagai sumber yang menyebutkan adanya kerajaan di Sumatera ini. Ada kabar
yang mengatakan bahwa para pedagang dari Arab dan Cina pernah berdagang di
Sriwijaya. Sedangkan menurut berita dari India, kerajaan di India pernah
bekerja sama dengan kerajaan Sriwijaya.
Masa
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Sebuah kerajaan yang besar tentunya
memiliki sejarah jaya dan runtuhnya yang tentu akan selalu diingat oleh
masyarakat Indonesia. Sejarah masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dimulai sekitar
abad ke 9 hingga abad ke 10 di mana saat itu kerajaan ini berhasil menguasai
jalur perdagangan maritim Asia Tenggara.
Tidak hanya perdagangan maritim saja,
akan tetapi juga berbagai kerajaan di Asia Tenggara berhasil dikuasai oleh
Sriwijaya. Kerajaan di Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam, hingga Sumatera
dan Jawa berhasil dikuasai Sriwijaya.
Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya menjadi
pengendali rute perdagangan lokal yang mana waktu itu seluruh kapal yang lewat
akan dikenakan bea cukai. Mereka juga berhasil mengumpulkan kekayaan mereka
dari gudang perdagangan serta melalui jasa pelabuhan.
Sayangnya, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya
harus berakhir sekitar tahun 1007 dan 1023 Masehi. Bermula ketika Raja Rajendra
Chola, seorang penguasa Kerajaan Cholamandala berhasil menyerang Sriwijaya dan
berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya.
Terjadinya penyerangan ini karena kedua
kerajaan ini saling bersaing pada bidang pelayaran serta perdagangan. Kerajaan
Cholamandala bukan berniat untuk menjajah, akan tetapi ingin meruntuhkan armada
kerajaan. Sehingga membuat kondisi ekonomi pada saat itu melemah serta
berkurangnya pedagang.
Tidak hanya itu, kekuatan militer
kerajaan juga melemah dan membuat prajurit Sriwijaya melepaskan diri dari
kerajaan. Hingga, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berakhir sekitar abad ke-13.
Peninggalan Kerajaan
Sriwijaya
Sebagai kerajaan yang pernah jaya di
Nusantara, tentunya peninggalan kerajaan Sriwijaya tersebar di seluruh daerah
kekuasaan mereka. Salah satu jenis peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih
ada hingga saat ini adalah berupa prasasti. Berikut ini merupakan prasasti
peninggalan kerajaan Sriwijaya.
1.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti
peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di bagian Barat Pulau Bangka. Bahasa
yang ditulis pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno serta menggunakan
aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan sekitar tahun 1892 bulan Desember.
Orang yang berhasil menemukan prasasti
ini adalah J.K. van der Meulen. Prasasti ini berisi tentang kutukan bagi siapa
saja yang membantah perintah serta kekuasaan kerajaan akan terkena kutukan.
2. Prasasti
Kedukan Bukit
Seseorang bernama Batenburg menemukan
sebuah batu tulis yang berada di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir pada
29 November 1920 Masehi. Ukuran dari prasasti ini adalah sekitar 45 x 80
centimeter serta ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Prasasti ini berisi tentang seorang
utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan suci atau
sidhayarta dengan menggunakan perahu. Dengan diiringi 2000 pasukan,
perjalanannya membuahkan hasil. Saat ini, prasasti Kedukan Bukit disimpan di
Museum Nasional Indonesia.
3.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar kolam
Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Isi dari
prasasti ini adalah mengenai kutukan bagi mereka yang berbuat jahat di
Sriwijaya. Keberadaan prasasti ini sama seperti prasasti Kedukan Bukit, yaitu
disimpan di Museum Nasional Indonesia.
4.
Prasasti Talang Tuwo
Residen Palembang, yaitu Louis Constant
Westenenk menemukan prasasti pada 17 November 1920. Prasasti ini ditemukan di
kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi. Isi dari prasasti ini
berisi doa-doa dedikasi dan menunjukkan berkembangnya agama Buddha di
Sriwijaya.
Aliran yang digunakan di Sriwijaya
adalah aliran Mahayana yang dibuktikan dengan kata-kata dari Buddha Mahayana
seperti bodhicitta, vajrasarira, dan lain-lain.
5.
Prasasti Ligor
Prasasti yang ditemukan di Thailand
Selatan ini memiliki dua sisi, yaitu sisi A dan sisi B. Pada sisi A menjelaskan
tentang gagahnya raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut ditulis bahwa raja
Sriwijaya merupakan raja dari segala raja dunia yang sudah mendirikan Trisamaya
Caiya bagi Kajara.
Sedangkan untuk sisi B atau yang disebut
prasasti ligor B berisi mengenai pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana.
Gelar tersebut diberikan kepada Sri Maharaja yang mana berasal dari keluarga
Sailendravamasa.
6.
Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Palas Pasemah merupakan
prasasti yang berhasil ditemukan di desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Bahasa
yang digunakan pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan aksara
Pallawa serta tersusun atas 13 baris kalimat.
Isi dari prasasti ini berisi tentang
kutukan terhadap orang yang tidak tunduk pada kekuasaan Sriwijaya.
Diperkirakan, prasasti ini berasal dari abad ke-7 Masehi. Konon, prasasti ini
ditemukan di sebuah pinggiran rawa desa.
7.
Prasasti Karang Birahi
Kontrolir L.M. Berkhout menemukan
prasasti Karang Birahi pada tahun 1904 di sekitar tepian Batang Merangin,
Jambi. Isi dari prasasti Karang Birahi juga kurang lebih hampir sama dengan
prasasti di poin sebelumnya, yaitu mengenai kutukan bagi mereka yang tidak
tunduk terhadap Sriwijaya.
Raja
Kerajaan Sriwijaya
Raja Kerajaan Sriwijaya yang berhasil
menaklukkan Jawa dan Melayu adalah Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa dan memimpin
pada tahun 671. Lalu pada tahun 728 hingga 742, Sriwijaya dipimpin oleh Rudra
Wikrama yang melakukan utusan ke Tiongkok pada masa kepemimpinannya.
Pada tahun 702, Sriwijaya dipimpin oleh
Sri Indrawarman dan dilanjutkan oleh Sri Maharaja pada tahun 775. Berkat
kepemimpinannya, Kamboja dan Thailand berhasil ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Tahun 851, Sriwijaya dipimpin oleh Maharaja yang dilanjutkan oleh Balaputra
Dewa di tahun 860 Masehi.
Raja Kerajaan Sriwijaya yang selanjutnya
adalah Sri Udayadityawarman yang memimpin kerajaan pada tahun 960 Masehi dan
dilanjutkan oleh Sri Udayaditya pada tahun 962 Masehi. Kepemimpinan Sriwijaya
dilanjutkan oleh Sri Sudamaniwarmadewa dan Marawijayatunggawarman pada tahun
1044 masehi.
Kepemimpinan Raja Kerajaan Sriwijaya
yang terakhir adalah Sri Sanggaramawijayatunggawarman pada tahun 1044 Masehi.
Berkat kepemimpinannya, Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh India.
Penutup
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
yang pernah jaya pada masanya. Bahkan, kerajaan ini dikenal hingga ke
mancanegara. Berbagai berita luar negeri, mulai dari Arab hingga Cina
membicarakan kerajaan yang berada di Pulau Sumatera ini.
Selain itu, jayanya kerajaan ini
dibuktikan dari peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti. Peninggalan
tersebut berhasil ditemukan di berbagai tempat sekaligus menjadi bukti bahwa
Kerajaan Sriwijaya ada dan pernah menguasai Asia.
Sejarah
Kerajaan Sriwijaya –Latar Belakang, Masa Kejayaan dan Keruntuhannya
Mendengar nama Sriwijaya pastinya bukan hal yang asing di
telinga anda. Salah satu kerajaan paling besar di Asia Tenggara yang berhasil
menjadi negara maritim pertama sebelum berdirinya Indonesia.
Kejayaan Sriwijaya menginspirasi banyak orang. Bahkan di
dunia persepakbolaan nasional, namanya digunakan sebagai nama klub bola asal
pulau Sumatera, Sriwijaya FC. Dalam catatan-catatan dan kronik Cina, Sriwijaya
dikenal dengan nama Che-li-fo-che.
Sejarah kerajaan sriwijaya menjadi satu diantara 3 kerajaan
yang berada di Sumatera dan dikenal oleh Cina alias Tiongkok. Kerajaan lain
yang juga menduduki kepulauan Sumatera adalah Tulangbawang dan Kerajaan Melayu.
Namun berdasarkan prasasti asli Sumatera, tidak ada yang mengisahkan cerita
kerajaan Tulangbawang dan Melayu.
Kerajaan ini masih jauh lebih dulu besar dibanding sejarah
Kerajaan Majapahit yang menjadi penghancurnya. Sejarahnya dapat diteladani dan
menjadi inspirasi pemersatu Indonesia. Mengingat Sriwijayalah kerajaan yang
menjadi kerajaan nasional dan maritim pertama sebelum ada ide menyatukan
nusantara.
Latar
Belakang
Sriwijaya didirikan pertama kali pada abad ke-7 dengan raja
pertama bernama Dapunta Hyang. Bukti fisik berupa kronik berita Cina
memberitahu bahwa pada tahun 682 Masehi atau abad ke-6 ada seorang pendeta
Budha dari Tiongkok yang ingin memperdalam agamanya di tanah India.
Sebelum keberangkatan resminya, ia harus sudah menguasai
bahasa Sansekerta, karena itulah pendeta bernama I-Tsing tersebut
mempelajarinya dulu selama setengah tahun di Sriwijaya. Kronik ini sekaligus
memberi sinyal bahwa ternyata pada zaman dulu, Sriwijaya sudah menjadi pusat
keagamaan yang mumpuni di kawasan Asia Tenggara. Bahkan I-Tsing juga berhasil
menerjemahkan kitab-kitab agama Budha ke bahasa nenek moyangnya setelah
mempelajari secara mendalam agama Budha di Sriwijaya.
Bukti yang kedua ini memperkuat teori awal pendirian Kerajaan
Sriwijaya di abad ke-7. Sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang
dinamai Kedukan Bukit memiliki angka 683 Masehi. Di tahun tersebut Sriwijaya
sedang dipimpin oleh seorang raja bernama Dapunta Hyang yang sedang berusaha
memperluas wilayah. Ia menyiapkan bala tentara sampai jumlah 20.000 orang.
Penaklukan ini membuahkan hasil setelah 8 hari bertempur di medan perang. Pada
akhirnya beberapa wilayah yang kekuatan militernya tak sebanding bersedia
menyerahkan upeti ke Sriwijaya sebagai tanda takluk.
Tidak ada kronik maupun prasasti lagi yang menjelaskan
asal-usul keluarga Dapunta Hyang Srijayanaga sehingga ia menduduki tahta
pertama kerajaan. Dalam sejarah berdirinya Sriwijaya, ada sekitar 11 raja yang
silih berganti mengurusi negara internasional ini. Nantinya, nama Sriwijaya
yang artinya kemenangan yang mulia benar-benar terwujud.
Setelah Dapunta Hyang berhasil meraih kesuksesan bersama
20.000 pasukannya, ada sebuah prasasti yang ditemukan di Pulau Bangka, sebuah
pulau kecil di dekat Sumatera. Prasasti Kota Kapur adalah nama prasasti yang
menyebutkan keinginan Dapunta Hyang meneruskan ekspedisi ke Jawa. Dan prasasti
yang berangka tahun 686 Masehi itu pun menjadi bukti sejarah berhasilnya Sriwijaya
menaklukkan Jawa yang saat itu dikuasai Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti-prasasti lainnya yang menjadi peninggalan Kerajaan Sriwijaya
menggunakan bahasa melayu kuno dan berhuruf Pallawa.
Masa
Kejayaan
Masa kejayaan kerajaan Sriwijaya sudah sangat jelas bisa
diterangkan. Negara mana yang tidak kaya dengan menguasai selat-selat strategis
dan menjadi penguasa tunggal jalur perdagangan internasional. Inilah sumber
kekayaan Sriwijaya.
Selat Malaka dan Selat Sunda merupakan dua selat
internasional yang tidak pernah sepi dari kapal. Hanya bermodalkan kekuatan
armada militernya, Sriwijaya berani menerapkan sistem bea cukai yang sampai
sekarang dipakai juga oleh Pemerintah Indonesia. Fungsi dan peran armada
militer dalam perekonomian Sriwijaya sangat besar. Tanpa adanya jaminan
keselamatan, para saudagar Arab dan Tiongkok pasti memilih selat lain sebagai
jalur transportasinya. Apalagi sampai memutuskan menetap sementara atau
selamanya. Hal ini banyak terjadi karena selain Sriwijaya elok dan berharta,
kehidupan bisnisnya akan dilindungi oleh para militer Sriwijaya.
Kesuksesan tidak bisa dipandang dari banyaknya harta saja,
Sriwijaya dan para petingginya menyadari benar kalimat tersebut. Sehingga
kerajaan maritim ini mengembangkan juga kebesaran agama Budha. Selain dengan
cara mendirikan sangga –kelompok belajar- untuk memperdalam Buddhisme,
Sriwijaya juga sudah menyiapkan banyak guru spiritual Budha. Baik seorang
pendeta atau hanya orang yang mendapatkan kelebihan.
Guru agama Budha yang paling tersohor di Sriwijaya yaitu
Sakyakirti. Fakta yang mengejutkan lain ditemukan di daerah-daerah dekat
Palembang yang menjadi titik pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Diduga ada
candi yang lebih besar dari Borobudur pernah diciptakan oleh kerajaan ini.
Namun sampai sekarang hanya arcanya saja yang ditemukan. Selain itu, ditemukan
juga beberapa batu bertulis ‘ziarah yang berhasi’ di daerah Telaga Batu.
Kenyataan ini menguatkan Sriwijaya sebagai kerajaan yang religius.
Peninggalan lain yang masih bisa dilihat langsung oleh generasi
kita berupa candi. Candi-candi yang dibangun bercorak agama Budha. Misalkan
candi Muaratakus yang dibangun di Riau dan Biaro Bahal di Sumatera Utara. Kedua
candi ini menjadi candi yang terkenal sebagai bekas kejayaan Sriwijaya karena
memang tidak banyak candi yang ditemukan di Sumatera.
Pada tahun 860 Masehi, prasasti Nalanda yang berada di India
menyeret nama Sriwijaya sebagai nama kerajaan internasional yang sangat peduli
dengan pendidikan. Masa keemasan ini semakin meningkatkan pamor Balaputeradewa
yang saat itu menjadi Raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut, Balaputeradewa
disebutkan mendirikan asrama pelajar Sriwijaya yang diperuntukkan anak dari
Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, India. Tempat itu sudah banyak
menghasilkan para pendeta yang dapat mengayomi orang banyak. Pada zaman itu,
India dan Benggala tempat beradanya perguruan Nalanda sedang dipimpin oleh Raja
Dewapaladewa.
Puncak keemasan diperoleh Sriwijaya setelah berjuang dalam
hitungan abad. Sriwijaya memperoleh kejayaan ini di abad ke-8 dan ke-9. Hingga
pada akhirnya, kejayaan tersebut harus diakhiri pada abad ke-11.
Balaputeradewa yang berhasil membawa Sriwijaya mencapai
kejayaan itu sebenarnya adalah anak dari Raja Samarattungga. Seorang keturunan
Dinasti Syailendra dari bumi Jawa yang memberikan peninggalan berupa candi
Borobudur kepada anak cucunya.
Di masa pemerintahan Balaputeradewa ini agama Budha
benar-benar menunjukkan progressnya. Ada banyak orang yang bermaksud menjadi
murid spiritual seorang biksu besar bernama Dharmakirti. B
Keruntuhan
Kerajaan Sriwijaya
Ada banyak faktor yang menyebabkan berhenti berkibarnya nama
Sriwijaya. Kebanyakan faktor tersebut melemahkan Sriwijaya perlahan-lahan.
Kekuatan militer yang sudah berlapis-lapis pada ujungnya tidak berdaya juga.
Awalnya militer Sriwijaya kalah telak dengan sebuah kerajaan
di India Selatan. Kerajaan ini bernama Cola dengan pemimpin Rajendra Cola I.
Orang tersebut telah melepaskan kekuasaan atas kapal dan segala jenis transit
yang memakan biaya dan cukai.
Keadaan diperparah dengan banyaknya kerajaan kecil yang
melepaskan diri dari pengaruh Sriwijaya. Semuanya membuat Sriwijaya benar-benar
kehilangan sumber pendapatan dari pelabuhan yang ditransiti kapal barang.
Serangan ekspedisi pamalayu yang menjadi bagian sejarah kerajaan singasari kemudian
benar-benar menghancurkan kejayaan Sriwijaya. Ditambah lagi dengan penerusnya,
pembuat sejarah kerajaan majapahit yang
menghilangkan beberapa bekas kejayaan Sriwijaya.
