WAWASAN KEBANGSAAN

 

 

 

 

 

 

Pengertian Wawasan Kebangsaan Indonesia

 

Kata wawasan berasal dari bahasa Jawa yaitu mawas yang artinya memandang atau melihat, jadi kata wawasan dapat diartikan cara melihat atau cara pandang. Sehingga Wawasan Kebangsaan Indonesia adalah cara pandang mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dan sikap bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

 

Selain pengertian Wawasan Kebangsaan Indonesia diatas. Prof. Muladi, Gubernur Lemhannas RI, meyampaikan bahwa wawasan kebangsaan indonesia adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Wawasan kebangsaan dapat juga diartikan sebagai cara memandang / sudut pandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memahami keberadaan jati diri sebagai suatu bangsa dalam memandang dirinya dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan lingkungan eksternal (Suhady dan Sinaga, 2006).

 

Wawasan Kebangsaan Indonesia juga dikenal sebagai sebuah pedoman yang masih bersifat filosofia normatif. Sebagai perwujudan dari rasa dan semangat kebangsaan yang melahirkan bangsa Indonesia. Akan tetapi situasi dan suasana lingkungan yang terus berubah sejalan dengan proses perkembangan kehidupan bangsa dari waktu ke waktu. Wawasan Kebangsaan Indonesia harus senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembagan dan berbagai bentuk implementasinya.

 

Makna Wawasan Kebangsaan

Wawasan Kebangsaan bagi bangsa Indonesia memiliki berbagai makna, salah satunya adalah:

  1. Wawasan kebangsaan mengamanatkan kepada seluruh bangsa agar menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan individu atau golongan.
  2. Wawasan kebangsaan tidak memberi tempat pada patriotisme yang licik
  3. Wawasan kebangsaan mengembangkan persatuan Indonesia sedemikian rupa sehingga asas Bhinneka Tunggal Ika dipertahankan.
  4. NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bertekad untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, sejajar dengan bangsa lain yang sudah maju.
  5. Dengan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh pandangan hidup Pancasila, bangsa Indonesia telah berhasil merintis jalan menjalani misinya di tengah-tengah tata kehidupan di dunia.

 

Nilai Dasar Wawasan Kebangsaan

 

Nilai Wawasan Kebangsaan yang terwujud dalam persatuan dan kesatuan bangsa memiliki 6 dimensi yang bersifat mendasar dan fundamental, yaitu sebagai berikut:

  1. Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Cinta atas tanah air dan bangsa.
  3. Demokrasi atau kedaulatan rakyat.
  4. Tekad bersama untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, dan besatu.
  5. Masyarakat adil-makmur.
  6. Kesetiakawanan sosial.

 

Mengapa Wawasan Kebangsaan Harus Ada ?

 

Wawasan Kebangsaan merupakan konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang mempersatukan bangsa dan negara secara menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, dan hankam.

 

Wawasan Kebangsaan sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan.

 

 

 

 

Landasan Wawasan Kebangsaan

  • Konstitusional ==> UUD 1945
  • Idiil ==> Pancasila

 

 

Terdapat 3 Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan, Yaitu:

  1. Wadah (Contour)
  2. Isi (Content)
  3. Tata laku (Conduct)

 

 

 

Berikut penjelasan dari ke 3 Unsur Dasar Wawasan Kebangsaan diatas.

 

Wadah (Contour)

 

Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mencakup seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam dan penduduk serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia mempunyai organisasi kenegaraan yang merupakan wadah beragam kegiatan kenegaraan dalam bentuk supra struktur politik dan wadah dalam kehidupan bermasyarakat pada berbagai kelembagaan dalam bentuk infra struktur politik.

 

Isi (Content)

 

Isi (Content) merupakan aspirasi bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional.

 

Tata laku (Conduct)

 

Hasil interaksi antara wadah dan isi wawasan kebangsaan akan berwujud tata laku, yang terdiri dari :

  • Tata laku Lahiriah yaitu tercermin dalam perbuatan, tindakan dan perilaku dari bangsa Indonesia.
  • Tata laku Bathiniah yaitu mencerminkan jiwa, semangat dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia.

 

Kedua tata laku tersebut mencerminkan identitas kepribadian / jati diri bangsa berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan yang mempunyai rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air sehingga menyebabkan rasa nasionalisme yang tinggi dalam segala aspek kehidupan nasional.

 

Asas Wawasan Kebangsaan

 

Merupakan ketentuan-ketentuan dasar yang harus dipatuhi, dipelihara, ditaati dan diciptakan agar terwujud demi tetap taat dan setianya unsur / komponen pembentuk bangsa Indonesia (golongan/suku) terhadap kesepakatan (commitment) bersama. Asas Wawasan Kebangsaan terdiri dari:

  1. Kepentingan/Tujuan yang sama
  2. Solidaritas
  3. Keadilan
  4. Kerjasama
  5. Kejujuran
  6. Kesetiaan terhadap kesepakatan



 

Hakekat Wawasan Kebangsaan

 

Hakekat Wawasan Kebangsaan Adalah keutuhan nasional / nusantara, dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.

 

Berarti setiap warga negara dan aparatur negara wajib berfikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga negara.

Hubungan Wawasan Kebangsaan dan Ketahanan Nasional

 

Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar senantiasa mengarah pada pencapaian tujuan nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokoh berupa konsepsi wawasan kebangsaan untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta kepentingan dan tujuan nasional.

 

Wawasan nasional bangsa Indonesia merupakan wawasan nusantara yang tidak lain adalah pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. sedangkan ketahanan nasional adalah kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa wawasan kebangsaan dan Ketahanan Nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya.