NUSANTARA
II
Majapahit
Kemaharajaan Majapahit |
||||||
|
||||||
|
||||||
Semboyan
|
||||||
Peta
wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama;
keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang
Jawa masih diperdebatkan.[1] |
||||||
Ibu kota |
|
|||||
Bahasa |
||||||
Agama |
Siwa-Buddha (Hindudan Buddha), Kejawen, Animisme |
|||||
Bentuk pemerintahan |
||||||
Sri Maharaja |
||||||
- |
1293-1309 |
|||||
- |
1309-1328 |
|||||
- |
1328-1350 |
|||||
- |
1350-1389 |
|||||
- |
1389-1429 |
|||||
- |
1429-1447 |
|||||
- |
1447-1451 |
|||||
- |
1451-1453 |
|||||
- |
1453-1466 |
|||||
- |
1466-1468 |
|||||
- |
1468-1478 |
|||||
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran |
||||||
- |
1294 – 1316 |
|||||
- |
1316 – 1323 |
|||||
- |
1323 – 1334 |
Mahapatih Arya Tadah |
||||
- |
1334 – 1364 |
|||||
- |
1367 – 1394 |
Mahapatih Gajah Enggon |
||||
- |
1394 – 1398 |
Mahapatih Gajah Manguri |
||||
Sejarah |
||||||
- |
Penobatan Raden
Wijaya |
10 November 1293 |
||||
Sumber frasa Mitreka Satata
berasal dari Kakawin Nagarakretagama karangan Empu
Prapañca pada zaman keemasan kerajaan Majapahit. Semboyan Mitreka
Satata dipakai oleh Mahapatih Gajah
Mada. Sebagai landasan dalam menjalankan politik luar negeri
Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan
negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. |
Kemaharajaan Majapahit (bahasa Jawa: ꦤꦒꦫꦶꦏꦫꦗꦤ꧀ꦩꦗꦥꦻꦠ꧀; Nagari
Karajan Mɔjɔpait, Sanskerta: विल्व तिक्त; Wilwatikta) adalah
sebuah kerajaan yang
berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas
di Nusantara pada
masa kekuasaan Hayam Wuruk,
yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir
yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur,
meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa
Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para
sejarawan adalah Pararaton ('Kitab
Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6]Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008
diakui sebagai bagian dalam Daftar
Ingatan Dunia (Memory of the World Programme)
oleh UNESCO.[7] Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut
dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur
non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua
naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural
dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar
sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah
dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup
pasti.[5] Tahun 2010 sekelompok pengusaha
Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit
of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini
dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan
Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[10]Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John
N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi,
patung dan seni.[11] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal
dari Filipina dengan
anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar
dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura,
Malaysia dan Selatan Thailand.[12]
Sejarah
Berdirinya Majapahit
Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu)
perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini
koleksi Museum
Nasional.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi
perhatian Kubilai Khan,
penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[13] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara,
penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan
mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[13][14] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh
Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan
kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara,
yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin
mengabdi kepada Jayakatwang.[15] Jawaban dari surat di atas disambut
dengan senang hati.[15] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik.
Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit,
yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan
Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali
pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[16][17] Saat itu juga merupakan kesempatan
terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan
lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran
kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa
orang tepercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora,
dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung
oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra
Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[18] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya
raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah
kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal dunia pada tahun
1309.
Putra dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala
Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu
dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya
yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni
memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana
menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk
melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan,
Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas
kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah
Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[19] Sumber ini menunjukkan batas terluas
sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan
terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja.[20]Majapahit juga memiliki hubungan
dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[2][20]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer,
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan
karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka),
putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[21] Pihak Sunda menganggap lamaran ini
sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga
dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan
dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk
memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga
kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan.
Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda
kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan
Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[22] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk
redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[23] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di
Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra
yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga
menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandalaraksasa
yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah
legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh
kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran
upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi
segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu
dapat mengundang reaksi keras.[24]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah
Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada
berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama
Majapahit tampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan
perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
Surutnya Majapahit
Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya
Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman
keemasan" Nusantara.
Terakota wajah
yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa
kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri
mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra
dari selirnya Wirabhumi yang
juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya
dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian
ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng
Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa
kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho
ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota
pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di
pantai utara Jawa.[25]
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan
diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua
Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447,
Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga
tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar
Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456.
Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada
1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan
mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[8]
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh
Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan
baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[26] Di bagian barat kemaharajaan yang
mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15
mulai menguasai Selat Malaka dan
melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah
taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum
Negara Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. Kapal
yang ditampilkan ini berjenis kapal Borobudur.
Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan
dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman
di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di
sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya
mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha
atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi
satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan
gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik
dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan
Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada
kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai
waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[27]) hingga tahun 1518.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan
harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah
kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala
tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[28] Raden Patah yang saat itu adalah
adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan
dipimpin oleh Sunan Ngudung,
tetapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali
menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak,
Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [28] dan memindahkan ibu kota ke Daha
(Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan
Kertabhumi. Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara
melakukan kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan
menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika
Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak melakukan
serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit[29] dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi
istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke
pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk
menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka
mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada
tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan
sisa kerajaan Majapahit.[30] Demak di bawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah
(Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi
dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit
Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari
tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[28]
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan
menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah
keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya
tinggal kerajaan Blambangan di
ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring
mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di
pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Militer dan Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian,
dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami
penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit
dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan
tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai
tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas
ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Berdasarkan buku Sejarah Yuan, prajurit pada masa Majapahit awal
didominasi oleh infanteri ringan. Pada saat serbuan Mongol ke Jawa, tentara
Jawa dideskripsikan sebagai prajurit yang dimobilisasi sementara dari petani
dan beberapa prajurit bangsawan. Para bangsawan berbaris di garis depan, dan
pasukan belakang yang besar berformasi T terbalik. "Tentara petani" Jawa
berpakaian setengah telanjang dan ditutupi dengan kain katun di bagian
pinggangnya (sarung). Sebagian besar senjata adalah busur dan
panah, tombak bambu, dan pedang pendek. Kaum aristokrat sangat dipengaruhi oleh
budaya India, biasanya dipersenjatai dengan pedang dan tombak, dan berpakaian
putih.[31]
Meriam Cetbang Majapahit
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The
Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar,
cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang
disebut Penjajap (Portugis: Pangajaua atau Pangajava),
dan juga Lancaran.
Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada
zaman ini, bahkan sampai abad ke 17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur
di panggung yang biasa disebut Balai (lihat gambar kapal). Menurut Anthony
Reid, jika ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot,
meriam seperti ini pasti sangat efektif.[32]
Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara.
Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum bangsawan, namun
mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat peralatan Bhayangkara di
istana Majapahit:
... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh
serta pedangnya berkopiah taranggos sachlat merah, orang membawa astengger [senapan kopak] empat puluh, orang
membawa perisai serta pedangnya empat puluh, orang membawa dadap serta sodoknya
sepuluh, orang membawa panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak
rampukan bersulam emas empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air empat
puluh.
— Hikayat Banjar. 6.3
Menurut catatan China, prajurit yang lebih kaya
menggunakan baju pelindung yang disebut kawaca. Baju pelindung ini
berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak.
Walaupun begitu, prajurit yang lebih miskin pergi berperang dengan telanjang
dada.[33] Majapahit juga mengawali penggunaan
senjata api di Nusantara. Suatu catatan tentang penggunaan senjata api pada
pertempuran melawan pasukan Giri pada tahun 1470-an berbunyi:
"... wadya Majapahit ambedili, dene
wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis ..."
"... pasukan Majapahit menembaki (bedil=senjata api), sementara
pasukan Giri berguguran karena mereka tidak kuat dihujani peluru (mimis=peluru
bulat)..."
Serat Darmagandhul
Tidak diketahui secara pasti jenis senjata api apa yang
digunakan dalam pertempuran ini. Kata "bedhil" dapat merujuk
ke beberapa jenis senjata bubuk mesiu yang berbeda. Itu mungkin merujuk
pada arquebus Jawa (Zua Wa Chong - 爪哇銃) yang dilaporkan oleh orang China. Arquebus ini memiliki
kemiripan dengan arquebusVietnam pada abad ke-17. Senjata ini
sangat panjang, dapat mencapai 2,2 m panjangnya, dan memiliki dudukan bipod
yang dapat ditekuk.[34]
Catatan Tome Pires tahun 1515 menyebutkan pasukan
tentara Gusti Pati, wakil raja Batara Brawijaya, berjumlah 200,000 orang, 2,000
diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4,000 adalah musketeer.[35] Duarte Barbosa sekitar tahun 1510 mengatakan bahwa penduduk Jawa
sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik.
Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang,
dan senjata api lainnya. Setiap tempat disana dianggap sangat baik dalam
mencetak artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.[36]
Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan
djong/jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Pada puncaknya
Majapahit memiliki 5 armada perang. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah
total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah terbesar yang pernah
digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah, tepatnya saat
Majapahit menyerang Pasai.[37] Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70-180 meter, berat sekitar
500-800 ton dan dapat membawa 200-1000 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam
sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil.[38] Sebuah jong dari tahun 1420 memiliki
daya muat 2000 ton dan hampir saja menyeberangi samudera Atlantik.[39]Sebelum tragedi Bubat tahun
1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut
Jawa menggunakan kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat
sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring
Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam
pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu.[40] Menurut Sejarah Melayu, jenis kapal lain yang digunakan Majapahit
adalah malangbang, kelulus, lancaran, penjajap, jongkong, cecuruh, tongkang,dan pelang.[41][42] Penggambaran angkatan laut Majapahit di masa modern seringkali
menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada kenyataannya kapal ini berasal
dari abad ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Sailendra.[38]
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di
ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.
"Dari semua
bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah"
[Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap
ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur
tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang
berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
—
Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung
dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual
keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap
hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah
taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana
terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya;
wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh
pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di
kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[43]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan
yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan
Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung
tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat
beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu
bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli
menggunakannya.[44] Candi-candi Majapahit berkualitas
baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat
batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang
adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di
Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit,
antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopoberdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan
dalam arsitektur Jawa dan Bali.
".... Raja [Jawa]
memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki
istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian
dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas.
Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan
tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."
—
Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[45]
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan
Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatra, Jawa,
dan Banjarmasin di
Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk
menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua,
menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata,
Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatra,
lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat
lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa
menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa
menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat
banyak cengkih, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia
menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas
dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah
Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa
pemerintahan Jayanegara.
Kesusasteraan
Pada zaman Majapahit ditulis berbagai kakawin (puisi berbahasa Jawa Kuna), seperti Negarakertagama dan Pararaton, dan juga muncul berbagai cerita kembangan dari epos raya India (seperti Tantu Panggelaran, Garudeya, dan Sudhamala) maupun cerita lokal yang populer hingga masa kini, seperti
lingkaran cerita Panji,
kisah Sri Tanjung,
dan kisah Bhubuksah
dan Gagangaking. Berbagai ukiran batu candi dari masa ini
banyak menggambarkan fragmen cerita-cerita tersebut[46].
Ekonomi
Celengan zaman
Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur.
(Koleksi Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[20] Pajak dan denda dibayarkan dalam uang
tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa
kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping
uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama
Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri
diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari
China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar
40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa
koin tersebut berasal dari era Majapahit.[47] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan
dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin
kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam
sistem mata uang Majapahit
agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit.
Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[48]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri
Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang
berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat
perahu penyeberangan di dalam negeri (mandalaJawa).[43] Prasasti dari masa Majapahit
menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari
pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman
sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata
pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak
tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata
uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.[49] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak,
dan permata.[50]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor
pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di
dataran rendah Jawa Timur utara
sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi,
sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa
merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[43]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa
Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang
dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap
semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional.
Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang
menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit
di Jawa.[51]
Struktur pemerintahan
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi
tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.[52] Raja dianggap sebagai
penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang
otoritas politik tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi
dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja
memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
·
Rakryan
Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra
raja
·
Rakryan
Mantri ri Pakira-kiran,
dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
·
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
·
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat
seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih
Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang
bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain
itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para
sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara)
di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk pulau Madura dan Bali.
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan
kelanjutan Singhasari,[17] terdiri atas beberapa kawasan
tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh
uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara
i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi
ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola
kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola
pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada
12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam
pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha
(tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
No |
Provinsi |
Gelar |
Penguasa |
Hubungan dengan Raja |
1 |
Bhre Kahuripan |
Tribhuwanatunggadewi |
ibu suri |
|
2 |
Bhre Daha |
Rajadewi Maharajasa |
bibi sekaligus ibu mertua |
|
3 |
Tumapel (bekas
ibu kota dari Singhasari) |
Bhre Tumapel |
Kertawardhana |
ayah |
4 |
Bhre Wengker |
Wijayarajasa |
paman sekaligus ayah mertua |
|
5 |
Matahun (sekarang Bojonegoro) |
Bhre Matahun |
Rajasawardhana |
suami dari Putri Lasem,
sepupu raja |
6 |
Bhre Wirabhumi |
Bhre Wirabhumi1 |
anak |
|
7 |
Bhre Paguhan |
Singhawardhana |
saudara laki-laki ipar |
|
8 |
Bhre Kabalan |
Kusumawardhani2 |
anak perempuan |
|
9 |
Bhre Pawanuan |
Surawardhani |
keponakan perempuan |
|
10 |
Lasem (kota pesisir
di Jawa Tengah) |
Bhre Lasem |
Rajasaduhita Indudewi |
sepupu |
11 |
Bhre Pajang |
Rajasaduhita Iswari |
saudara perempuan |
|
12 |
Mataram (sekarang Yogyakarta) |
Bhre Mataram |
Wikramawardhana2 |
keponakan laki - laki |
Catatan: |
Arca dewi Parwati sebagai
perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.
Sedangkan dalam Prasasti
Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah
bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[53] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
·
Kahuripan (no. 1) ·
Daha (no.
2) ·
Tumapel (no. 3) |
·
Wengker (no. 4) ·
Matahun (no. 5) ·
Wirabumi (no. 6) |
·
Kabalan (no. 8) ·
Kembang Jenar (no. 10) ·
Pajang (no. 11) |
·
Jagaraga ·
Keling |
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh
Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:
·
Negara
Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area
awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki
era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibu kota kerajaan dan wilayah
sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini
meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola
oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
·
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini
secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti
tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja
pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga
kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di
tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan
mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar.
Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan
juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan Palembang di Sumatra.
·
Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa,
tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka
menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak
merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini;
akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas
wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan
kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan
Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan,
dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori tersebut masuk ke dalam lingkaran
pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup
keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri.
Hubungan diplomatik
Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dalam menjalin
persekutuan. Semboyan Mitreka Satata digunakan oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai landasan dalam menjalankan
politik luar negeri Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan
secara damai dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kutipan ini berasal
dari Kakawin Nagarakretagama pupuh 15, bait 1[54]. Lengkapnya ialah:
Jawa
Kuno |
Alih
bahasa |
nahan / lwir ni? deçantara kacaya de çri
narapati, tuhn / ta? synakayodyapura kimuta? darmmanagari, marutma mwa? ri?
rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yawana mitreka satata |
Such is the aspect of the other countries, protected by
the Illustrious Prince; verily, to be sure:
Syangkayodhyapura, together with Dharmanagari, Marutma and Rajapura, and
Singhanagari too, Campa, Kamboja. Different is Yawana, that is a friend,
regul |
kuna? teka? nusa madura tatan ilwi?
parapuri, ri denyan tungal / mwa? yawadarani rakwaikana danu, samudra(1)
nangu?(2) bhumi(3) kta ça- (98b) ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara
sasiki tatwanya tan adoh |
Concerning now this island of Madura, this is not at
all of the same aspect as the foreign kingdoms, because of the fact that
it has been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the
past: "The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their
Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice;
(nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other). |
huwus rabda? dwipantara sumiwi ri çri
narapati, padasthity awwat / pahudama wijil anken / pratimasa, sake kotsahan
/ sa? prabhu ri sakhahaywanyan iniwö, bhujanga mwa? mantrinutus umahalot /
patti satata. |
Already the other continents are getting ready to show
obedience to the Illustrious Prince, alike orderly they bring
in all kinds of products every ordained season. As an instance of the
honoured Prabhu's exertion for all the good that is taken care of by him,
ecclesiastical officers and mandarins are sent to fetch the produce
regularly. |
Mitreka Satata yang secara harafiah berarti "persaudaraan
yang satu dengan dasar persamaan derajat". Mitreka berasal dari kata mitra
dan ika (mitra = sahabat; ika = itu) Satata berarti satu tata (sama derajat dan
kekal). Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara
oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut
Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan
Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan
di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi
Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak
termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar
negeri dengan kedua bangsa ini.
Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba
seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala",
yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya
daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan
tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[55] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit,
yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli
penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas.
Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit,
tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut
oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga
ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor,
serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga
penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[56]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga
kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri
Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah
daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin
diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit
menjadi dua kelompok[8].
Nama Raja |
Gelar |
Tahun |
Kertarajasa Jayawardhana |
||
Kalagamet |
||
Sri Gitarja |
||
Sri Rajasanagara |
||
Dyah Ayu Kencana Wungu |
||
Brawijaya I |
||
Brawijaya II |
||
Purwawisesa atau Girishawardhana |
Brawijaya III |
|
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa |
Brawijaya IV |
|
Bhre Kertabumi |
||
Brawijaya VI |
||
Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit
akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa
lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik[sunting | sunting sumber]
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha
mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit.
Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak
dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang
dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena
merupakan lokasi ibu kota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki
tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan
keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap
meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar
dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati
kebudayaan Majapahit.[44]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk
mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas
politik negara Republik Indonesia saat ini.[20] Dalam propaganda yang dijalankan
tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai
penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[57] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa,
sedangkan Orde Baru menggunakannya
untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[58] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang
luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal
dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"),
berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa
garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan
nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang
ditulis oleh Mpu Tantular,
seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur
Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari
kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian Art, San Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan
dalam bidang arsitektur di
Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di
ibu kota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi
inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat
di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang
menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.
Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan
Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan
arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana
ditemukan pada Candi
Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di
Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya
bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di Cirebon, Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang
dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan
arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa
kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana)
dan pura di Bali.
Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang
terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para
seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia.
Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi lama
·
Serat Darmagandhul,
sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki
Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan
Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan
keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Hindu" ke Islam dan
sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
·
Serial
"Mahesa
Rani" karya Teguh Santosa yang
dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga
awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.
·
Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit,
karya Jan Mintaraga.
·
Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
·
Strip komik "Panji Koming"
karya Dwi
Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari
seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.
·
Komik
"Dharmaputra Winehsuka", karya Alex
Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar
peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.
Roman/novel sejarah
·
Sandyakalaning
Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa
keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
·
Pelangi Di
langit Singasari (1968 - 1974),
roman sejarah dengan setting zaman kerajaan Kediri dan
Singasari, karya S. H. Mintardja.
·
Bara Di
Atas Singgasana, roman sejarah
dengan setting zaman kerajaan singasari dan Majapahit,
karya S. H. Mintardja
·
Kemelut Di
Majapahit, roman sejarah dengan setting masa
kejayaan Majapahit, karya Asmaraman
S. Kho Ping Hoo.
·
Zaman
Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang
menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik
seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
·
Senopati
Pamungkas (1986/2003), cerita silat
dengan setting runtuhnya Singhasari dan
awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara,
karya Arswendo Atmowiloto.
·
Arus Balik (1995),
sebuah epos pasca
kejayaaan Nusantara pada awal abad 16, karya Pramoedya Ananta Toer.
·
Dyah Pitaloka
- Senja di Langit Majapahit (2005),
roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah
Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang
gugur dalam Peristiwa Bubat.
·
Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah
berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara,
karya Langit Kresna Hariadi.
·
Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek
berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel
Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.
Film/sinetron
·
Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari
serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar belakang Kerajaan Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga
Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.
·
Saur Sepuh,
suatu adaptasi film karya Niki
Kosasih dari serial sandiwara radio yang
populer pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Film ini
sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit
pula.
·
Walisanga,
sinetron Ramadan tahun 2003 yang
berlatar Majapahit pada masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak pada zaman Sultan Trenggana.
·
Puteri
Gunung Ledang, sebuah film Malaysia
tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri
Gunung Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan Gusti Putri Retno
Dumilah, seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang
perwira Kesultanan Malaka.
·
Civilization
V: Brave New World yang terbit pada
Juli 2013, terdapat peradaban Indonesia dengan tokoh
pemimpinnya Gajah Mada. Meskipun dinamakan peradaban 'Indonesia', namun
perdaban ini menggunakan Surya Majapahit sebagai
simbolnya. Peradaban ini memiliki bangunan unik yaitu Candi, yang
memiliki ikon bergambar Candi bentar di Trowulan, Mojokerto.
·
Kemudian
pada Civilization VI sebuah DLC memiliki salah satu pemimpin Majapahit,
Dyah Gitarja sebagai pemimpin peradaban Indonesia dengan simbolnya berupa Surya
Majapahit yang lebih sederhana. Unit unik untuk peradaban ini adalah jong,
yang menggantikan frigate.
·
Age
of Empires II: The Age of Kings ekspansi
keempat Rise of Rajas yang terbit pada Desember 2016,
menampilkan misi sebagai Gajah Mada, dari
awal pendirian Majapahit mengusir tentara Mongolia dan
Kediri (Kerajaan Singhasari), menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan Nusantara setelah Sumpah Palapa hingga
peristiwa Perang Bubat yang mengakhiri karier Gajah Mada sebagai Mahapatih
kerajaan Majapahit. Bangunan Candi bentar, Gapura Bajang Ratu serta Candi Kalasan ditampilkan
secara visual pada misi Gajah Mada.
Lihat pula
Referensi
1. ^ D.G.E. Hall (1956).
"Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs. 38 (3/4):
353—359.
2. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 19
3. ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier
Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The
Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague,
Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the Myths: Essays
in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve,
1968), hal. 21.
4. ^ Taylor, Jean Gelman
(2003). Indonesia:
Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press.
hlm. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.
5. ^ a b c Ricklefs (1991), page 18
6. ^ Johns, A.H.
(1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese
Historiography". The
Journal of Asian Studies. 24 (1): 91–99.
7. ^ Nagarakretagama Diakui sebagai Memori Dunia, kompas.com
8. ^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,
Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal.
55. Kesalahan
pengutipan: Tanda<ref>
tidak sah; nama "Ricklefs_55"
didefinisikan berulang dengan isi berbeda
9. ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen
der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol.
69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962;
cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300,
2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311
10. ^ http://www.tempo.co/read/news/2010/07/01/061260022/Indonesia-Jepang-Buat-Kapal-Majapahit/ Tempo/
11. ^ http://sains.kompas.com/read/2012/12/05/19045066/Majapahit-Jajah-hingga-Semenanjung-Malaya. Kompas/
12. ^ http://www.kali-majapahit.com/
13. ^ a b Setiono,
Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri
Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses tanggal 16
Juni.
14. ^ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses
of Tumapel 2006
15. ^ a b Mulyana 2006, hlm. 122
16. ^ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia
and Malaya: Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
17. ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS,
2005)
18. ^ Komandoko 2009, hlm. 16
19. ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah
Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990,
hal. 436.
20. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56
21. ^ Munoz, Paul Michel
(2006). Early
Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore:
Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675.
22. ^ Drs. R. Soekmono,
(1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2,
2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72.
23. ^ Y. Achadiati S,
Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit. Jakarta:
PT Gita Karya. hlm. 13.
24. ^ Millet, Didier
(August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient
History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 106. ISBN 981-3018-26-7.
25. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
26. ^ Ricklefs (2005), hal. 57.
27. ^ Ricklefs, 37 and 100
28. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
29. ^ Ricklefs, 36-37
30. ^ Robert W. Hefner
(1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic
Java". American Ethnologist. 10 (1983):
665––683. doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. Diakses
tanggal 2008-10-23.
31. ^ Song Lian. Sejarah Yuan.
32. ^ Reid, Anthony (2012). Anthony Reid and the Study
of the Southeast Asian Past. ISBN 978-981-4311-96-0
33. ^ Groeneveldt, W.P.
(1877). Notes
on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources. Batavia:
Transactions of the Batavian Society of Arts and Science.
34. ^ Tiaoyuan, Li
(1969). South
Vietnamese Notes. Guangju Book Office.
35. ^ Pires, Tome. Suma Oriental. The Hakluyt
Society. ISBN 9784000085052.
36. ^ Barbosa, Duarte
(1866). A
Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the
Sixteenth Century. The Hakluyt Society.
37. ^ Hikayat Raja-Raja Pasai, 3: 98: Sa-telah itu, mak
disuroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata
peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang
besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.
38. ^ a b Nugroho, Irawan
Djoko (2011). Majapahit
Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 9786029346008.
39. ^ Text from Fra Mauro map, 10-A13, bahasa Italia asli:
"Circa hi ani del Signor 1420 una naue ouer çoncho de india discorse per
una trauersa per el mar de india a la uia de le isole de hi homeni e de le done
de fuora dal cauo de diab e tra le isole uerde e le oscuritade a la uia de
ponente e de garbin per 40 çornade, non trouando mai altro che aiere e aqua, e
per suo arbitrio iscorse 2000 mia e declinata la fortuna i fece suo retorno in çorni
70 fina al sopradito cauo de diab. E acostandose la naue a le riue per suo
bisogno, i marinari uedeno uno ouo de uno oselo nominato chrocho, el qual ouo
era de la grandeça de una bota d'anfora." [1][pranala nonaktif permanen]
40. ^ Lombard, Denys
(1990). The
Javanese Crossroads. Essay of Global History. ISBN 2713209498.
41. ^ Sejarah Melayu, 5.4: 47: Maka betara Majapahit pun
menitahkan hulubalangnya berlengkap perahu akan menyerang Singapura itu,
seratus buah jung; lain dari itu beberapa melangbing dan kelulus, jongkong,
cecuruh, tongkang, tiada terhisabkan lagi banyaknya.
42. ^ Sejarah Melayu, 10.4: 77: ... maka baginda pun segera menyuruh
berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong,
tiada terbilang lagi.
43. ^ a b c Millet, Didier
(August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient
History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.
44. ^ a b Schoppert, P.,
Damais, S. (1997). Di dalam Didier Millet (editor):, ed. Java Style. Paris: Periplus
Editions. hlm. 33–34. ISBN 962-593-232-1.
45. ^ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java,
page:100". Persee. 1996. Diakses tanggal 2010-07-14.
46. ^ Munandar AA. 2004. KARYA SASTRA JAWA KUNO YANG DIABADIKAN PADA RELIEF
CANDI-CANDI ABAD KE-13—15 M. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004:
54-60.
47. ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". 2008.
48. ^ Millet, Didier
(Hardcover edition — August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient
History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.
49. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
50. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
51. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
52. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
53. ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam
situs www.Majapahit-Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
54. ^ "Materials for the Medieval History of
Indonesia".
55. ^ Dellios, Rosita
(2003-1-1). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs
in traditional Southeast Asia" (dalam bahasa Inggris). Bond
University Australia. Diakses tanggal 2011-12-11.
56. ^ Bullough, Nigel
(1995). Historic
East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117. Teks "consulting editor: Mujiyono PH" akan
diabaikan (bantuan); Teks "Printed in Singapore " akan
diabaikan (bantuan)
57. ^ Ricklefs, hal. 363
58. ^ Friend,
Theodore. Indonesian
Destinies. Cambridge, Massachusetts and London: Belknap Press,
Harvard University Press. hlm. p.19. ISBN 0-674-01137-6.
Daftar pustaka
·
Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS
Pelangi Aksara. hlm. 122. ISBN 978-979-2552-546.
·
Komandoko, Gamal (2009). Gajah Mada: menangkis ancaman pemberontakan Ra Kuti:
kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang
raja(dalam
bahasa Indonesia). Penerbit Narasi. hlm. 122. ISBN 978-979-164-145-2 Periksa nilai: checksum |isbn=
(bantuan).
Pranala luar
|
Wikimedia Commons memiliki
media mengenai Majapahit. |
·
(Inggris) Memories of Majapahit - memuat sejarah dan keterangan situs-situs peninggalan
Majapahit.
·
(Indonesia) Diskusi tentang Perseteruan Ming dan Majapahit
·
(Indonesia) Terjemahan Naskah Asli Kitab Negarakretagama Karya Mpu
Prapanca - Dari situs www.sejarahnasional.org
MASA PERGERAKAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA
Perang Diponegoro
Perang
Diponegoro |
|||||||
|
|||||||
|
|||||||
Pihak
terlibat |
|||||||
|
Milisi Pro-Pangeran Diponegoro |
||||||
Tokoh
dan pemimpin |
|||||||
Pangeran Diponegoro |
|||||||
Kekuatan |
|||||||
50.000 |
100.000 |
||||||
Korban |
|||||||
Serdadu Eropa: |
20,000 tewas dalam perang[3] |
||||||
Perang Diponegoro yang
juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah
perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan
penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara
korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu
pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat
Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran
Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat
Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem)
menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[8]
Latar belakang
Pemerintahan Daendels dan Raffles
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan
Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan
untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat
itu Belanda dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan
tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap
berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya,
membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah
Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo.
Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain
yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun,
pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan
Belanda.[8]
Meskipun pada mulanya Inggris yang
dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812)
yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya,
yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan
mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah
Gubernur Jenderal Belanda van
der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris,
Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran
Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814),
sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus
wali raja, sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali raja.[8]
Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert
Pada tanggal 6 Desember 1822,
Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri
Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana
IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra
Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V
serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro
selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.
Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III meskipun bukan dari istri resmi
(permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri
karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali
sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu,
yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran
Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua
ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.[8]
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf
pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan
penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der
Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang
disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31
Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada
penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang
disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang
kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu
kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas
perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan
keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu
tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober
1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di
Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan
Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan
dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo
dapat membeli senjata dan makanan.[8]
Mulainya perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki
jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya
dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan
melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok
jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran
Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga
Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi
antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga
memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang
sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak
sebagai pernyataan perang.[8]
Pada hari Rabu, 20
Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan
Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo
sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran
dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di
Tegalrejo.[8] Pangeran Diponegoro beserta keluarga
dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan
meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang
terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro
kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan
Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah
barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan
Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya
wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang
Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat
Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan
barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk
bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro.
Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang
sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi
kontroversi tersendiri.[8] Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati
Gagatan.
Perang sabil
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya,
perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang
saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di
istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping
kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9] Infiltrasi pihak Belanda di istana
telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert
menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme
dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.[8]
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de
Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan
serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh
pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa
meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang
Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.[8]
Jalan peperangan
Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun
1830
Diponegoro
Alibasah Sentot
Pertempuran terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang
sejak perang Napoleon menjadi
senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung
dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran
berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar
jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang
berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi
berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi
selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur
Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena
hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri,
dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral
dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan
mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah
belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan
rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pencarian Diponegoro di Magelang.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di
sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam
tanggal 8 Januari 1855.
Pertempuran di Pluntaran.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak
pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah
penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Keraton
Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak
diperbolehkan lagi masuk ke keraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi
mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Akhir Perang
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang
menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi adalah
perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang
mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan,
judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah
Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda
harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang Paderi
berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda
terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatra Barat untuk menghadapi
Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata
disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatra
Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830),
kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri
babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya
ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1832
seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati
Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor
belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti
Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.[1]
Dalam catatan Belanda, para Warok yang
memiliki skill berperang dan ilmu kebal sangat tangguh bagi pasukan Belanda.
Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadinya sebuah
kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta
fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung
dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak
heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di
ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.[2]
Sinofobia
Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai
sekutu oleh Raden Ronggo dalam
pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal
tersebut disebabkan mencuatnya sikap anti-tionghoa oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton
Yogyakarta akibat intervensi pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan
etnis Tionghoa[11]
2. Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809)
menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan
pengusaha-pengusaha Tionghoa.[8]
3. Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di
Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan
Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).[8]
4. Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar
pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat
sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter.
Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat
yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.[8]
5. Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda
(1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa
meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.[8]
6. Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi
politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan
Mangkubumi.[8]
7. Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya
bahwa dirinya tergoda oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum
perang Gawok (Oktober 1986) sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan
tubuhnya (mendapat luka saat perang) dan mengalami kekalahan.[8]
8. Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro
sekaligus saudara ipar pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro
disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.[8]
Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa
Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang
arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta
dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di
Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke
Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara
(sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang,
dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium,
termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas
Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena
timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa
di Bagelen saat
penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.[8]
|
Wikimedia Commons memiliki
media mengenai Java War. |
Referensi
1. ^ Toby Alice Volkman: Sulawesi: island crossroads of
Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, page 73.
2. ^ a b Jaap de Moor: Imperialism and War: Essays on
Colonial Wars in Asia and Africa, BRILL, 1989, ISBN 9004088342, page 52.
3. ^ Clodfelter, Michael, Warfare and Armed Conflict: A
Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1618-1991
4. ^ Eric Oey: Java, Volume 3, Tuttle Publishing,
2000, ISBN 9625932445, page 146
5. ^ Renate Loose, Stefan Loose, Werner Mlyneck: Travel
Handbuch Bali& Lombok, CQ Press, 2010, ISBN 0872894347, page 61.