 

 

 

Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pengertian dan penjelasan wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia. dalam pembahasannya kita juga akan melengkapi dengan menyajikan Hakikat dan Kedudukan Wawasan Nusantara, Pengertian Geopolitik, Teori-Teori Geopolitik serta masih banyak lagi. Pertama-tama kita akan mengawalinya dengan membahas Pengertian Wawasan Nusantara secara umum, berikut pembahasannya.

 

Pengertian Wawasan Nusantara

Garis-garis besar haluan negara (GBHN) 1998

Pengertian wawasan nusantara menurut GBHN 1998 adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam meyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Kelompok Kerja LEMHANAS (Lembaga Pertahanan Nasional) 1999

Pengertian wawasan nusantara menurut Kelompok Kerja LEMHANAS 1999 adalah cara pandang dan sikap bangsa indonesia mengenai diri dan lingkungan yang beragam dan bernilai startegis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

 

Prof. Dr. Wan Usman

Pengertian wawasan nusantara menurut Dr. Wan Usman adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.

 

 

Pengertian Wawasan Nusantara Secara Etimologi

Secara etimologis, Wawasan Nusantara berasal dari kata Wawasan dan Nusantara. Wawasan berasal dari kata Wawas (bahasa jawa) yang memiliki makna tinjauan, pandangan dan penglihatan indrawi. Jadi wawasan adalah tinjauan, pandangan dan penglihatan indrawi. Wawasan berarti pula cara melihat dan cara pandang.

 

Sedangkan Nusantara berasal dari kata nusa dan antara. Nusa artinya pulau atau kesatuan kepulauan. Antara artinya menunjukkan letak antara dua unsur atau diapit di antara dua hal (dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yakni samudera Pasifik dan samudera Hindia). Jadi Nusantara adalah kesatuan kepulauan yang terletak antara dua benua, yaitu benua Australia dan Asia, serta dua samudra, yaitu samudra Pasifik dan Hindia. Berdasarkan pengertian modern, selanjutnya kata "nusantara" digunakan sebagai penyebutan nama Indonesia.



Hakikat Wawasan Nusantara

Hakikat Wawasan Nusantara adalah Keutuhan Nusantara atau Nasional, yang juga dapat diartikan sebagai cara pandang yang utuh / menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional. Hal Ini berarti, setiap warga dan aparat negara harus berpikir, bersikap dan bertindak secara utuh menyeluruh dalam lingkup dan demi kepentingan nasional, bangsa dan negara Indonesia.

 

Kedudukan Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara berkedudukan sebagai visi bangsa. Dalam kaitannya dengan kedudukan, wawasan nusantara merupakan visi bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai dengan konsep Wawasan Nusantara ialah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah yang satu dan utuh pula. 

 

Selain itu, dalam paradigma nasional, kedudukan wawasan nusantara adalah sebagai berikut:

  1. Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idil
  2. UUD 1945 adalah landasan konstitusi negara yang berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
  3. GBHN (garis-garis besar haluan negara) sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijakan dasar nasional yang berkedudukan sebagai landasan operasioal.
  4. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional yang berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
  5. Sebagai visi nasional yang berkedudukan sebagai landasan visional.



Fungsi Wawasan Nusantara

Wawasan nusantara memiliki fungsi sebagai pedoman, dorongan, rambu-rambu serta motivasi dalam menentukan segala kebijakan, perbuatan, keputusan dan tindakan bagi penyelenggaraan negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Tujuan Wawasan Nusantara

Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:

  1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial“.
  2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

 

 

Pengertian Geopolitik

 

Geopolitik berasal dari dua kata yaitu "Geo" dan "Politik". "Geo" artinya bumi/planet bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan bumi. Dengan demikian, geografi berkaitan dengan interelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. "Politik" berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional.

 

Jadi, geopolitik dapat diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan nasional yang didukung oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu negara, yang apabila dijalankan dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik sebuah negara.

 

Geopolitik juga dimaknai sebagai penyelenggaraan Negara yang setiap kebijakannya dihubungkan dengan masalah-masalah geografi wilayah atau tempat tinggal sebuah bangsa.

 

Teori-Teori Geopolitik

 

Teori Geopolitik Frederich Ratzel (1844-1904)

 

Frederich Ratzel berpendapat bahwa negara itu seperti organisme yang hidup. Pertumbuhan Negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang hidup (lebensraum) yang cukup agar dapat tumbuh dengan subur. Makin luas ruang hiduo maka Negara akan semakin bertahan, kuat, dan maju. Teori ini dikenal sebagai teori organisme atau teori biologis.

 

Teori Geopolitik Rudolf Kjellen (1864-1922)

 

Menurut Rudolf Kjellen, Negara adalah satuan dan sistem politik yang menyeluruh yang meliputi bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik, social politik, dan krato politik. Negara sebagai organisme yang hidup dan intelektual harus mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya dengan melakukan ekspansi.

 

Teori Geopolitik Karl Haushofer (1896-1946)

 

Melanjutkan pandangan Ratzel dan Kjellen terutama pandangan tentang lebensraum (ruang hidup) dan paham ekspansionisme. Karl Haushofer berpendapat bahwa Jika jumlah penduduk suatu wilayah Negara semakin banyak sehingga tidak sebanding lagi dengan luas wilayah, maka Negara tersebut harus berupaya memperluas wilayahnya sebagai ruang hidup bagi warga Negara

 

Karl Haushofer yang pernah menjadi atase militer di Jepang juga pernah meramalkan bahwa Jepang akan menjadi negara yang jaya didunia dimana untuk menjadi jaya sebuah bangsa harus bisa menguasai benua-benua di dunia. Ia berpendapat bahwa pada hakikatnya dunia terbagi atas empat kawasan benua dan dipimpin oleh negara yang unggul.