6. ^ Dan La Botz: Made in Indonesia: Indonesian Workers
Since Suharto, South End Press, 2001, ISBN 0896086429, page 69.
7. ^ Kompas, diakses 14 Mei 2007
8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran
Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan
Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
9. ^ J.
Kathirithamby-Wells (1998). "The Old and the New". Dalam Mackerras,
Colin. Culture and Society in the Asia-Pacific. Routledge. hlm. 23.
10. ^ M.C. Ricklefs: A History of modern Indonesia since
1300, p. 117.
11. ^ Budi Susanto (editor). 2003. Identitas dan
Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-21-0851-3.
PERANG PADERI ( PERLAWANAN IMAM BONJOL)
Perang Padri
Perang
Padri |
|||||||
|
|||||||
Pihak
terlibat |
|||||||
Perang 1803–1821: |
|||||||
Tokoh
dan pemimpin |
|||||||
|
|
||||||
·
Meninggal dunia dalam rentang waktu
peperangan |
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang
pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya
pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang
marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum
Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan
sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan
madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat
mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal
agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum
Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut
memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat
dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin
oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belandapada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru
memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini
dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan
rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga.
Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak
merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan
masyarakat dari kawasan konflik.
Latar belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh
kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanikdan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam
yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3]Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung
keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau
yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring
itu beberapa nagaridalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak,
puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan
pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]
Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan
keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang
dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal
Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan
mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda
menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada
pemerintah Hindia Belanda,
kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah
Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena
diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai
dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas
perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah
pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari
Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan
pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju
ke Luhak Agam.
Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat
kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822
pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13
April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan
gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel
Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian
dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal
dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya
mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824,
pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa
kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang.
Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau,
tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.[13]
Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri
cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh
sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk
berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November
1825.[2]Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain
di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan
kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul
suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit
Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam,
sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang
diilustrasikan oleh de
Stuerspada tahun 1820.
Artikel utama: Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol yang
bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah
sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus
panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai
menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap
saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi
lain fanatisme tersebut
juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]
Peperangan jilid kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan
pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba
untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk
penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan
pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan
salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih
kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial
masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir
pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin
mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan
lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan
menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda
membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun
Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun
1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda
setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat,
kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru.
Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah
melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan
legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil
menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak
ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Namun di
tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya
dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim
pasukan infantri dalam
jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan
tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan
konsolidasi dan berkubu di Kamang,
tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri
terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan
penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal
Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi,
tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut
diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di
pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air
Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui
ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]
Perlawanan bersama
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi
antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Di ujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun
pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu
pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan
menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah
Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833
di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya
ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan
Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos
Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk
menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian
diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya
menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang
disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan
Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut,
mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau
akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka
penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol
Letnan
Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de Veer. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri,
diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Lamanya penyelesaian peperangan ini,
memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat
proses operasi militer yang
dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan
perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol,
pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang
saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol,
karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat
mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch
bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10
September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga
jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian
berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan
dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda
seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya
dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21
September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud,
Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya
fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan
mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga
terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan
kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda
memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan
Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835,
pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak
masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti
menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan
Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di
Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran
sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama
tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak.
Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa
mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai
kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda
menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk
dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai frontterdepan dari
Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh
Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai
daerah ini.[24]
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835
pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri
tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol
dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835,
kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan
menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum
Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi.
Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak
menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang
bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis
di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan
Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit
Tajadi.
Benteng Bonjol]
Lukisan Bonjol pada
tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak
di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas,
dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini
mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku
dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya
dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di
antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat
mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan
Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang
dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]
Pengepungan Bonjol
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan
Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk
melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum
Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai
berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu
dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk
mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia
atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif
terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai
dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi,
dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut
satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar
Bukit Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835,
pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5
September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar
benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit
Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke
dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan
Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya
gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel
Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa
dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian
Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk
memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember
1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda.
Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang
bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda,
perlawanan ini dapat diatasi.
Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang
diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada
tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan
besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan
Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga
pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga
Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum
Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan
terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban
jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar
memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu
itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang
bernama Mayor Jenderal Cochiusuntuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk
kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi
Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif
mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17
Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa
perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche
hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias
Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya
adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager,
Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan
seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto
Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan
kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal
Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu
dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda,
direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin
oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta
bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan
lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang
terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit
Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan
dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari
benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah
Marapak.
Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku
Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya
yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun
bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja
yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda
pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama
ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda[30].
Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol
dibuang ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol
kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa,
dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani
masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi
yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya
atas kekejaman Wahabi Paderi[30]. Tulisan tersebut merupakan karya sastra
autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol
dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley[31], dan 2004[32] di Padang.[30]
Akhir peperangan
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia
Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol
dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap,
tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum
Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu),
yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[33] Jatuhnya benteng tersebut memaksa
Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya,
dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung
ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan
sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas
jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen
untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa
lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai
kawasan wisata di Minangkabau.[34] Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang
Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam
Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.
Referensi
1. ^ Cuisinier, Jeanne
(1959). "La Guerre des Padri (1803-1838-1845)". Archives de Sociologie des Religions. Centre National de
la Recherche Scientifique.
2. ^ a b Sejarah. Yudhistira Ghalia
Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.
3. ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic
Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern
'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii
Press. ISBN 0-8248-2848-8.
4. ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam
Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
5. ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam
Bonjol. Padang: PPIM.
6. ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and
Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
7. ^ a b Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
8. ^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands
Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
9. ^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche
Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7.
1844:116.
10. ^ H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch
leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder
Muller. I: 20-1
11. ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a
Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
12. ^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw
Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
13. ^ Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
14. ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah
(2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural
Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not
Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau
Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
15. ^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra
1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
16. ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
17. ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial
Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
18. ^ Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
19. ^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas
dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
20. ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an
Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
21. ^ Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
22. ^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia
(1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia.
Staf Angkatan Bersenjata.
23. ^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige
Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
24. ^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus
perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda,
Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
25. ^ a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn
Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag:
Erven Doorman.
26. ^ Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol.
27. ^ Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de
Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den
Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
28. ^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern
South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
29. ^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het
Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie.
Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
30. ^ a b c Hadler, Jeffrey
(2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State
in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History". The Journal of Asian Studies(dalam bahasa Inggris). 67 (3):
971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401. Halaman 986-989, 1002
31. ^ IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925.
Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau].
University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.
32. ^ IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol.
Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.
33. ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
34. ^ Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated
Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia
(Weltevreden): Official Tourist Bureau.
PERANG PERLAWANAN KAPITEN PATTIMURA
Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.
Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama
kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan
bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni
Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini
adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram.
Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.
Perjuangan
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer
sebagai mantan sersan Militer Inggris.[1]
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan
kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta
mengabaikan Traktat London I antara lain dalam
pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan
dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga
dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku
maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk
memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas
militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan[2] Kedatangan kembali
kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang
buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di
bawah pimpinan Kapitan Pattimura[3] Maka pada waktu
pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima
perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama
pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan
dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan
diakui luas oleh para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan
menentang Belanda ia juga menggalang
persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala
nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat
dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal
untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang
Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh
para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebook, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat
seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai
Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan
Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya
dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada
tanggal 16
Desember1817 di kota Ambon.
Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai
pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
Referensi
1.
^ Pahlawan
Nasional dari Maluku dalam
www.tokohindonesia.com
2.
^ J B Soedarmanta, Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan
bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, halaman 199, ISBN
979-759-716-4 ISBN
978-979-759-716-0
3.
^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref
bernama Sejarah Maluku
PANGERAN ANTASARI
Pangeran Antasari
Pangeran
Antasari |
|
Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin |
|
Lukisan
Pangeran Antasari menurut Perda Kalsel |
|
Masa kekuasaan |
|
Pendahulu |
|
Pengganti |
|
Pasangan |
1. Ratu Antasari (Ratoe Idjah)
binti Sultan Adam |
Anak |
1. ♂ Panembahan Muhammad Said (anak
dengan Ratu Antasari) 2. ♂ Sultan Muhammad Seman(anak dengan Nyai Fatimah) 4. ♀ Puteri Hasiah
(diperisteri Pangeran Wira Kasuma |
Wangsa |
|
Ayah |
Pangeran Masud bin Pangeran
Amir |
Ibu |
Gusti Khadijah binti Sultan
Sulaiman |
Pangeran Antasari (lahir
di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797[1][2] atau 1809[3][4][5][6] – meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14
Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan
Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati
(gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[8]
Daftar isi
·
3Perlawanan
terhadap Belanda
Gusti Inu Kartapati[sunting | sunting sumber]
Pangeran Antasari merupakan cucu Pangeran Amir.[9] Semasa muda nama Pangeran Antasari
adalah Gusti Inu Kartapati.[10] Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti
Hadijah binti Sultan Sulaiman.
Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran
Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya
sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya
sebagai Sultan Tahmidullah II[11][12][13]Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8
puteri.[14] Pangeran Antasari mempunyai adik
perempuan yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena
menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin
Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah
melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang
juga meninggal semasa masih bayi.
Pewaris Kerajaan Banjar[sunting | sunting sumber]
Dia cucu Pangeran Amir yang gagal naik tahta pada tahun 1785.[15][16] Pangeran Antasari tidak hanya
dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju,
Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya
yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang
beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda
dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan
kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula
oleh Pangeran Antasari.[17] Sebagai salah satu pemimpin rakyat
yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk
mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di
wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada
tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“ |
Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! |
” |
Seluruh rakyat, para panglima Dayak,
pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara
bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan
pemuka agama tertinggi.[2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran
Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan
rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Perlawanan terhadap Belanda[sunting | sunting sumber]
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam
pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara
Perang Banjar pecah
saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengarontanggal 25
April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di
seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya
yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan,
Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[18]
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit
antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di
berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia
dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran
Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng
pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran
Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendiriannya. Ini tergambar pada
suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli
1861.
“ |
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju
terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka
(kemerdekaan)... |
” |
Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan
hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari
dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau
menerima tawaran ini.[19] Orang-orang yang tidak mendapat
pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[20]
1. Antasari dengan anak-anaknya
3. Amin Oellah
4. Soero Patty dengan
anak-anaknya
5. Kiai Djaya Lalana
6. Goesti Kassan dengan anak-anaknya
Monumen Perang Banjar
yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang tentaranya yang tewas.
Meninggal dunia[sunting | sunting sumber]
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat,
Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah
menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11
Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit
paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah
kaki Bukit Bagantung, Tundakan.[21] Perjuangannya dilanjutkan oleh
puteranya yang bernama Muhammad Seman.[22]
Setelah terkubur selama lebih kurang 91
tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan Banjar dan persetujuan
keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka
Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan
beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi
Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar
sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia
berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27
Maret 1968.[23] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan
julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian
untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional,
Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan
gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000
Bagan Silsilah[sunting | sunting sumber]
KESULTANAN BANJAR
Sultan Tahmidullah
Sultan Tahmid Ollah
Sultan Tahmid Allah
Panembahan Tingie
Panembahan Kuning [24]
↓ (berputra)
Pangeran Dipati Sena
Sultan Ilhamid Illah
(Chamidullah/Hamidullah)
Sultan Kuning (Kemuning)[25]
↓ (berputra)
Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anum
Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah
Sultan Muhamadiya Uddin Amin Ullah
SULTAN Muhamadiya Uddin Amin Ulatie
Sultan Tamjidillah II[26]
Sultan Tahmidillah 1[27]
↓ berputra
Pangeran Amir (Sultan Amir)
↓ berputra
Pangeran Mas'ud (Masoöd/Masohut)
↓ berputra
Gusti Inu Kartapati
Pangeran Antasari
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
↓ berputra
SULTAN BANJAR ↓ (berputra) 1.
♂ Pangeran Perbatasari (suami Goesti Dijah) 2.
♂ Pangeran Prabu Anom / Gusti Abdullah 3.
♂ Gusti
Muhammad Arsyad (suami Ratu
Zaleha) |
SULTAN
BANJAR ↓ (berputra) 1.
♂ Pangeran Banjarmas (anak Nyai Banun) 2.
♀ Goesti Dijah (anak Nyai Banun; isteri
Pg. Perbatasari) 3.
♀ Ratu
Zaleha (isteri Pg. M. Arsyad) 4.
♂ Gusti Berakit/Berkek (anak Nyai Mariamah) |
|
Referensi[sunting | sunting sumber]
·
Perang
Sabil Versus Perang Salib, Oleh Abdul Qodir Jaelani. Penerbit Yayasan
Pengkajian Islam Madinah al-Munawarah 1420 H/ 1999 M.
·
Van Rees
WA. 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van
1859-1863, Arnhem: Thieme.
·
M. Gazali
Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin:
Lambung Mangkurat Press, 1994.
·
R. L. de
Haes, Eenige opmerkingen over het werk getiteld: de Bandjermasinsche Krijg van
1859 tot 1863, D. Noothoven Van Goor, 1866
1. ^ (Indonesia) Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Galangpress Group. ISBN 6028620106.ISBN 978-602-8620-10-9
2. ^ a b (Indonesia) Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, Kawan Pustaka,
2004, ISBN 979-3034-70-X, 9789793034706
3. ^ (Indonesia) Wahana Ips Iimu Pengetahuan Sosial. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 9797467139.ISBN 978-979-746-713-5
4. ^ (Indonesia) Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia. Grasindo. hlm. 159. ISBN 9797597164.ISBN 978-979-759-716-0
5. ^ Helius Sjamsuddin; Antasari, Balai Pustaka, 1982
6. ^ (Indonesia) Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. PT Mizan Publika. ISBN 9797526828.ISBN 978-979-752-682-5
7. ^ Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands
8. ^ (Indonesia) Basuni, Ahmad (1986). Pangeran Antasari: pahlawan kemerdekaan nasional dari
Kalimantan.
Bina Ilmu. hlm. 57.
9. ^ (Belanda) Bruining & Wijt (1872). Militair tijdschrift. 3. hlm. 554.
10. ^ (Indonesia) Artha, Artum (1971). Pangeran Antasari Gusti Inu Kartapati.
11. ^ (Indonesia) Sudrajat, A Suryana (2006). Tapak-tapak pejuang: dari reformis ke revisionis (Seri
khazanah kearifan). Erlangga. hlm. 19. ISBN 9797816109.ISBN 978-979-781-610-0
12. ^ (Indonesia) Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 pahlawan & pejuang Nusantara. Pustaka Widyatama.
hlm. 54. ISBN 9796610906.ISBN 978-979-661-090-7
13. ^ (Belanda) (1899)De Indische gids. 21 (edisi ke-1). hlm. 277.
14. ^ (Belanda) Rutte, J. M. C. E. Le (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 20.
15. ^ (Indonesia) A. Suryana Sudrajat (2006). Tapak-tapak pejuang: dari reformis ke revisionis. Indonesia: Erlangga.
hlm. 19. ISBN 9789797816100. ISBN 9797816109
16. ^ (Belanda) Koninklijk Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1864). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 14. Indonesia: Lange.
hlm. 384.
17. ^ (Indonesia) SEJARAH
Untuk SMP dan MTs Penerbit Grasindo ISBN 979-025-198-X, 9789790251984
18. ^ (Indonesia) Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. ISBN 9790241151.ISBN 978-979-024-115-2
19. ^ (Indonesia) Saleh, Mohamad Idwar (1993). Pangeran Antasari. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
20. ^ (Belanda) de Heere, G. A. N. Scheltema
(1863). Staatsblad van Nederlandisch Indië. Ter Drukkerij van A. D. Schinkel.
hlm. 118.
21. ^ (Indonesia) 100 Pahlawan Nusantara: Mengenal Dan Meneladani Para
Pahlawan Melalui Kisah Perjuangan Mereka Dalam Mewujudkan Dan Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia. AgroMedia. hlm. 6. ISBN 6028526347.ISBN 978-602-8526-34-0
22. ^ (Indonesia) IPS : - Jilid 5. ESIS. hlm. 70. ISBN 9797346013.ISBN 978-979-734-601-0
23. ^ (Indonesia) Pahlawan Indonesia. Niaga Swadaya. hlm. 12. ISBN 979-1481-60-1.ISBN 978-979-1481-60-1
24. ^ (Indonesia) M. Idwar Saleh (1993). Pangeran Antasari. Indonesia: Proyek lnventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 75.
25. ^ (Belanda) Willem Adriaan van Rees (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. 1. D. A. Thieme.
hlm. 7.
26. ^ Templat:Idnl Departemen Penerangan Indonesia
(1959). Republik Indonesia. 7. Indonesia: Kementerian
Penerangan. hlm. 365.