 

Paham Geopolitik Bangsa Indonesia dalam konteks Wawasan Nusantara

 

Paham geopolitik bangsa Indonesia terumuskan dalam konsepsi Wawasan Nusantara. Bagi bangsa Indonesia, geopolitik adalah pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor-faktor geografis wilayah Negara untuk mencapai tujuan nasionalnya.

 

Karena bagi Indonesia, geopolitik adalah kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memamfaatkan keuntungan letak geografis Negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.

 

Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia

 

Geopolitik merupakan pertimbangan dasar dalam penyelenggaraan negara berdasarkan letak geografisnya. Untuk memenangkan suatu perlombaan, kita wajib memahami medan sehingga mengetahui strategi terbaik apa yang harus diterapkan dalam perlombaan tersebut. Sama halnya dengan negara, suatu negara membutuhkan geopolitik untuk menentukan pembinaan politik nasional berdasarkan kondisi dan situasi geografis dalam mencapai tujuan negara tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa yang majemuk mempunyai geopolitik tersendiri, yaitu wawasan nusantara.

 

 

Wawasan nusantara merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap lingkungannya, Bangsa Indonesia memandang wawasan nusantara sebagai visi dan perwujudan kebhinekaan (keberagaman) yang ada di Indonesia. Hakikat dari wawasan nusantara ini adalah menyatukan perbedaan dan batasan wilayah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke sehingga terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersatu dan utuh dalam mencapai tujuan nasional Indonesia.

 

Wawasan Nusantara Indonesia dibentuk dan dijiwai oleh pemahaman kekuasaan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah pancasila dan oleh pandangan geopolitik Indonesia yang berdasarkan pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia. Karena dasar pemikiran Wawasan Nusantara terdiri atas dasar pemikiran berdasarkan filsafat, kewilayahan, sosial budaya, dan kesejarahan.

 

Tujuan Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia

  1. Tujuan ke luar, yaitu terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social serta mengembangkan suatu kerja sama dan saling menghormati.
  2. Tujuan ke dalam, yaitu menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, yaitu politik, ekonomi, social budaya, pertahanan keamanan.



Manfaat Wawasan Nusantara Sebagai Geopolitik Indonesia

  1. Diterima dan diakuinya konsepsi Nusantara di forum internasional.
  2. Wawasan Nusantara menjadi salah satu sarana integrasi nasional.
  3. Penerapan wawasan nusantara menghasilkan cara pandang tentang keutuhan wilayah nusantara yang perlu dipertahankan oleh bangsa Indonesia.
  4. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup memberikan potensi sumber daya yang besar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
  5. Pertambahan luas wilayah teritorial Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Implementasi Wawasan Nusantara dalam Bidang Ekonomi

 

Setiap bangsa memiliki wawasan nasional yang merupakan visi bangsa tersebut guna mewujudkan cita-citanya pada masa depan. Adapun wawasan nasional Bangsa Indonesia merupakan Wawasan Nusantara, yang dimaksud wawasan nusantara adalah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh pemerintahan Orde Baru sebagai identifikasi Bangsa Indonesia.

 

Pengertian Wawasan Nusantara

 

Menurut ketetapan MPR tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN, wawasan nusantara merupakan wawasan nasional yang berasal dari Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 yang berarti cara pandang dan sikap Bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

 

Secara umum wawasan nusantara juga dapat diartikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah serta menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.

 

Penerapan atau Implementasi wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bertindak dan bersikap dalam rangka mangatasi bermacam masalah menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara indonesia. Implementasi wawasan nusantara senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh.

 

Implementasi wawasan nusantara dalam bidang Ekonomi

 

Dalam bidang ekonomi, penerapan wawasan nusantara akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, juga dapat menggambarkan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

 

Prinsip-prinsip penerapan (implementasi) wawasan nusantara pada bidang ekonomi yaitu :

  1. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam sistem ekonomi kerakyatan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
  2. Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di semua daerah tanpa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya.
  3. Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, merupakan modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.

Contoh implementasi wawasan nusantara dalam bidang ekonomi

Contoh implementasi wawasan nusantara dalam bidang ekonomi diantaranya dengan menyeimbangkan Keuangan Pusat dan Daerah dengan keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Pembagian keuangan yang semula hampir 80% anggaran daerah harus menunggu didatangkan dari pusat, padahal 90% hasil-hasil daerah diserahkan pada pemerintahan pusat, kini pada UU tersebut diubah menjadi :

  1. Hasil kehutanan, pertambangan umum dan perikanan, 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah.
  2. Hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, 20% untuk pusat, 80% untuk daerah.
  3. Hasil Pajak Bumi dan Bangunan, 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah.
  4. Hasil gas alam, 70% untuk pusat dan 30% untuk daerah sedangkan minyak bumi, 85% untuk pusat, 15% untuk daerah.

Bahkan, porsi daerah ditambah lagi dengan adanya "Dana Alokasi Umum" yang dialokasikan untuk daerah-daerah dengan perimbangan tertentu, yang jumlah totalnya adalah 25% dari penerimaan dalam negeri APBN, sebagai perimbangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu ideologi atau kefahaman yang meletakkan negara dan bangsa pada tempat yang tinggi. Atau yang mencipta dan mempertahankan kedaulatan sesebuah negara (dalam bahasa Inggeris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identiti bersama untuk sekumpulan manusia. Ia berbeza dengan patriotisme.

Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kesahihan politik" (political legitimacy). Ia berpunca dari teori romantisme iaitu "identiti budaya", hujah liberalisme yang menganggap kesahihan politik adalah berpunca dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua-dua teori.