27. ^ Templat:Idnl Tamar Djaja (1966). Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah
air. 2. Indonesia:
Bulan Bintang.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
·
http://en.rodovid.org/wk/Person:157411 Silsilah Pangeran Antasari
·
(Indonesia) http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/keturunan-pangeran-antasari-berdoa-di-makam-leluhur.html
·
(Indonesia) Pangeran Antasari
·
(Indonesia) Perang Banjar (1859-1905) 2
·
(Indonesia) SEMANGAT, PERJUANGAN, DAN KETOKOHAN P. ANTASARI DALAM DE
BANDJERMASINCHE KRIJG
·
(Inggris) Silsilah
Antasari
·
(Indonesia) Perang Banjar
·
(Indonesia) memuat
tentang Pangeran Perbatasari
·
(Indonesia) Asrama Kalsel Pangeran Antasari
·
(Indonesia) Sekilas mengenai Pangeran Antasari\
·
(Indonesia) Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?
PERLAWANAN
SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai salah satu perangko
Sultan Hasanuddin (lahir
di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12
Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid,
seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah
gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki
Tahta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah meninggal ia
digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia
dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan
di Katangka, Kabupaten Gowa.
Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan
Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan
besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC)
berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah berhasil
mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda
memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga yang ditetapkan oleh mereka,
selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkeh di beberapa tempat,
supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan Hasanuddin menolak
keras kehendak itu, sebab yang demikian adalah bertentangan dengan kehendak
Allah katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni
"marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba
kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia telah melihat besarnya
keuntungan di negeri ini, sedang Sultan Hasanuddin memandang bahwa cara yang
demikian itu adalah kelaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi
belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah
pimpinan Cornelis Speelmanbeserta
sekutunya kembali menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung dimana-mana,
hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan
sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada
tanggal 18 November 1667 di Bungaya. Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan
perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada Tahun 1669. Kompeni berhasil
menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24
Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12
Juni 1670.
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ Peranginangin, Marlon dkk; Buku Pintar Pahlawan
Nasional. Banten: Scientific Press, 2007.
PERANG PERLAWANAN TEUKU UMAR
Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan asal Aceh yang berjuang dengan cara
berpura-pura bekerjasama dengan Belanda & terkenal
akan strategi perang gerilyanya. Ia melawan Belanda ketika telah
mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.
Daftar isi
·
7Gugur
·
9Galeri
Masa Muda[sunting | sunting sumber]
sebuah
foto Teuku Umar bersama pengikutnya.
Teuku
Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku
Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh.
Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.
Nenek
moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan
keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh
pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[1]. Salah seorang
keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu
terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat
jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku
Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta
Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak
perempuan bernama Cut Nyak Dhien[2].
Teuku
Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka
berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan
pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah
mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat,
cerdas, dan pemberani.
Perang Aceh[sunting | sunting sumber]
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya
ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih
muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.[2]
Pada
usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.
Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan
Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada
tahun 1880, Teuku Umar menikahi
janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu
Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni1878 dalam peperangan melawan Belanda di
Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap
pos-pos Belanda.
Taktik Penyerahan Diri[sunting | sunting
sumber]
Rumah
Teuku Umar di Lampisang, Peukan Bada, Aceh
Besar tahun 1896.
Teuku
Umar kemudian mencari strategi untuk
mendapatkan senjata dari pihak
Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda
berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga
bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh.
Teuku Umar kemudian masuk dinas militer[3].
Ketika
bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal
tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar
Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai
kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17
orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang
Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.
Insiden Kapal Nicero[sunting | sunting
sumber]
Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero"
terdampar. Kapten dan awak kapalnya
disandera oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut
tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial
Belanda Teuku
Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut
telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.
Teuku
Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan
yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri
tidak dapat merebutnya kembali. Namun ia sanggup merebut kembali asal
diberi logistik dan senjata yang
banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Dengan
perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32
orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan
berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah
laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku
Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga
menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.[3]
Melanjutkan Perlawanan[sunting | sunting
sumber]
Teuku
Umar dan pengikutnya (gambar oleh G. Kepper,
1900).
Teuku
Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin
kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6
Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar
kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang, Aceh
Besar,
yang juga menjadi markas tentara Aceh.
2
tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal "Hok Canton" yang dinahkodai pelaut Denmarkbernama Kapten Hansen,
dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik
ke kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke
pelabuhan Ulee Lheu, dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan
sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.
Umar
curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras
Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari
salah seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen
tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung.
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun
Hansen ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar
sudah siap, dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil
dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan
John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat
marah karena rencananya gagal.[3]
Perang
pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX
Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun sangat
kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.
Penyerahan Diri Kembali[sunting | sunting
sumber]
Penyerangan
rumah Teuku Umar di Lampisang tahun 1896.
Teuku
Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak bisa
bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah
ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali
kepada Belanda.
September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff
di Kutaraja bersama 13 orang
Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan.
Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar
Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas
keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.[3]
Teuku
Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap
pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu
memenuhi setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan
yang memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur
Belanda.
Kepercayaan
itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh
selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang
pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku
Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk
menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Makam
Teuku Umar di Mugo Rayek, Panton Reu, Aceh
Barat.
Pada
suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadiri para
pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak
Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda
yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah
bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan
Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para
pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.[3]
Pada
tanggal 30
Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer
Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000
dollar.
Berita
larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur
Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan
ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda.
Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. maka pada tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai
Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.
Teuku
Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh
komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la
dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat
dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali
dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang
oleh satu komando.
Pada
bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII
Mukim Pidie bersama seluruh
kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar
dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah
setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.
Gugur[sunting | sunting sumber]
Monumen
Teuku Umar di Meulaboh.
Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan
dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera
menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam
menjelang 11
Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di
pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz
mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur.
Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam
pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Jenazahnya
dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di
Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat
bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya
suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat
Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.[3]
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Atas
pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah
Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga
diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah
satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya.
Galeri[sunting | sunting sumber]
·
Gelang Akarbahar milik Teuku Umar (koleksi Tropen Museum)
Jas Teuku Umar (koleksi Tropen Museum)
Tempat tinta milik Teuku Umar
Referensi[sunting | sunting sumber]
1.
^ Riwajat hidup (singkat)
beberapa orang pahlawan Atjeh, zaman pra-kemerdekaan
2.
^ a b http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02014.pdf
3.
^ a b c d e f "T.
Umar.pdf" (PDF). Pemerintah
Provinsi Aceh.
CIK DIKTIRO
Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman Tiro |
|
Teungku
Chik di Tiro Muhammad Saman |
|
Lahir |
|
Meninggal |
31 Januari
1891 (umur 55) |
Dikenal atas |
Pahlawan Kemerdekaan Aceh |
Teungku Chik di Tiro
Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1
Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, 31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.
Daftar isi
·
1Riwayat
Riwayat[sunting | sunting sumber]
Gerbang masuk makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari
Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku
Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1
Januari1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah
Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie,
Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai
pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai
tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan
imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda,
kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini
dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.
Memimpin perjuangan[sunting | sunting sumber]
Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Dengan perang sabilnya, satu persatu
benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula
wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya.
Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda
Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota
Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie
stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih
dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang
kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan
penyerangan terhadap Belanda.[1] Selama ia memimpin peperangan terjadi
4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu:
·
Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
·
Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
·
Henry
Demmeni (1884-1886)
·
Henri
Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan
cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.
Lain-lain[sunting | sunting sumber]
Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[2]
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
·
Tiro
·
Teungku
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ Tengku
Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)
2. ^ Kyodo, Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace
deal, 2
Januari 2006
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
·
Yakub,
Ismail. 1960. Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar
dalam Perang Atjeh (1881-1891). Jakarta:
Bulan Bintang
·
Ishak,
Jauhari. 1984. Pahlawan-pahlawan nasional dari Aceh: Teuku Umar, Cut
Nyak Dien, Teungku Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Teuku Nyak Arif. Jakarta: Meudanghara Putra
·
(Indonesia) "Panglima Perang Aceh" Bio Teungku Cik Di Tiro
di Ensiklopedi Tokoh Indonesia
CUT NYAKDIN
Cut Nyak Dhien
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Untuk film Indonesia tahun 1988, lihat Tjoet Nja' Dhien (film).
Cut Nyak Dhien |
|
Cut
Nyak Dhien |
|
Lahir |
|
Meninggal |
6
November 1908 (berusia 59–60) |
Dikenal atas |
|
Suami/istri |
|
Anak |
Cut Nyak Dhien (ejaan
lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada
masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada
tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya
terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah
dengan Teuku Umar,
setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima
lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang
diberi nama Cut Gambang[1]. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian
di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat
itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit
seperti encokdan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan
keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut
Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan
rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap
membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada
tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini
diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak
Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Daftar isi
·
2Perlawanan
saat Perang Aceh
·
4Makam
Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]
Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga
bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang
merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[4]. Datuk Makhudum Sati mungkin datang
ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah
anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang
agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan
sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka
pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah
dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka
memiliki satu anak laki-laki.
Perlawanan saat Perang Aceh[sunting | sunting sumber]
Rencong merupakan
senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak
Dhien menggunakan Rencong sebagai salah satu alat perang untuk melawan para
tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan
membakar Masjid
Raya Baiturrahman pada tahun 1873.
Pada tanggal 26
Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur
melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8
April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan
sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten,
daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada
tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya
mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle
Tarum, ia tewas pada tanggal 29
Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda.[2]
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut
Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar
mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien
akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar
memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan
dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka,
sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan
menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar
merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai
penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali
melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan
dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara
pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan
rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis
Aceh.[1]
Teuku Umar, suami
kedua Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan
semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak
pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan
Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda
menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi
besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi
perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara
Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus
Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu mencabut gelar Teuku
Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu
menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga
Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka
dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu,
kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda
merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De
Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan
kesuksesan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan
jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk
Aceh.[1]
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk
memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan
rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak
peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian
ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan
mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya
pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak
Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit
encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh
makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang
Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas
Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian.
Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil
dihentikan oleh Belanda.[6][7] Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara
Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang
sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]
Masa Tua dan Kematian[sunting | sunting sumber]
Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa
ke Banda Aceh dan
dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan
tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu,
tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi
tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan bersama ulama bernama
Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam
agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu
Perbu".[1]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak
Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru
ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[7] "Ibu Perbu" diakui oleh
Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2
Mei 1964.[1][2]
Makam[sunting | sunting
sumber]
Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien
baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan.
Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[7] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke
makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[7] Menurut pengurus makam, kumpulan
masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan
melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan
acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar
pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang
ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton
dengan luas 1.500 m2.
Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[7]
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis
riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien
berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia.
Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[7]
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan
dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan
dana.[7]
Apresiasi[sunting | sunting sumber]
Biografi dalam Seni[sunting | sunting sumber]
Poster Film Tjoet Nja' Dhien
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi
dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarotdan
dibintangi Christine Hakim sebagai
Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang
ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk
mengenang semangat perjuangan dan perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam
bentuk teater monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan pertama kali di Auditorium
Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna
Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta,
Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND
juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.
Biografi beliau juga pernah dituangkan
dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.
Pengabadian[sunting | sunting sumber]
·
Sebuah kapal perang TNI-AL
diberi nama KRI Cut
Nyak Dhien.
·
Mata
uang rupiah yang
bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat
gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
·
Namanya
diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
·
Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk
mengenangnya.
Lihat pula[sunting | sunting sumber]
Referensi[sunting | sunting sumber]
Catatan kaki[sunting | sunting sumber]
1. ^ a b c d e f g h i j k l m "Tjoet Njak Dien (Cut Nyak Dhien)".
2. ^ a b c d e f g h i j Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit:
Pustaka Ananda
3. ^ a b c Tentang Cut Nyak Dien di tokohindonesia.com
4. ^ Riwajat
hidup (singkat) beberapa orang pahlawan Atjeh, zaman pra-kemerdekaan
5. ^ a b Tentang Cut Nyak Dhien di situs resmi pemerintah Provinsi
Aceh
6. ^ Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia.
Penerbitan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907: 12).
7. ^ a b c d e f g sinarharapan.co.id: Makam Cut Nyak Dhien Sepi Akibat
Perang Saudara
DEWI SARTIKA
Dewi Sartika
Dewi Sartika |
|
Lahir |
4 Desember 1884 |
Meninggal |
11 September
1947 (umur 62) |
Kebangsaan |
|
Dikenal atas |
Pahlawan Nasional; Perintis
pendidikan wanita |
Suami/istri |
Raden Kanduruhan Agah
Suriawinata |
Raden Dewi Sartika (Sunda: ᮛ᮪ᮓ᮪. ᮓᮦᮝᮤ ᮞᮁᮒᮤᮊ,
Latin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
Daftar isi
Biografi[sunting | sunting sumber]
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama,
yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada
4 Desember 1884.[1][2] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu
bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya.[1][3] Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal
bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda
oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai
budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke
Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama
Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian
direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan
Isteri pada tahun 1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan
sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi
satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut
berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika
dalam masa perang kemerdekaan.[4][7]
Peninggalan[sunting | sunting sumber]
Nama Dewi Sartika digunakan sebagai nama jalan di mana
sekolahnya berada.[1]
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
Ia dianugerahi gelar Orde
van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan
Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.[4][7] Pada 1 Desember 1966, ia diakui
sebagai Pahlawan Nasional.[6][7]
Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah
Suriawinata yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.[4]
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ a b c Aning S. 2005, hlm. 65
2. ^ Agustina 2009, hlm. 41
3. ^ a b Sudarmanto 2007, hlm. 154
4. ^ a b c d e f Agustina 2009, hlm. 42
5. ^ Aning S. 2005, hlm. 65–66
6. ^ a b "Dewi Pendidikan dari Cicalengka". tokohindonesia.com. Diakses tanggal 6 Januari 2011.
7. ^ a b c Aning S. 2005, hlm. 66
Bibliografi[sunting | sunting sumber]
|
Wikimedia Commons memiliki
media mengenai Dewi Sartika. |
·
Agustina, Fenita (2009). 100 Great Women: Suara Perempuan yang Menginspirasi Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher. ISBN 978-602-8620-28-4.
·
Aning S., Floriberta (2005). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat
Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-756-475-9.
·
Sudarmanto, J.B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-759-716-0.
IBU KITA KARTINI
Biografi RA Kartini
RA Kartini –
Siapa yang tidak kenal Biografi RA Kartini, salah satu pahlawan wanita
Indonesia yang rela berjuang demi rakyat saat masa penjajahan. Beliau dikenang
sebagai wanita terdidik yang memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia.
Biografi RA Kartini sendiri sangatlah patut untuk dikenang. Mulai dari beliau
kecil hingga wafat.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat
atau yang lebih dikenal dengan nama RA Kartini memiliki harapan atas kesamaan
gender pada waktu itu. Karena dahulu, wanita tidak dihargai sehingga tidak
mendapatkan pendidikan yang layak. Dimana wanita hanya ditugaskan untuk
mengurus suami, anak dan memasak di rumah.
Dengan kegigihannya, RA Kartini berjuang
agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria. Untuk mengenang jasa
beliau, berikut biografi RA Kartini yang dapat kita teladani.
DAFTAR ISI ARTIKEL
·
Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini
·
Yayasan Kartini Dan Penghargaan Untuk RA Kartini
·
4. Cerdas Dan Berwawasan Luas
Kelahiran RA Kartini
Biografi RA Kartini tentunya dimulai
dari kelahiran beliau. RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota
Jepara. Dimana hari lahir inilah yang diperingati oleh masyarakat Indonesia
sebagai hari Kartini. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati jasa beliau karena
dengan gigih melindungi rakyat Indonesia.
Kartini lahir di tengah-tengah keluarga
bangsawan Jawa. Sehingga beliau mendapat gelar RA yang artinya Raden Ajeng.
Kemudian setelah menikah, gelar berubah menjadi Raden Ayu.
Keluarga RA Kartini
Biografi RA Kartini selanjutnya membahas
keluarga beliau. Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden
Adipati Ario Sosroningrat. Ayahnya merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro
IV. Sedangkan ibunya bukanlah istri utama dari sang Ayah meskipun posisinya
sebagai istri pertama.
Ibunya bernama MA Ngasirah yang
merupakan anak dari seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah bukanlah
seorang putri keturunan bangsawan. Sedangkan pada masa kolonial Belanda,
terdapat peraturan bahwa seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan.
Akhirnya ayah Kartini menikahi Raden
Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahannya
inilah, kemudian ayah Kartini diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah
Kartini dilahirkan.
Kehidupan RA Kartini
Kakek Kartini merupakan bupati pertama
yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini sendiri merupakan
anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. Sedangkan dari saudara
sekandungnya, Kartini merupakan putri tertua.
Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Beliau belajar bahasa Belanda.
Akan tetapi, di umur 15 tahun beliau
harus tinggal di rumah karena sudah dapat dipingit. Dengan kepandaiannya dalam
berbahasa Belanda, beliau mulai belajar menulis surat kepada teman-teman
korespondensi dari Belanda. Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa
Abendanon.
Dimulai dari belajar menulis dan sharing
dengan teman-teman Belanda inilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir
perempuan Eropa. Beliau mempelajari hal ini melalui surat kabar, majalah hingga
buku-buku. Kemudian beliau mulai berusaha untuk memajukan perempuan Indonesia
yang masih memiliki status sosial rendah saat itu.
Banyak buku dan majalah dari kebudayaan
Eropa yang dia baca. Bahkan di usia 20 tahun, beliau sudah membaca karya-karya
yang berbahasa Belanda. Sehingga beliau punya pengetahuan yang luas tentang
ilmu pengetahuan serta kebudayaan.
Selanjutnya, Kartini mulai memperhatikan
masalah emansipasi wanita dengan membandingkan wanita Eropa dengan wanita
Indonesia. Dan baginya seorang wanita harus memperoleh persamaan, kebebasan dan
otonomi serta kesetaraan hukum.
Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini
Di usia 24 tahun, tepatnya 12 November
1903, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang yaitu K.R.M Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat. Suami Kartini ini telah memiliki tiga orang istri.
Suami Kartini memberikan pengertian
mengenai keinginan Kartini. Bahkan beliau membebaskan serta mendukung Kartini
untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang perkantoran
Rembang. Yang kini menjadi gedung pramuka.
Dari pernikahannya ini, RA Kartini
dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September
1904. Namun empat hari setelah melahirkan, yaitu usia 25 tahun, Kartini
meninggal. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Yayasan Kartini Dan Penghargaan Untuk RA Kartini
Pada tahun 1912, Yayasan Kartini di
Semarang mendirikan sekolah wanita. Yang kemudian disusul di Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Sekolah yang diberi nama Sekolah
Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,tokoh Politik Etis.
Setelah Kartini wafat, Menteri
Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda yaitu Mr. J. H. Abendanon
mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di
Eropa. Setelah dikumpulkan, surat-surat ini kemudian dibukukan dengan judul
Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dengan terbitnya surat – surat Kartini
ini menarik perhatian masyarakat Belanda. Pemikiran Kartini merubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan Jawa. Tidak hanya itu, beliau juga
menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. hingga dibuatkannya
lagu Ibu Kita Kartini oleh W.R Soepratman.
Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden
Soekarno mengeluarkan keputusan yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Juga menetapkan tanggal 21 April menjadi Hari Kartini.
5 Teladan Dari RA Kartini
RA Kartini merupakan pahlawan wanita
yang berani. Apalagi dalam memberdayakan perempuan. Biografi RA Kartini sangat
baik, terutama sifat-sifat beliau. Berikut 5 teladan RA Kartini yang patut
untuk ditiru :
1. Sederhana
Raden Mas Adipati Sosroningrat selaku
ayah RA Kartini merupakan bupati Jepara saat itu. Meskipun berasal dari
kalangan bangsawan, namun RA Kartini tidak berpangku tangan dan diam saja di
rumah. Beliau bergaul dan berteman dengan siapapun, sehingga beliau dikenal
sebagai perempuan yang merakyat.
RA Kartini juga sangat menolak keras
perilaku para bangsawan lain, yang mana mereka menggunakan derajat dan status
untuk menindas kaum di bawahnya. Hal inilah yang membuat beliau sangat
disenangi oleh rakyat.
RA Kartini memiliki sifat kesederhanan
yang patut diacungi jempol. Beliau tidak pernah berfoya-foya maupun
bermewah-mewahan. Bahkan ketika menikah, beliau tidak mengenakan baju mewah
pernikahan dan tidak menggelar pesta.
2. Berani Dan Optimis
Pada zaman dahulu, RA Kartini pernah ditentang
oleh masyarakat sekitar karena memiliki pandangan yang berbeda mengenai
perempuan. Kartini menganggap bahwa perempuan harus keluar rumah, belajar dan
mengejar cita – cita. Bukan hanya berada di dalam rumah sehingga menutup
kesempatan bagi perempuan untuk melihat dunia. Atau yang disebut dengan budaya
pingit.
Hal itu membuat beliau berani membuka
sebuah tempat belajar khusus untuk mendidik perempuan dan anak-anak. Tidak
hanya itu, beliau sangat optimis bahwa tindakannya akan memberikan dampak yang
besar di masa depan
Dan terbukti hingga kini, bahwa beliau
masih selalu dikenang dengan karya-karya terbaik yang pernah diberikan untuk
Indonesia khususnya perempuan Indonesia.
3. Mandiri / Independen
Teladan RA Kartini yang bisa kita tiru
adalah sifat mandiri beliau. Beliau dapat mencari cara agar beliau bisa
berpengaruh bagi sekitarnya. Padahal saat itu beliau masih dalam keadaan
dipingit.
Meskipun tidak disekolahkan
tinggi-tinggi, beliau tetap belajar dengan caranya sendiri. Yaitu dengan
menulis surat kepada para sahabat penanya. Serta belajar pengalaman dari para
sahabatnya. Alhasil, beliau dapat membangun sekolah Perempuan Pertama di Jawa.
4. Cerdas Dan Berwawasan Luas
Sejak berkirim surat dengan sahabat
penanya yang berada di luar negeri, wawasannya menjadi terbuka. Beliau semakin
berfikir bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki – laki. Baik
dalam hal pendidikan, bekerja hingga berpendapat.
Tidak hanya belajar melalui teman
penanya, beliau juga belajar dari semua hal yang dialaminya. Kemudian dengan
jiwa pendidik nya itu lah beliau mengajarkan kepada anak-anak didiknya. Mulai
dari baca tulis, memasak, melukis, menjahit dan masih banyak lagi. Semua beliau
tularkan kepada anak-anak dan perempuan Indonesia.
5. Inspiratif
Semua yang dilakukan oleh RA Kartini
menunjukkan keihklasan dan kesungguhan. Siapa yang akan menyangka jika tindakan
yang dilakukannya di masa lalu akan dapat menginspirasi kita hingga kini.
Beliau menularkan pandangan baru kepada
orang sekitarnya sehingga mampu membuat orang lain melakukan sesuatu. Semua hal
positif yang dilakukannya sangat berdampak baik kepada kita sekarang.
Nah, itulah biografi RA Kartini secara
lengkap beserta teladan-teladan yang bisa kita ikuti. Semoga dengan mengetahui
biografi RA Kartini, kita menjadi generasi penerus yang memiliki sifat-sifat RA
Kartini.
Sampai saat ini kita tahu bahwa jasa RA
Kartini sangatlah besar bagi Bangsa ini. Kalau RA Kartini pada jaman itu saja
bisa memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa, apalagi kita yang hidup dengan
berbagai kemudahan serta teknologi canggih. Seharusnya kita juga mampu
memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa ini.
KI HAJAR DEWANTORO
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara |
|
Ki
Hadjar Dewantara |
|
Masa jabatan |
|
Presiden |
|
Pendahulu |
Tidak ada, jabatan baru |
Pengganti |
|
Informasi
pribadi |
|
Lahir |
2 Mei 1889 |
Meninggal dunia |
26 April
1959 (umur 69) |
Ki Hadjar Dewantara
Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat (EBI: Suwardi
Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara,
EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya
dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman, 2
Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26
April 1959 pada umur 69 tahun;[1] selanjutnya disingkat sebagai
"Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi,
dan pelopor pendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti
halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati
di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian
Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah
nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi
1998.[2]
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional
yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959).[3]
Daftar isi
·
6Pengabdian
pada masa Indonesia merdeka
·
7Galeri
Masa muda dan awal karier[sunting | sunting sumber]
Soewardi berasal dari lingkungan
keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia
menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.
Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer,
dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif
dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan[sunting | sunting sumber]
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda,
ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
(terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota
organisasi Insulinde,
suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan
sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was[sunting | sunting sumber]
Ki Hadjar Dewantara
(Chris Lebeau, 1919)
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat
mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan
Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis
dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13
Juli1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai
berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina
mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut
mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan
tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang
berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis,
mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas
persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun
demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913).
Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu
baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan[sunting | sunting sumber]
Soewardi, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai)
tahun 1914 saat diasingkan di Negeri Belanda
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch
Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan
formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850
oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.
Di sinilah ia kemudian merintis
cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga
memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi
yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang
didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh
pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan,
oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang
mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa[sunting | sunting sumber]
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3
Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan
Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang
dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh,
semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung
tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat
Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka[sunting | sunting sumber]
Patung Ki Hajar Dewantara
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia,
KHD diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua
Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai
Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26
April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Galeri[sunting | sunting sumber]
|
Wikimedia Commons memiliki
media mengenai Ki Hajar Dewantara. |
Potret di Mimbar
Umum18 Oktober 1949
Pemakaman Ki Hajar
Dewantara
Ki Hajar Dewantara
dengan Sukarno
Ki Hajar Dewantara
sedang menulis
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan
Presiden Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April
1959 sebagai tanggal wafat.
2. ^ Uang Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April
2011.
3. ^ "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK
INDONESIA"
PERJUANGAN BUDI UTOMO
Budi Utomo
Monumen Kebangkitan Nasional di Solo.
Budi Utomo (ejaan van Ophuijsen: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan
oleh Dr.Soetomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada
tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak
bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai
kemerdekaan Indonesia walaupun
pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan
berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo,
20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa
dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo.
Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa
kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu,
mereka berpendapat bahwa "kaum tua" yang harus memimpin Budi Utomo,
sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan
organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali
pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal
kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti
Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, dan Pangeran Ario
Noto Dirodjo dari Keraton
Pakualaman.
Perkembangan[sunting | sunting sumber]
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat
kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker,
seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus
terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat
pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama
makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh
Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan
terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air
api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo
menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya
kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota,
yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan
bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin
oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari
kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang
memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai
suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama
Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa
lama, nama itu diubah oleh, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan
untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh
penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda.
Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan
Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia
diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo
memang belum berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan
tersebut, makna nasionalisme makin
dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna
tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun
kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan
kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi,
misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang
kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya
Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat
pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya
bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil
sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan
Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih
mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo
adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang
Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia"
tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian,
nasionalisme terdapat pada orang Sumatra maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat
yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa, Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku
bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian
nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa
menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan
segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam,
nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
·
(Indonesia) Mengusung "Nasional" dari Bangku Sekolah
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia ,Proklamasi dan
Perumusan Pancasila Dasar Filsafat Negara UUD 1945
“A. Sejarah
Indonesia Sebelum Kemerdekaan”
Kedatangan Bangsa Bangsa Eropa
- Masa Bangsa Portugis
Sebelum merdeka, negara Indonesia
merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing. Dimulai dari Portugis
yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai
Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka,
portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia
melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang
terkenal adalah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa
(sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan
mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh
Fatahillah menjadi Jayakarta.
- Masa Bangsa Spanyol
Keberhasilan Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk
ikut mencari untung. Kalau Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate,
Spanyol lebih tertarik bersekutu dengan Tidore. Terjadilah persaingan antara
Portugis dan Spanyol di kawasan Maluku. Spanyol kemudian membangun benteng di
Tidore. Pembangunan benteng ini semakin memperuncing persaingan persekutuan
Portugis dan Ternate dengan Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada tahun 1527
terjadilah pertempuran antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore
yang dibantu oleh Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut
oleh persekutuan Ternate dan Portugis.
Portugis dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat
persaingan itu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya
menyepakati diadakanlah Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain;
- Maluku
menjadi daerah pengaruh dan kegiatan Portugis
- Spanyol
harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri di Filipina
Perjanjian ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku.
Dalam melaksanakan monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk
menanamkan kekuasaan di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate
kemudian menentang Portugis.
- Masa Pemerintahan penjajah Belanda
Masa penjajahan Portugis
berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia
melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius
de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di
Indonesia dengan mendirikan Verenigde
Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena
pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan inggris maka kantor
VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC mendapat perlawanan
dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya VOC sampai d
Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya
adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian
Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1800 setelah
Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan,
penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels sebagai
gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa untuk membuat
jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak
berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes
van den Bosch. Van
den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).
Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk
ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan (20%) dan
hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
- Masa Pemerintahan penjajah Jepang
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan
Belanda di Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa
syarat kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942.
Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus
1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang
dibuat Jepang antara lain adalah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan
Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).
Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat
oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda
dengan Negara imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru,
seperti Jerman dan Italia. Sebagai Negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan
mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang
industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya
bagi kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industry apabila tidak
didukung dengan bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan
pasar barang hasil industri yang luas. Dengan demikian, jelas bahwa tujuan
kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan
kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, pengakuan sebagai ‘saudara
tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari
beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di
Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa
Indonesia mengalami kesengsaraan.
- Perlawanan rakyat terhadap penjajah
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di
beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng Aceh perlawanan terhadap
Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah
tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga
Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang
melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat
berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk
kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan
oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar
masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan
diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat.
Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di
daerah Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi,
Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan
pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar
batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat
penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang
angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar
merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang
melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu
dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga
lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan
diri.
2.
Persiapan kemerdekaan
Pemerintahan Jepang di
Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang Dunia II.
Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara
sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang
diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan
keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Soekarno, Hatta selaku
pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI
diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan
Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang
bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk
kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari
Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan
karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena
Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari
perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta
menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum
yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat
itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat
fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa
Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang
dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang.
Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda
mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan
terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama
Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara.
Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan
mereka di Dalat.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan
pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16
Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari
kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat
PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.
3.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda pejuang,
termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana berdiskusi
dengan Ibrahim dan pada dini hari
tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan
pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok,
yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan
muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjomelakukan perundingan.
Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di
Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing.
Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak
dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana
Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks
proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
**Naskah asli proklamasi yang
ditempatkan di Monumen Nasional (Gambar)
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 –
04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi
Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi
ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik,
Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Teks Proklamasi
Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di
kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara
lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi
oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan
sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta
saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan
alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab
itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas
tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera
Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit
oleh Fatmawati beberapa hari
sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai
berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Peloporyang dipimpin S. Brata
datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak
dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan
Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada
mereka.
Pada tanggal 18 Agustus
1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan,
mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan
Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat
yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan
dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia yang pertama.
“B.
Sejarah Indonesia Sesudah Merdeka”
- Konflik Indonesia dan Belanda
Atas nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah
dikumandangkan oleh Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945. Satu langkah maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia
melalui Proklamasi kemerdekaan tersebut. Sebagai negara yang baru
memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia mendapat simpati dari bangsa-bangsa di
dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17
Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung
Karno dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.
Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan
Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah
diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah
pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya,sikap rakyat Indonesia
menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkanorang-orang
Belanda yang melarikan diri ke Australiasetelah Belanda menyerah pada Jepang.
Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia.
Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL
setelah dilepas Oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda
berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi
pertempuran melawan NICA dan Sekutu. Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam
hal ini dilakukan oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) ternyata
memiliki agenda yang terselubung. Kedatangan pasukan Sekutu justru diboncengi
oleh NICA yang tidak lain adalah orang-orang Belanda yang ketika Jepang dating
melarikan diri ke Australia dan membentuk kekuatan di sana. Mereka memiliki
keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Dengan demikian sikap
Indonesia yang semula menerima kedatangan Sekutu menjadi penuh kecurigaan dan
kemudian berkembang menjadi permusuhan.
- Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Peristiwa di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang
dimulai sejak kedatangan pasukan Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Khusus
untuk Surabaya, Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian dari divisi ke-23
Sekutu. Brigade 49 dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober
1945. Pada mulanya pemerintah Jawa Timur enggan menerima kedatangan Sekutu.
Kemudian dibuat kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.
Suryo dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah
sebagai berikut.
1) Inggris berjanji tidak
mengikutsertakan angkatan perang Belanda
2) Menjalin kerja sama kedua pihak
untuk menciptakan kemanan dan ketentraman
3) Akan dibentuk kontrak biro
4) Inggris akan melucuti senjata
Jepang
Dengan kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota
Surabaya. Ternyata pihak Inggris ingkar janji. Itu terlihat dari penyerbuan
penjara Kalisosok 26 Oktober 1945. Inggris menduduki pangkalan udara Tanjung
Perak tanggal 27 Oktober 1945, serta menyebarkan pamflet yang berisi perintah
agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjatasenjata mereka. Kontrak
senjata antar Sekutu dan rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945.
Karena terjadi kontak senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan
Wakil
Presiden Moh. Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak
merumuskan hasil perundingan sebagai berikut.
1) Surat-surat selebaran/pamflet
dianggap tidak berlaku
2) Serikat mengakui keberadaan TKR
dan Polisi Indonesia
3) Seluruh kota Surabaya tidak
lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kampkamp tawanan dijaga bersama-sama
Serikat dan TKR
4) Tanjung Perak dijaga bersama
TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia
Walaupun sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai
tempat di kota Surabaya tetap terjadi bentrok senjata antara Serikat dan rakyat
Surabaya yang bersenjata. Pertempuran seru terjadi di Gedung Bank Internatio di
Jembatan Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan
A.W.S. Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan Serikat.
Karena begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal,
yaitu meninggalnya A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing.
Peristiwa ini terjadi tanggal 30 Oktober 1945. Dengan
meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak Inggris memperingatkan rakyat Surabaya dan
meminta pertanggungjawaban. Mereka mengancam agar rakyat Surabaya menyerah dan
akan dihancurkan apabila tidak mengindahkan seruan itu. Ultimatum Inggris
bermakna ancaman balas dendam atas pembunuhan A.W.S. Mallaby disertai perintah
melapor ke tempat-tempat yang ditentukan. Disamping itu, pemuda bersenjata
harus menyerahkan senjatanya. Ultimatum Inggris itu secara resmi ditolak rakyat
Surabaya melalui pernyataan Gubernur Soerjo. Karena penolakan itu, pertempuran
tidak terhindarkan lagi, maka pecahlah pertempuran pada tanggal 10 November
1945.
Sekutu mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata
berat. Peristiwa heroik ini berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran
tersebut, melalui siaran radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Pertempuran yang memakan korban banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati
sebagai Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Peringatan itu merupakan
komitmen bangsa Indonesia yang berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat
Surabaya sekaligus mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia.
2.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran ini berlangsung tanggal 20 November sampai dengan 15
Desember 1945 antara TKR dan pasukan Inggris. Peristiwa itu berawal dari
kedatangan tentara sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945. Tujuan semula
pasukan itu adalah mengurus tawanan perang. Akan tetapi, ternyata mereka
diboncengi oleh NICA yang kemudian mempersenjatai para tawanan.
Di Ambarawa tanggal 20 Oktober 1945 pecahlah pertempuran antara
TKR yang dipimpin Mayor Sumarto dengan tentara Serikat. Dalam pertempuran itu
gugur Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Kolonel
Isdiman, komando pasukan diambil alih oleh Letnan Kolonel Sudirman yang saat
itu menjabat sebagi panglima divisi Banyumas. Pasukan Serikat menggunakan para
tawanan Jepang yang telah dipersenjatai untuk ikut bertempur. Mereka juga
mengerahkan tank dan senjata berat lainnya.
Pada tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia melancarkan
serangan serentak. Setelah bertempur selama empat hari, akhirnya pasukan
Indonesia berhasil mengusir tentara Serikat dari Ambarawa dan memukul mundur
mereka sampai Semarang.
3. Medan Area
Mr. Teuku M. Hassan yang telah diangkat menjadi gubernur mulai
membenahi daerahnya. Tugas pertama yang dilakukan Gubernur Sumatera ini adalah
menegakkan kedaulatan dan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk wilayah
Sumatera. Oleh karena itu, mulai dilakukan pembersihan terhadap tentara Jepang
dengan melucuti senjata dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Pada tanggal 9
Oktober 1945, di Medan mendarat pasukan Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para
Pemuda Indonesia dan Barisan Pemuda segera membentuk TKR di Medan. Pertempuran
pertama pecah tanggal 13 Oktober 1945 ketika lencana merah putih diinjak-injak
oleh tamu di sebuah hotel. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut
sehingga mengakibatkan 96 korban luka-luka. Para korban ternyata sebagian
orang-orang NICA. Bentrokan antar Serikat dan rakyat menjalar ke seluruh kota
Medan. Peristiwa kepahlawanan ini kemudian dikenal sebagai pertempuran “Medan
Area”.
4.
Bandung Lautan Api
Istilah Bandung Lautan Api menunjukkan terbakarnya kota Bandung
sebelah selatan akibat politik bumi hangus yang diterapkan TKR. Peristiwa itu
terjadi tanggal 23 Maret 1946 setelah ada ultimatum perintah pengosongan
Bandung oleh Sekutu. Seperti di kota-kota lainnya, di Bandung juga terjadi
pelucutan senjata terhadap Jepang. Di pihak lain, tentara Serikat menghendaki
agar persenjataan yang telah dikuasai rakyat Indonesia diserahkan kepada
mereka. Para pejuang akhirnya meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumihanguskan
kota Bandung. Peristiwa tragis ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung
Lautan Api.
5.Tragedi Nasional
(Masa Orde Lama)
Tragedi nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa
bangsa Indonesia. Tragedi ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan
menyengsarakan rakyat Indonesia. Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa
Indonesia sekaligus merupakan ancaman, tantangan dan hambatan.
Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mengganggu upaya menata kembali bangsa
Indonesia setelah mencapai kemerdekaan.
6.Pemberontakan
PKI Madiun 1948
Peristiwa Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukn Fron
Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa
partai seperti partai Sosialis, Pesindo, partaiBuruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa
Madiun itu diawali dari kota Solo yang dilakukan oleh para pengikut Muso dan
Amir SyarifuddinPada tahun 1948 Muso kembali dari Rusia. Sekembalinya itu
Musobergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Ajaranyang diberikan pada para anggota
PKI adalah mengadu domba kesatuan nasional denganmenyebarkan teror. . Pada
tanggal 18 September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI memproklamirkan berdirinya
Republik Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh politiknya dibunuh
oleh PKI.
Dengan terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan
segera mengambil tindakan tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah
pemerintah mengangkat Gubernur Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi
Semarang, Pati dan Madiun. Walaupun dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam
peristiwa Madiun menelan banyak korban, namun tindakan itu demi mempertahankan
Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda melakukan agresi terhadap Republik
Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan melaukan pemberontakan yang
sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.
7.Pemberontakan
RMS (Republik Maluku Selatan)
Salah seorang yang juga menjadi dalang dalam pemberontakan Andi
Aziz adalah Dr. Chr. R.S. Soumokil datang ke Ambon. Ketika itu Soumokil
menjabat sebagai Jaksa Agung Negara Bagian Indonesia Timut (NIT). Dia
mempengaruhi pada anggota KNIL agar membentuk Republik Maluku Selatan (RMS).
RMS kemudian diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950. Pemerintah berusaha
mengakhiri teror yang dilakukan oleh gerombolan RMS terhadap rakyat Maluku
Tengah. Walaupun sudah dilakukan upaya damai, namun RMS tetap melakukan terror
terhadap rakyat.
Pemerintah kemudian mengambil jalan dengan mengerahkan pasukan
untuk meredam pemberontakan tersebut. Pada 14 Juli 1950 pasukan dari APRIS
mulai mendarat di Maluku. Pada bulan Desember 1950 seluruh Maluku Tengah dapat
dikuasai oleh APRIS. Para pemberontak melarikan diri ke pulau Seram. Pada
tanggal 2 Desember 1953 Somoukil dapat ditangkap dan dalam Mahkamah Militer
Luar Biasa dia dijatuhi hukuman dengan pidana mati.
8.Gerakan
30 September 1965 (G.30 S / PKI)
Sebagai fakta sejarah setiap orang Indonesia tidak akan
melupakannya, bahwa di negara ini pernah terjadi peristiwa di tahun 1965 yang
dikenal dengan nama Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (G30 S/PKI) . Pada dini hari 1 Oktober 1965 mereka membunuh enam
perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke
Desa Lubang Buaya sebelah Selatan pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma.
Mereka itu adalah:
- Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad yani
- Deputy
II Men/Pangad, Mayor Jenderal R.Soeprapto
- Deputy
III Men/Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
- Asisten
I Men/Pangad, Mayor Jenderal Siswodo Parman
- Asisten
IV Men/Pangad Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan
- Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo
Siswomihardjo.
- Letnan
Satu Pierre Andrean Tendean
Peristiwa G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes
terhadap kepemimpinan Soekarno, bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik
peristiwa tersebut. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya
terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh
kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia). Aksi mogok demonstrasi mulai dilaksanakan pada tanggal 10 Januari
1966 di halaman Universitas Indonesia.
Di samping itu juga mereka melakukan aksi corat-coret serta
tempelantempelan pada kendaraan-kendaraan bermotor yang antara lain berbunyi
mengecam kepemimpinan Soekarno dan PKI. Mereka bertekad akan terus mogok sampai
tuntutan mereka terpenuhi. Khususnya kendaraan-kendaraan ABRI diberi jalan dan
disambut dengan meriah “hidup ABRI”. Peranan Amerika nampaknya besar di balik
peristiwa ini, sebagai introspeksi diri bahwa semua ini terjadi karena kondisi
politik di dalam negeri tidak stabil. Dari aksi para mahasiswa tersebut
menghasilkan sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura
(Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya:
- Bubarkan
PKI dan ormas-ormasnya yang bernaung dibawahnya
- Bersihkan
Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI
- Turunkan
harga/perbaikan ekonomi
Untuk menjawab tuntutan tersebut maka Kabinet Dwikora mengadakan
sidangnya di Istana Negara pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 yang dipimpin
oleh Soekarno. Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir,
kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto karena sakit
flu.
Presiden Sukarno mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat
pasukan liar dengan kekuatan satu kompi mengepung istana. Ia langsung berhenti
memimpin sidang, kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sidang kemudian
dilanjutkan oleh Dr. Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan
sidang ini gagal. Melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir
Mahmud dan Brigjen M.Yusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana
kepada Letjen Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada
Menteri/Pangad untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi
sebenarnya di Jakarta.
Sore hari ketiga perwira itu menghadap Presiden yang didampingi
oleh Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu ke Bogor
disusul oleh ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur. Ketiga perwira ini
mencoba menyakinkan presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai
siatuasi dewasa ini ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden
memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah pengamanan
dan penertiban keadaan.
Dan setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup
mendalam akhirnya Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 memberikan surat
perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, surat mini dikenal dengan nama Supersemar.
Secara umum Supersemar mempunyai arti penting, di antaranya:
- Keluarnya
Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
- Dengan
Supersemar menyebabkan Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan
pribadi dan kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik
Indonesia.
- Berlandaskan
Supersemar Letnan Jenderal
Soeharto harus mengambil langkah-langkah yang penting dan
memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan negara.
SEJARAH PROKLAMASI NEGARA
INDONESIA
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai
menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia.
Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua
dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga
menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta
dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan
ke Dalat, 250 km di sebelah
timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan
bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia.
Pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar
berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang
bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk
kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan
proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara
kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat
Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar
Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan
di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang
telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan
pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para
pejuang Indonesia belum siap.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah
kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di
Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di
Indonesia ke tangan Sekutu. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk
lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka
tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak
menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh
Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan
pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana
Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan
ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum
menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya
Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak
tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin
memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16
Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak
muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Para pemuda pejuang
termasuk Chaerul saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih dan pemuda lainnya
membawa soekarno, beserta fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan dan
hatta ke rengasdengklok yang kemudian dikenal dengan peristiwa rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang. Di sini, mereka
kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah
siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad
Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Dan Mr. Ahmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan
kemerdekaan.
Malam harinya, Soekarno
dan Hatta kembali ke Jakarta, Lalu bertemu dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa sejak
siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus
menjaga status quo, tidak
dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia
sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno
dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap
seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh
Sekutu. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh
Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Penyusunan teks
Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan
oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Konsep teks proklamasi ditulis oleh
Ir. Soekarno sendiri. Dan Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks
proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Setelah konsep selesai
disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin
ketik milik Mayor Dr. Hermann Kandeler (dari kantor perwakilan AL Jerman). Dan
pembacaan proklamasi dilakukan dikediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl.
Proklamasi no. 1).
Pagi harinya, 17 Agustus
1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara
lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi
oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah
Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan oleh seorang prajurit
PETA yaitu Latief Hendraningrat dibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi
membawa nampan berisi bendera Merah Putih . Setelah bendera berkibar, hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini,
bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum TuguMonumenNasional.
Pada tanggal 18 Agustus
1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan,
mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan
Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat
yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan
dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh
sebuah Komite Nasional
- KRONOLOGI PERUMUSAN PANCASILA DASAR FILSAFAT NEGARA,
PEMBUKAAN DAN PASAL-PASAL UUD 1945
·
Pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
(BPUPKI) beranggotakan sebanyak 63 orang, dengan ketua dr.
Rajiman Wedyiningrat dan wakil ketua Icibangase dari Negara Jepang.
Sekretarisnya adalah R.P. Soeroso. Anggota (BPUPKI) resmi diumukan pada tanggal
28 April 1945 dan upacaranya dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon
Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri).
·
Masa Persidangan Pertama Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Masa persidangan pertama kali yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu dimulai
pada tanggal 29 Meti 1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam persidangan BPUPKI membahas
tentang dasar-dasar Negara untuk bisa bangsa Indonesia merdeka, bebagai
pendapat telah dikemukakan. Berikut Pedapat yang di sampaikan oleh Mr. Mohammad
Yamin, Mr. Supomo dan Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI:
- Mr.Mohammad Yamin
Menyampaikan pendapatnya pada tanggal 29 Mei 1945 dengan judul
“Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” yang berintikan sebagai
berikut :
- Peri kebangsaan
- Peri kemanusiaan
- Peri ketuhanan
- Peri kerakyatan
- Kesejahteraan rakyat
- Mr. Supomo
Menyampaikan pendapatnya pada tanggal 31 Mei 1945 tentang
masalah-masalh yang berhubungan dengan dasar-dasar Negara Republik Indonesia
merdeka, yang berdasarkan atas beberapa hal dan diberi nama Pancasila, dan
kemudian pada tanggal 1 Juni diperingatilah sebagai hari lahirnya Istilah
Pancasila, Berikut beberapa hal yang disampaikan oleh Mr. Supomo :
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan sosial
- Ir. Soekarno
Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya di
hadapan sidang hari ketiga Badan Penyelidik. Dalam pidato itu
dikemukakan/diusulkan juga lima hal untuk menjadi dasar-dasar Negara Merdeka
yang perumusan serta sistematikanya sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhan yang berkebudayaan
·
Masa Persidangan kedua Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Setelah masa persidangan pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei–1
Juni 1945 berakhir, namun belum juga mendapatkan atau belum terbentuk juga
rumusan dasar Negara Indonesia merdeka, maka BPUPKI akhirnya membentuk panitia
untuk menampung aspirasi tentang pembentukan atau rumusan dasar Negara
Indonesia merdeka yang beranggotakan 9 orang, diantaranya adalah Ir. Sukarno
(ketua), Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr.
Moh. Yamin, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A. A.
Maramis. Pada akhirnya panitia 9 itu berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia
merdeka pada tanggal 22 Juni 1945 dan rumusan itu diberi nama Piagam Jakarta
atau Jakarta Charter oleh Mr. Moh. Yamin.
Pada tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI melangsungkan persidangan
yang kedua untuk membahas rancangan UUD dan dibentuklah panitia perancangan UUD
yang pimpin oleh Ir. Soekarno. Kemudian panitia tersebut membentuk sebuah
kelompok kecil yang beranggotakan 7 orang dengan ketua Mr. SUpomo dengan 6 anggotanya
yaitu : Wongsonegoro, Ahmad Subarjo, Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman.
Setelah hasil didapat dan sudah disempurnakan oleh penghalus bahasa kemudian
hasil perumusan UUD tersebut disampaikanlah atau dilaporkan oleh Ir.Soekarno di
sidang BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 yang berisikan 3 hal pokok yaitu,
pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, dan undang-undang
dasar (batang tubuh). Pada tanggal 15-16 Juli 1945 diadakan kembali sidang
untuk menyusun undan-undang dasar yang berdasarkan hasil kerja panitia
sembilan, kemudian pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkanlah hasil kerja
penyusunan undang-undang dasar dan akhirnya laporan tersebut diterima sidang
pleno BPUPKI.
·
Pembentukan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia
Pada tanggal 07 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibubarkan oleh Jepang, kemudian
Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk
menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI. PPKI dibentuk dengan anggota sebanyak 21
orang yang diketuai atau dipimpin oleh Ir. Soekarno, namun pada tanggal 18
Agustus 1945 pimpinan atau ketua PPKI Ir. Soekarno menambahkan anggota untuk
menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI yaitu sebanyak 6 orang, sehingga total
anggota dari panitia PPKI ini adalah 27 orang, yaitu diantaranya Ketua Ir.