Dalam zaman moden ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketenteraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperi yang dinyatakan di bawah. Para saintis politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrim seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

Etimologi

Kata nasionalisme berasal daripada gabungan dua kata bahasa Inggeris, iaitu nation yang membawa maksud bangsa dan ism yang membawa maksud faham. Lalu, nasionalisme boleh difahami sebagai faham yang menjunjung tinggi rasa kebangsaan.

Beberapa bentuk nasionalisme

Nasionalisme boleh menonjolkan dirinya sebagai sebahagian ideologi negara, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya saling kait-mengait dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau kesemua elemen tersebut.

Nasionalisme sivik (atau nasionalisme sivil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula dibangunkan oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku bertajuk On the Social Contract (atau dalam Bahasa Melayu "Mengenai Kontrak Sosial").

Nasionalisme etnik  adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari budaya asal atau etnik sesebuah masyarakat. Ia dibangunkan oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa German untuk "rakyat").

Nasionalisme romantik (juga dipanggil nasionalisme organiknasionalisme identiti) adalah lanjutan dari nasionalisme etnik dimana negaramemperolehi kesahihan politik secara semulajadi ("organik") hasil daripada bangsa atau ras; menurut semangat Romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada kewujudan budaya etnik yang menepati idealisme Romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Brothers Grimm" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnik Jerman.

Nasionalisme Budaya  adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi kesahihan politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Cina yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan dimana golongan Manchu serta ras-ras minoriti lain masih dianggap sebagai rakyat negara Cina. Kesediaan dinasti Quing untuk menggunapakai adat istiadat Cina membuktikan keutuhan budaya Cina. Malah ramai rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Cina sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak China kerana kerajaannya berfahaman komunisme.

Nasionalisme kenegerian  ialah variasi kepada nasionalisme sivik, selalunya digabungkan dengan nasionalisme etnik. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehinggakan ia diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalunya kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokratik. Penyelenggaraan sebuah national state adalah suatu hujah yang ulung, seolah-olah ia membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporari, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Sepanyol, serta sikap Jacobin terhadap unitari dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgium, yang secara ganasnya menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih autonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Corsica. Secara sistematik, bila mana nasionalisme kenegerian itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara kerajaan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme BasqueCatalonia dan Corsica.

Nasionalisme keagamaan  ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperolehi "political legitimacy" dari persamaan agamaZionisme di Israel adalah satu contoh yang baik. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnik adalah dicampurkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Ireland semangat nasionalisme adalah berpunca dari persamaan agama mereka iaitu mazhab gereja Katolik Rom; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut parti Bharatiya Janata adalah berpunca dari agama Hindu pegangan majoriti penduduk di India.

Namun demikian, bagi kebanyakan kumpulan nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kumpulan tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme kaum Irish dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Ireland bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan ideologi yang bersangkut paut dengan Ireland sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Ireland. Justeru, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.

Di sebaliknya, Islam menentang nasionalisme, tribalisme (perbezaan kaum), rasisme, atau sebarang bentuk diskriminasi manusia yang tidak berdasarkan kepada kepercayaan seseorang itu. Islam menggalakan keharmonian masyarakat Islam atau ummah. Bahkan menjamin keharmonian penganut agama lain dan menganjurkan kemamanan untuk semua. Penduduk Islam diseluruh dunia tidak kira bangsa, warna dan keturunan bersolat dikiblat yang sama, berpuasa pada bulan Ramadan yang sama serta menunaikan haji di Kaabahyang sama. Malah sewaktu menunaikan haji atau umrah, semua orang wajib memakai kain ihram putih yang sama. Perkataan ummah selalu disalah terjemahkan ke dalam bahasa Inggeris sebagai negara (nation) (berlainan dengan gerakan "Nation of Islam" dan ini bertentangan dengan ajaran Islam dan ditolak oleh kebanyakan orang Islam.

 

Patriotisme

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/ed/Bung_Tomo.jpg/200px-Bung_Tomo.jpg

Patriotisme Sutomo.

Patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Patriotisme berasal dari kata "patriot" dan "isme" yang berarti sifat kepahlawanan atau jiwa pahlawan, atau "heroism" dan "patriotism" dalam bahasa Inggris. Pengorbanan ini dapat berupa pengorbanan harta benda maupun jiwa raga.

 

Ibu Pertiwi

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/8a/Statue_of_Goddess_or_Queen_at_Monas.JPG/220px-Statue_of_Goddess_or_Queen_at_Monas.JPG

Citra seorang wanita atau seorang dewi agung dalam busana tradisional kuno zaman kerajaan Hindu-Buddha di Monumen NasionalJakarta yang merupakan penggambaran populer Ibu Pertiwi di Indonesia.

Ibu Pertiwi merupakan personifikasi nasional Indonesia, sebuah perwujudan tanah air Indonesia.[1] Sejak masa prasejarah, berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara sudah menghormati roh alam dan kekuatan bumi, mereka mengibaratkannya sebagai ibu yang memberikan kehidupan, sebagai dewi alam dan lingkungan hidup. Setelah diserapnya pengaruh Hindu sejak awal millenia pertama di nusantara, dia dikenal sebagai Dewi Pertiwi, dewi bumi.

Ibu Pertiwi populer dalam berbagai lagu dan puisi perjuangan bertema patriotik, seperti lagu "Ibu Pertiwi" dan "Indonesia Pusaka". Dalam lagu kebangsaan "Indonesia Raya", lirik dalam bait "Jadi pandu ibuku", kata "ibu" di sini merujuk kepada Ibu Pertiwi. Meskipun Ibu Pertiwi populer dalam berbagai lagu dan puisi perjuangan, perwujudan fisik dan citranya jarang ditampilkan di media massa Indonesia.

 

MILITANSI

Arti: ketangguhan dalam berjuang (menghadapi, kesulitan, berperang, dan sebagainya)

 

NUSANTARA I

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya – Sejarah berdirinya Nusantara tentu tidak lepas dari perjuangan para pahlawan. Selain perjuangan para pahlawan, tentunya kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia juga memiliki pengaruh besar terhadap sejarah Indonesia. Salah satu kerajaan besar yang ada di Indonesia adalah kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Melayu yang berada di pulau Sumatera serta memiliki pengaruh besar terhadap Nusantara. Nama kerajaan ini berasal dari Bahasa Sansekerta, sri artinya bercahaya dan wijaya yang memiliki arti kemenangan. Sehingga arti nama kerajaan ini berarti kemenangan yang bercahaya.

Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang meliputi Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, bahkan hingga Pulau Jawa ini membuat nama Kerajaan Sriwijaya dikenal di seluruh Nusantara. Tidak hanya dari Nusantara saja, akan tetapi juga kerajaan ini dikenal hingga ke mancanegara.

Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai sumber yang menyebutkan adanya kerajaan di Sumatera ini. Ada kabar yang mengatakan bahwa para pedagang dari Arab dan Cina pernah berdagang di Sriwijaya. Sedangkan menurut berita dari India, kerajaan di India pernah bekerja sama dengan kerajaan Sriwijaya.


Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

Sebuah kerajaan yang besar tentunya memiliki sejarah jaya dan runtuhnya yang tentu akan selalu diingat oleh masyarakat Indonesia. Sejarah masa kejayaan kerajaan Sriwijaya dimulai sekitar abad ke 9 hingga abad ke 10 di mana saat itu kerajaan ini berhasil menguasai jalur perdagangan maritim Asia Tenggara.

Tidak hanya perdagangan maritim saja, akan tetapi juga berbagai kerajaan di Asia Tenggara berhasil dikuasai oleh Sriwijaya. Kerajaan di Thailand, Kamboja, Filipina, Vietnam, hingga Sumatera dan Jawa berhasil dikuasai Sriwijaya.

Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan lokal yang mana waktu itu seluruh kapal yang lewat akan dikenakan bea cukai. Mereka juga berhasil mengumpulkan kekayaan mereka dari gudang perdagangan serta melalui jasa pelabuhan.

Sayangnya, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya harus berakhir sekitar tahun 1007 dan 1023 Masehi. Bermula ketika Raja Rajendra Chola, seorang penguasa Kerajaan Cholamandala berhasil menyerang Sriwijaya dan berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya.

Terjadinya penyerangan ini karena kedua kerajaan ini saling bersaing pada bidang pelayaran serta perdagangan. Kerajaan Cholamandala bukan berniat untuk menjajah, akan tetapi ingin meruntuhkan armada kerajaan. Sehingga membuat kondisi ekonomi pada saat itu melemah serta berkurangnya pedagang.

Tidak hanya itu, kekuatan militer kerajaan juga melemah dan membuat prajurit Sriwijaya melepaskan diri dari kerajaan. Hingga, masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berakhir sekitar abad ke-13.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

Sebagai kerajaan yang pernah jaya di Nusantara, tentunya peninggalan kerajaan Sriwijaya tersebar di seluruh daerah kekuasaan mereka. Salah satu jenis peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih ada hingga saat ini adalah berupa prasasti. Berikut ini merupakan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya.

1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur merupakan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berada di bagian Barat Pulau Bangka. Bahasa yang ditulis pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno serta menggunakan aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan sekitar tahun 1892 bulan Desember.

Orang yang berhasil menemukan prasasti ini adalah J.K. van der Meulen. Prasasti ini berisi tentang kutukan bagi siapa saja yang membantah perintah serta kekuasaan kerajaan akan terkena kutukan.

2. Prasasti Kedukan Bukit

Seseorang bernama Batenburg menemukan sebuah batu tulis yang berada di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir pada 29 November 1920 Masehi. Ukuran dari prasasti ini adalah sekitar 45 x 80 centimeter serta ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.

Prasasti ini berisi tentang seorang utusan kerajaan yang bernama Dapunta Hyang yang melakukan perjalanan suci atau sidhayarta dengan menggunakan perahu. Dengan diiringi 2000 pasukan, perjalanannya membuahkan hasil. Saat ini, prasasti Kedukan Bukit disimpan di Museum Nasional Indonesia.

3. Prasasti Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Isi dari prasasti ini adalah mengenai kutukan bagi mereka yang berbuat jahat di Sriwijaya. Keberadaan prasasti ini sama seperti prasasti Kedukan Bukit, yaitu disimpan di Museum Nasional Indonesia.

4. Prasasti Talang Tuwo

Residen Palembang, yaitu Louis Constant Westenenk menemukan prasasti pada 17 November 1920. Prasasti ini ditemukan di kaki Bukit Seguntang di sekitar tepian utara Sungai Musi. Isi dari prasasti ini berisi doa-doa dedikasi dan menunjukkan berkembangnya agama Buddha di Sriwijaya.

Aliran yang digunakan di Sriwijaya adalah aliran Mahayana yang dibuktikan dengan kata-kata dari Buddha Mahayana seperti bodhicitta, vajrasarira, dan lain-lain.

5. Prasasti Ligor

Prasasti yang ditemukan di Thailand Selatan ini memiliki dua sisi, yaitu sisi A dan sisi B. Pada sisi A menjelaskan tentang gagahnya raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut ditulis bahwa raja Sriwijaya merupakan raja dari segala raja dunia yang sudah mendirikan Trisamaya Caiya bagi Kajara.

Sedangkan untuk sisi B atau yang disebut prasasti ligor B berisi mengenai pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana. Gelar tersebut diberikan kepada Sri Maharaja yang mana berasal dari keluarga Sailendravamasa.

6. Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah merupakan prasasti yang berhasil ditemukan di desa Palas Pasemah, Lampung Selatan. Bahasa yang digunakan pada prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa serta tersusun atas 13 baris kalimat.

Isi dari prasasti ini berisi tentang kutukan terhadap orang yang tidak tunduk pada kekuasaan Sriwijaya. Diperkirakan, prasasti ini berasal dari abad ke-7 Masehi. Konon, prasasti ini ditemukan di sebuah pinggiran rawa desa.

7. Prasasti Karang Birahi

Kontrolir L.M. Berkhout menemukan prasasti Karang Birahi pada tahun 1904 di sekitar tepian Batang Merangin, Jambi. Isi dari prasasti Karang Birahi juga kurang lebih hampir sama dengan prasasti di poin sebelumnya, yaitu mengenai kutukan bagi mereka yang tidak tunduk terhadap Sriwijaya.


Raja Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

Raja Kerajaan Sriwijaya yang berhasil menaklukkan Jawa dan Melayu adalah Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa dan memimpin pada tahun 671. Lalu pada tahun 728 hingga 742, Sriwijaya dipimpin oleh Rudra Wikrama yang melakukan utusan ke Tiongkok pada masa kepemimpinannya.

Pada tahun 702, Sriwijaya dipimpin oleh Sri Indrawarman dan dilanjutkan oleh Sri Maharaja pada tahun 775. Berkat kepemimpinannya, Kamboja dan Thailand berhasil ditaklukkan oleh Sriwijaya. Tahun 851, Sriwijaya dipimpin oleh Maharaja yang dilanjutkan oleh Balaputra Dewa di tahun 860 Masehi.

Raja Kerajaan Sriwijaya yang selanjutnya adalah Sri Udayadityawarman yang memimpin kerajaan pada tahun 960 Masehi dan dilanjutkan oleh Sri Udayaditya pada tahun 962 Masehi. Kepemimpinan Sriwijaya dilanjutkan oleh Sri Sudamaniwarmadewa dan Marawijayatunggawarman pada tahun 1044 masehi.

Kepemimpinan Raja Kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggaramawijayatunggawarman pada tahun 1044 Masehi. Berkat kepemimpinannya, Sriwijaya berhasil ditaklukkan oleh India.


Penutup

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang pernah jaya pada masanya. Bahkan, kerajaan ini dikenal hingga ke mancanegara. Berbagai berita luar negeri, mulai dari Arab hingga Cina membicarakan kerajaan yang berada di Pulau Sumatera ini.

Selain itu, jayanya kerajaan ini dibuktikan dari peninggalan kerajaan Sriwijaya yang berupa prasasti. Peninggalan tersebut berhasil ditemukan di berbagai tempat sekaligus menjadi bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya ada dan pernah menguasai Asia.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya –Latar Belakang, Masa Kejayaan dan Keruntuhannya

Mendengar nama Sriwijaya pastinya bukan hal yang asing di telinga anda. Salah satu kerajaan paling besar di Asia Tenggara yang berhasil menjadi negara maritim pertama sebelum berdirinya Indonesia.

Kejayaan Sriwijaya menginspirasi banyak orang. Bahkan di dunia persepakbolaan nasional, namanya digunakan sebagai nama klub bola asal pulau Sumatera, Sriwijaya FC. Dalam catatan-catatan dan kronik Cina, Sriwijaya dikenal dengan nama Che-li-fo-che.

Sejarah kerajaan sriwijaya menjadi satu diantara 3 kerajaan yang berada di Sumatera dan dikenal oleh Cina alias Tiongkok. Kerajaan lain yang juga menduduki kepulauan Sumatera adalah Tulangbawang dan Kerajaan Melayu. Namun berdasarkan prasasti asli Sumatera, tidak ada yang mengisahkan cerita kerajaan Tulangbawang dan Melayu.

Kerajaan ini masih jauh lebih dulu besar dibanding sejarah Kerajaan Majapahit yang menjadi penghancurnya. Sejarahnya dapat diteladani dan menjadi inspirasi pemersatu Indonesia. Mengingat Sriwijayalah kerajaan yang menjadi kerajaan nasional dan maritim pertama sebelum ada ide menyatukan nusantara.

Latar Belakang

Sriwijaya didirikan pertama kali pada abad ke-7 dengan raja pertama bernama Dapunta Hyang. Bukti fisik berupa kronik berita Cina memberitahu bahwa pada tahun 682 Masehi atau abad ke-6 ada seorang pendeta Budha dari Tiongkok yang ingin memperdalam agamanya di tanah India.

Sebelum keberangkatan resminya, ia harus sudah menguasai bahasa Sansekerta, karena itulah pendeta bernama I-Tsing tersebut mempelajarinya dulu selama setengah tahun di Sriwijaya. Kronik ini sekaligus memberi sinyal bahwa ternyata pada zaman dulu, Sriwijaya sudah menjadi pusat keagamaan yang mumpuni di kawasan Asia Tenggara. Bahkan I-Tsing juga berhasil menerjemahkan kitab-kitab agama Budha ke bahasa nenek moyangnya setelah mempelajari secara mendalam agama Budha di Sriwijaya.

Bukti yang kedua ini memperkuat teori awal pendirian Kerajaan Sriwijaya di abad ke-7. Sebuah prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dinamai Kedukan Bukit memiliki angka 683 Masehi. Di tahun tersebut Sriwijaya sedang dipimpin oleh seorang raja bernama Dapunta Hyang yang sedang berusaha memperluas wilayah. Ia menyiapkan bala tentara sampai jumlah 20.000 orang. Penaklukan ini membuahkan hasil setelah 8 hari bertempur di medan perang. Pada akhirnya beberapa wilayah yang kekuatan militernya tak sebanding bersedia menyerahkan upeti ke Sriwijaya sebagai tanda takluk.