Soekarno, wakilnya Drs. Moh. Hatta, dan penasihatnya Ahmad Subarjo. Adapun
anggotanya adalah Mr. Supomo, dr. Rajiman Wedyodiningrat, R.P. Suroso,
Sutardjo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata,
Suryohamijoyo, Abdul Kadir, Puruboyo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir,
Abdul Abbas, Teuku Moh. Hasan, Hamdani, Sam Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti
Ktut Pudja, Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti
Melik, dan Iwa Kusumasumantri.
·
Proses Penetapan Dasar Negara
dan Konstitusi Negara Indonesia
Sidang pertama kali PPKI dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus
1945 dengan pembahasan konstitusi Negara Indonesia yaitu, Presiden dan Wakil
Presiden Negara Indonesia beserta lembaga-lembaga yang dibentuk untuk membantu
tugas Presiden Indonesia. Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan
beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian
masalah kalimat ”… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” pada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh.
Hassan. Dan pada akhirnya para tokoh PPKI mendapatkan hasil dengan
menghilangkan kalimat tersebut dengan untuk tidak mengutamakan kepentingan
bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, begitulah semangat
rasa nasionalisme dan jiwa besar yang ditunjukkan oleh para tokok PPKI.
·
Perbedaan
dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI)
Pada tanggal 18 Agustus 1945 sidang pertama PPKI rancangan UUD
hasil kerja dari BPUPKI dibahas kembali, Pada sidang pembahasan itu terdapat 2
usul perubahan yang diberikan oleh kelompok Muh. Hatta, 2 usul tersebut
berisikan seperti dibawah ini :
1) Usul yang pertama, berkaitaan dengan sila perta yang
semulanya berbunyi “”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2) Usul yang kedua, ab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi
”Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi ”Presiden
ialah orang Indonesia asli”.
Dan akhirnya 2 usulan yang disampaikan oleh Muh, Hatta diterima
dan disahkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Indonesia (UUD 1945) yang di umumkan
dalam berita Republik Indonesia pada tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman
45-48.
·
Sistematika Undang-undang dasar
1945 (UUD 1945) itu terdiri atas 3 hal, yaitu :
1) Pembukaan
(mukadimah) UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945
tercantum Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi sebagai berikut:
Pancasila
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Batang tubuh UUD
1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan
tambahan.
3) Penjelasan UUD 1945
terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Rumusan Dasar Negara Pancasila yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 inilah yang sah dan benar, karena disamping mempunyai kedudukan Konstitusional
juga disahkan oleh suatu Badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia (PPKI)
yang berarti disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia.
PEDOMAN
PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA
Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Lengkap)
Admin
I 23 Nov 2015 2 Komentar
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (biasah disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa merupakan sebuah
panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde
Baru.
Panduan Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila dibentuk melalui Ketetapan MPR no. II/MPR/1978.
Ketetapan tersebut berisi tentang Eka Prasetya Pancakarsa yang menjabarkan
kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis
bagi pelaksanaan Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena
Tap MPR no. II/MPR/1978 telah dicabut melalui Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998
dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau
selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003
Baca Juga: Sejarah Hari Kesaktian Pancasila
Berikut merupakan poin-poin dalam
butir-butir pancasila. silakan Resapi dan hayati isinya. isi butir butir
pancasila:
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa (Ada 7 Butir Pengalaman)
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME,
sesuai dengan agama dan kepercayaannya sendiri-sendiri menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Bangsa Indonesia menyatakan ketakwaannya
dan kepercayaannya terhadap Tuhan YME.
- Mengembangkan sikap hormat dan menghormati serta
bekerjasama antar pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang
berbeda-beda terhadap Tuhan YME.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan YME kepada orang lain.
- Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan YME merupakan masalah yang menyangkut hubungan
pribadi manusia dengan Tuhan YME.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama
dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
- Mengembangkan sikap yang saling menghormati dan
menghargai kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Baca Juga
·
Pengertian dan Syarat Naturalisasi, Lengkap Penjelasan
Naturalisasi Biasa dan Istimewa
·
Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan PKI Madiun
·
Pengertian, Sejarah, Latarbelakang & Tujuan Gerakan Non Blok
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (Ada 10 Butir
Pengalaman)
- Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan kewajiban
asasi setiap manusia, tanpa membeda bedakan keturunan, suku, agama, jenis
kelamin, kepercayaan, warna kulit, kedudukan sosial dan sebagainya.
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME.
- Mengembangkan sikap tepa selira dan saling tenggang
rasa.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama
dengan bangsa lain.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia.
Baca Juga: Kumpulan Posting Tentang CPNS (Terlengkap dan Gratis)
Sila ketiga, Persatuan Indonesia (Ada 7 Butir Pengalaman)
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta
keselamatan dan kepentingan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
dan golongan.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah
air Indonesia.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka
Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan
bangsa apabila diperlukan.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Ada 10 Butir Pengalaman)
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap
manusia Indonesia mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban
yang sama.
- Mengunakan Musyawarah guna mencapai mufakat diliputi
oleh semangat kekeluargaan.
- Mengutamakan musyawarah saat mengambil atau menentukan
keputusan untuk kepentingan bersama.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang
dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab, selalu
melaksanakan dan menerima hasil keputusan musyawarah.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan
hati nurani yang luhur.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang
dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Sila kelima. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Ada 11
Butir Pengalaman)
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang memperlihatkan
sikap dan suasana kekeluargaan dan ke gotongroyo ngan.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan
yang berkeadilan sosial dan merata.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang
bersifat pemerasan terhadap orang lain.
- Menghormati hak orang lain.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat
berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat
pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Suka bekerja keras.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan
atau merugikan kepentingan umum.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat
bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Baca Juga: Arti dan Makna Lambang dan Simbol Negara
(Lengkap)
Dalam perjalanannya ke 36 butir
Pengalaman pancasila dikembangkan menjadi 45 butir oleh BP7. Namu Tidak pernah
dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir tersebut benar-benar
diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: 10 Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Sekian Artikel tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, semoga
artikel ini dapat bermanfaat bagi sobat MARKIJAR.Com dan dapat memberikan
pengetahuan mengenai wawasan Kebangsaan Indonesia.
10 Fungsi dan Kedudukan
Pancasila
Sriwati 24 Nov 2015 4 Komentar
Fungsi dan Kedudukan Pancasila - Pancasila
merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata
dari bahasa Sanskerta: "pañca" berarti lima dan "śīla"
berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
|
Fungsi dan Kedudukan Pancasila |
Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Pancasila memiliki banyak Kedudukan dan Fungsi
bagi bangsa Indonesia, Berikut Ini adalah beberapa kedudukan dan
fungsi Pancasila Bagi Bangsa Indonesia:
Fungsi dan Kedudukan Pancasila:
1. Pancasila Sebagai Dasar
Negara bangsa Indonesia
Dasar negara merupakan fundamen atau
Alas yang dijadikan pijakan serta dapat memberi kekuatan kepada berdirinya
suatu negara. Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu alas atau landasan
yaitu Pancasila. Pancasila pada fungsinya sebagai dasar negara, adalah sumber
kaidah hukum yang mengatur Bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh
unsur-unsurnya yakni rakyat, pemerintah dan wilayah. Pancasila pada posisi
seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara serta
seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Lengkap)
2. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Pancasila merupakan kristalisasi
pengalaman hidup dalam sejarah bangsa indonesia yang telah membentuk watak,
sikap, prilaku, etika dan tata nilai norma yang telah melahirkan pandangan
hidup. Pandangan hidup sendiri adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap
kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian dari nilai-nilai luhur.
Pandangan hidup berguna sebagai pedoman / tuntunan untuk mengatur hubungan
sesama manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan lingkungan.
Baca Juga
·
(Lengkap + Gratis) Materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) CPNS
·
45 Butir-Butir Pengamalan Pancasila (Sila Ke-1 sampai Ke-5) dengan
Contoh dan Penjelasan
·
20 Pengertian Politik Menurut Ahli Lengkap Sejarah, Ruang Lingkup
dan Cabang Ilmu Politik
3. Pancasila sebagai ideologi Bangsa
Indonesia
Ideoligi berasal dari kata “Idea” yang
berarti konsep, gagasan, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti
ilmu jadi Ideologi dapat diartikan adalah Ilmu pengertian-pengertian dasar.
Dengan demikian Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dimana pada hakikatnya adalah
suatu hasil perenungan atau pemikiran Bangsa Indonesia. Pancasila di angkat
atau di ambil dari nilai-nilai adat istiadat yang terdapat dalam pandangan
hidup masyarakat Indonesia, dengan kata lain pancasila merupakan bahan yang di
angkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia.
4. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan
yang ada di masyarakat indonesia, hal tersebut melalui penjabaran instrumental
sebagai acuan hidup yang merupakan cita-cita yang ingin digapai serta sesuai
dengan jiwa Indonesia serta karena pancasila lahir bersamaan dengan lahirnya
Indonesia. Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa punya jiwanya masing-masing
yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai
jiwa Bangsa lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia yaitu pada jaman
dahulu kala pada masa kejayaan nasional.
5. Pancasila merupakan Sumber dari segala
sumber tertib hukum
Poin ini dapat diartikan bahwa segala
peraturan perundang-undangan / hukum yang berlaku dan dijalankan di Indonesia
harus bersumber dari Pancasila atau tidak bertentangan (kontra) dengan
Pancasila. Karena segala kehidupan negara indonesia berdasarkan pancasila.
6. Pancasila sebagai kepribadian bangsa
Indonesia
Pancasila sebagai kepribadian bangsa
karena Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan
ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga
dapat membedakan dengan bangsa lain. dan Pancasila Merupakan wujud peran dalam mencerminkan
adanya kepribadian Negara Indonesia yang bisa mem bedakan dengan bangsa lain,
yaitu amal perbuatan, tingkah laku dan sikap mental bangsa Indonesia.
7. Pancasila sebagai Cita-cita dan tujuan
yang akan dicapai bangsa Indonesia
Dalan Pancasila mengandung cita-cita dan
tujuan negara Indonesia yang menjadikan pancasila sebagai patokan atau landasan
pemersatu bangsa. dimana tujuan akhirnya yaitu untuk mencapai masyarakat adil,
makmur yang merata baik materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila.
8. Pancasila sebagai Perjanjian Luhur
Karena saat berdirinya bangsa indonesia,
Pancasila merupakan perjanjian luhur yang telah disepakati oleh para pendiri
bangsa untuk dilaksanakan, di lestarikan dan di pelihara. Artinya Pancasila
telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara tanggal 18-Agustus-1945
pada sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia), PPKI ini
merupakan wakil-wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian
luhur (Pancasila) tersebut.
Baca Juga: Arti dan Makna Lambang dan Simbol Negara
(Lengkap)
9.
Pancasila sebagai Falsafah Hidup yang Mempersatukan Bangsa Indonesia
Pancasila merupakan sarana yang ampuh untuk
mempersatukan Bangsa Indonesia. Karena Pancasila merupakan palsafah hidup dan
kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang
oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, bijaksana, adil dan tepat bagi
Bangsa Indonesia guna mempersatukan Rakyat Indonesia.
10. Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan
nasional memiliki konsekuensi bahwa di dalam segala aspek pembangunan nasional
wajib berlandasakan pada hakikat nilai nilai dari sila sila yang ada pada
pancasila.
Sekian Artikel tentang
Fungsi dan Kedudukan Pancasila, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi sobat
MARKIJAR.Com dan dapat memberikan pengetahuan tentang Kedudukan dan Fungsi
Pancasila Bagi Negara Indonesia yang sejatinya wajib diketahui oleh seluruh
warga indonesia agar dijadikan pedoman dalam kehidupan.
KETAHANAN NASIONAL
Materi Ketahanan nasional, Pengertian,
perkembangan, perwujudan, asas, sifat, fungsi, dll
Kita semua menyadari bahwa setiap bangsa mempunyai cita-cita
luhur dan indah yang ingin dicapainya. Orang mengatakan bahwa cita-cita yang
ingin dicapai oleh suatu bangsa mempunyai fungsi sebagai penentu dari tujuan
nasionalnya. Lazimnya dalam usaha mencapai tujuan tersebut, bangsa bersangkutan
menghadapi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang senantiasa perlu
dihadapi ataupun ditanggulangi. Oleh karena itu, suatu bangsa harus mempunyai
kemampuan, kekuatan, ketangguhan dan keuletan. Umumnya inilah yang
dinamakan ketahanan nasional, yang dapat
juga disebut sebagai ketahanan bangsa (Suhady dan Sinaga, 2006).
Pengertian ketahanan nasional adalah
kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang
mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari
luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan
integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Ketahanan nasional diperlukan
dalam rangka menjamin eksistensi bangsa dan negara dari segala gangguan baik
yang datangnya dari dalam maupun dari dalam negeri. Untuk itu bangsa Indonesia
harus tetap memiliki keuletan dan ketangguhan yang perlu dibina secara
konsisten dan berkelanjutan.
1) Tujuan dan Fungsi Ketahanan Nasional
Srijanti, dkk (2009) menjelaskan tujuan, fungsi, dan sifat dari
ketahanan nasional sebagai berikut:
a) Tujuan Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional diperlukan dalam menunjang keberhasilan tugas
pokok pemerintahan, seperti tegaknya hukum dan ketertiban, terwujudnya
kesejahteran dan kemakmuran, terselenggaranya pertahanan dan keamanan,
terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial, serta terdapatnya kesempatan
rakyat untuk mengaktualisasi diri.
b) Fungsi Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional mempunyai fungsi sebagai:
(1). Daya tangkal, dalam kedudukannya sebagai konsepsi
penangkalan, ketahanan nasional Indonesia ditujukan untuk menangkal segala
bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap identitas,
integritas, eksistensi bangsa, dan negara Indonesia dalam aspek: ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
(2). Pengarah bagi pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan
sehingga tercapai kesejahteraan rakyat.
(3). Pengarah dalam menyatukan pola pikir, pola tindak, dan cara
kerja intersektor, antarsektor, dan multidisipliner. Cara kerja ini selanjutnya
diterjemahkan dalam RJP yang dibuat oleh pemerintah yang memuat kebijakan dan
strategi pembangunan dalam setiap sektor untuk mencapai tujuan nasional
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2) Perwujudan Ketahanan Nasional
Perwujudan Ketahanan Nasional yang dikembangkan bangsa Indonesia
meliputi (Bahan Penataran, BP7 Pusat, 1996):
a) Ketahanan ideologi, adalah kondisi mental bangsa Indonesia
yang berdasarkan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang mengandung
kemampuan untuk menggalang dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan
kemampuan untuk menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa.
b) Ketahanan politik, adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia
yang berlandaskan demokrasi yang bertumpu pada pengembangan demokrasi Pancasila
dan UUD 1945 yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas politik yang sehat
dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas aktif.
c) Ketahanan ekonomi, adalah kondisi kehidupan perekonomian
bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung
kemampuan menerapkan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan
menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan
mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan makmur. d) Ketahanan sosial budaya,
adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang menjiwai
kepribadian nasional yang berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan
membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat
Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hidup rukun,
bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang
serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya
asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
e) Ketahanan pertahanan keamanan, adalah kondisi daya tangkal
bangsa Indonesia yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang
dinamis, mengamankan pembangunan dan hasilnya serta kemampuan mempertahankan
kedaulatan Negara dan menangkal semua bentuk ancaman.
3) Ciri dan asas ketahanan nasional
Ketahanan nasional yang
dikembangkan bangsa Indonesia bertumpu pada budaya yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sehingga berbagai cirri ketahanan nasional yang dikembangkan tidak
dapat dilepaskan dari tata kehidupan bangsa Indonesia (Suhady dan Sinaga,
2006).
a) Ciri Ketahanan Nasional
(1). Ketahanan nasional merupakan prasyarat utama bagi bangsa
yang sedang membangun menuju bangsa yang maju dan mandiri dengan semangat tidak
mengenal menyerah yang akan memberikan dorongan dan rangsangan untuk berbuat
dalam mengatasi tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul.
(2). Menuju mempertahankan kelangsungan hidup. Bangsa Indonesia
yang baru membangun dirinya tidak lepas dari pencapaian tujuan yang
dicitacitakan.
(3). Ketahanan nasional diwujudkan sebagai kondisi dinamis
bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan bangsa untuk
mengembangkan kekuatan dengan menjadikan ciri mengembangkan ketahanan nasional
berdasarkan rasa cinta tanah air, setia kepada perjuangan, ulet dalam usaha
yang didasarkan pada ketaqwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
keuletan dan ketangguhan sesuai dengan perubahan yang dihadapi sebagai akibat
dinamika perjuangan, baik dalam pergaulan antar bangsa maupun dalam rangka
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.
b) Asas Ketahanan Nasional
Pengembangan ketahanan nasional bangsa Indonesia didasari pada
asasasas sebagai berikut:
(1).Kesejahteraandankeamanan;
(2).Utuhmenyeluruhterpadu;
(3).Kekeluargaan;
(4). Mawas diri;
Komentar
Posting Komentar