 

Tidak ada kronik maupun prasasti lagi yang menjelaskan asal-usul keluarga Dapunta Hyang Srijayanaga sehingga ia menduduki tahta pertama kerajaan. Dalam sejarah berdirinya Sriwijaya, ada sekitar 11 raja yang silih berganti mengurusi negara internasional ini. Nantinya, nama Sriwijaya yang artinya kemenangan yang mulia benar-benar terwujud.

Setelah Dapunta Hyang berhasil meraih kesuksesan bersama 20.000 pasukannya, ada sebuah prasasti yang ditemukan di Pulau Bangka, sebuah pulau kecil di dekat Sumatera. Prasasti Kota Kapur adalah nama prasasti yang menyebutkan keinginan Dapunta Hyang meneruskan ekspedisi ke Jawa. Dan prasasti yang berangka tahun 686 Masehi itu pun menjadi bukti sejarah berhasilnya Sriwijaya menaklukkan Jawa yang saat itu dikuasai Kerajaan Tarumanegara. Prasasti-prasasti lainnya yang menjadi peninggalan Kerajaan Sriwijaya menggunakan bahasa melayu kuno dan berhuruf Pallawa.

Masa Kejayaan

Masa kejayaan kerajaan Sriwijaya sudah sangat jelas bisa diterangkan. Negara mana yang tidak kaya dengan menguasai selat-selat strategis dan menjadi penguasa tunggal jalur perdagangan internasional. Inilah sumber kekayaan Sriwijaya.

Selat Malaka dan Selat Sunda merupakan dua selat internasional yang tidak pernah sepi dari kapal. Hanya bermodalkan kekuatan armada militernya, Sriwijaya berani menerapkan sistem bea cukai yang sampai sekarang dipakai juga oleh Pemerintah Indonesia. Fungsi dan peran armada militer dalam perekonomian Sriwijaya sangat besar. Tanpa adanya jaminan keselamatan, para saudagar Arab dan Tiongkok pasti memilih selat lain sebagai jalur transportasinya. Apalagi sampai memutuskan menetap sementara atau selamanya. Hal ini banyak terjadi karena selain Sriwijaya elok dan berharta, kehidupan bisnisnya akan dilindungi oleh para militer Sriwijaya.

Kesuksesan tidak bisa dipandang dari banyaknya harta saja, Sriwijaya dan para petingginya menyadari benar kalimat tersebut. Sehingga kerajaan maritim ini mengembangkan juga kebesaran agama Budha. Selain dengan cara mendirikan sangga –kelompok belajar- untuk memperdalam Buddhisme, Sriwijaya juga sudah menyiapkan banyak guru spiritual Budha. Baik seorang pendeta atau hanya orang yang mendapatkan kelebihan.

Guru agama Budha yang paling tersohor di Sriwijaya yaitu Sakyakirti. Fakta yang mengejutkan lain ditemukan di daerah-daerah dekat Palembang yang menjadi titik pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Diduga ada candi yang lebih besar dari Borobudur pernah diciptakan oleh kerajaan ini. Namun sampai sekarang hanya arcanya saja yang ditemukan. Selain itu, ditemukan juga beberapa batu bertulis ‘ziarah yang berhasi’ di daerah Telaga Batu. Kenyataan ini menguatkan Sriwijaya sebagai kerajaan yang religius.

Peninggalan lain yang masih bisa dilihat langsung oleh generasi kita berupa candi. Candi-candi yang dibangun bercorak agama Budha. Misalkan candi Muaratakus yang dibangun di Riau dan Biaro Bahal di Sumatera Utara. Kedua candi ini menjadi candi yang terkenal sebagai bekas kejayaan Sriwijaya karena memang tidak banyak candi yang ditemukan di Sumatera.

Pada tahun 860 Masehi, prasasti Nalanda yang berada di India menyeret nama Sriwijaya sebagai nama kerajaan internasional yang sangat peduli dengan pendidikan. Masa keemasan ini semakin meningkatkan pamor Balaputeradewa yang saat itu menjadi Raja Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut, Balaputeradewa disebutkan mendirikan asrama pelajar Sriwijaya yang diperuntukkan anak dari Sriwijaya yang sedang menuntut ilmu di Nalanda, India. Tempat itu sudah banyak menghasilkan para pendeta yang dapat mengayomi orang banyak. Pada zaman itu, India dan Benggala tempat beradanya perguruan Nalanda sedang dipimpin oleh Raja Dewapaladewa.

Puncak keemasan diperoleh Sriwijaya setelah berjuang dalam hitungan abad. Sriwijaya memperoleh kejayaan ini di abad ke-8 dan ke-9. Hingga pada akhirnya, kejayaan tersebut harus diakhiri pada abad ke-11.

Balaputeradewa yang berhasil membawa Sriwijaya mencapai kejayaan itu sebenarnya adalah anak dari Raja Samarattungga. Seorang keturunan Dinasti Syailendra dari bumi Jawa yang memberikan peninggalan berupa candi Borobudur kepada anak cucunya.

Di masa pemerintahan Balaputeradewa ini agama Budha benar-benar menunjukkan progressnya. Ada banyak orang yang bermaksud menjadi murid spiritual seorang biksu besar bernama Dharmakirti. B

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Ada banyak faktor yang menyebabkan berhenti berkibarnya nama Sriwijaya. Kebanyakan faktor tersebut melemahkan Sriwijaya perlahan-lahan. Kekuatan militer yang sudah berlapis-lapis pada ujungnya tidak berdaya juga.

Awalnya militer Sriwijaya kalah telak dengan sebuah kerajaan di India Selatan. Kerajaan ini bernama Cola dengan pemimpin Rajendra Cola I. Orang tersebut telah melepaskan kekuasaan atas kapal dan segala jenis transit yang memakan biaya dan cukai.

Keadaan diperparah dengan banyaknya kerajaan kecil yang melepaskan diri dari pengaruh Sriwijaya. Semuanya membuat Sriwijaya benar-benar kehilangan sumber pendapatan dari pelabuhan yang ditransiti kapal barang. Serangan ekspedisi pamalayu yang menjadi bagian sejarah kerajaan singasari kemudian benar-benar menghancurkan kejayaan Sriwijaya. Ditambah lagi dengan penerusnya, pembuat sejarah kerajaan majapahit yang menghilangkan beberapa bekas kejayaan Sriwijaya.

 

 

 

 

NUSANTARA II

Majapahit

 

Kemaharajaan Majapahit 
ꦤꦒꦫꦶꦏꦫꦗꦤ꧀ꦩꦗꦥꦻꦠ꧀ (Jawa)
विल्व तिक्त (Sanskerta)
मजापहित साम्राज्य (Hindi)
ᬧ᭄ᬭᬚᬫᬚᬧᬳᬶᬢ᭄ (Bali)
ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ᮙᮏᮕᮠᮤᮒ᮪ (Sunda)
满者伯夷王国 (Mandarin)
อาณาจักรมัชปาหิต (Thai)

1293–1527

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5e/Flag_of_the_Majapahit_Empire.svg/125px-Flag_of_the_Majapahit_Empire.svg.png

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/7a/Surya_Majapahit_Gold.svg/85px-Surya_Majapahit_Gold.svg.png

Bendera

Surya Majapahit

Semboyan
Mitreka Satata
ꦩꦶꦠꦿꦺꦏꦱꦠꦠ


(
Jawa Kuno: "Persaudaraan yang satu dengan dasar persamaan derajat")

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c1/Majapahit_Empire_id.svg/250px-Majapahit_Empire_id.svg.png

Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan.[1]

Ibu kota

Lambang Kabupaten Mojokerto.png Mojokerto (masa Raden Wijaya)
Lambang Kabupaten Mojokerto.png Trowulan (masa Jayanagara)
Lambang Kota Kediri.jpg Kediri (masa Brawijaya III)

Bahasa

Jawa Kuno (utama), Kawi (alternatif), Sanskerta

Agama

Siwa-Buddha (Hindudan Buddha), KejawenAnimisme

Bentuk pemerintahan

Monarki

Sri Maharaja

 - 

1293-1309

Kertarajasa Jayawardhana

 - 

1309-1328

Sri Jayanagara

 - 

1328-1350

Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani

 - 

1350-1389

Sri Rajasanagara

 - 

1389-1429

Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama

 - 

1429-1447

Dyah Ayu Kencana Wungu

 - 

1447-1451

Brawijaya I

 - 

1451-1453

Brawijaya II

 - 

1453-1466

Brawijaya III

 - 

1466-1468

Brawijaya IV

 - 

1468-1478

Brawijaya V

Rakryan Mantri ri Pakira-kiran

 - 

1294 – 1316

Mahapatih Nambi

 - 

1316 – 1323

Mahapatih Dyah Halayudha

 - 

1323 – 1334

Mahapatih Arya Tadah

 - 

1334 – 1364

Mahapatih Gajah Mada

 - 

1367 – 1394

Mahapatih Gajah Enggon

 - 

1394 – 1398

Mahapatih Gajah Manguri

Sejarah

 - 

Penobatan Raden Wijaya

10 November 1293

Sumber frasa Mitreka Satata berasal dari Kakawin Nagarakretagama karangan Empu Prapañca pada zaman keemasan kerajaan Majapahit. Semboyan Mitreka Satata dipakai oleh Mahapatih Gajah Mada. Sebagai landasan dalam menjalankan politik luar negeri Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

 

 


Kemaharajaan Majapahit (
bahasa Jawa: ꦤꦒꦫꦶꦏꦫꦗꦤ꧀ꦩꦗꦥꦻꦠ꧀; Nagari Karajan MɔjɔpaitSanskerta: विल्व तिक्तWilwatikta) adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa TimurIndonesia, yang pernah berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.[2] Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari JawaSumatraSemenanjung MalayaKalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.[3]

Historiografi

Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari sisa-sisa Kerajaan Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6]Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Kakawin Nagarakretagama pada tahun 2008 diakui sebagai bagian dalam Daftar Ingatan Dunia (Memory of the World Programme) oleh UNESCO.[7] Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[8] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[8]

Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan.[9] Namun, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.[5] Tahun 2010 sekelompok pengusaha Jepang dipimpin Takajo Yoshiaki membiayai pembuatan kapal Majapahit atau Spirit of Majapahit yang akan berlayar ke Asia. Menurut Takajo, hal ini dilakukan untuk mengenang kerjasama Majapahit dan Kerajaan Jepang melawan Kerajaan China (Mongol) dalam perang di Samudera Pasifik.[10]Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.[11] Bahkan ada perguruan silat bernama Kali Majapahit yang berasal dari Filipina dengan anggotanya dari Asia dan Amerika. Silat Kali Majapahit ini mengklaim berakar dari Kerajaan Majapahit kuno yang disebut menguasai Filipina, Singapura, Malaysia dan Selatan Thailand.[12]

Sejarah

Berdirinya Majapahit

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b6/Harihara_Majapahit_1.JPG/170px-Harihara_Majapahit_1.JPG

Arca Harihara (paduan Siwa dan Wisnu) perwujudan Kertarajasa dari Candi Simping, Blitar, kini koleksi Museum Nasional.

Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[13] ke Singhasari yang menuntut upetiKertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.[13][14] Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.

Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang.[15] Jawaban dari surat di atas disambut dengan senang hati.[15] Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di negeri asing.[16][17] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk RanggalaweSora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam Pararaton.[18] Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[17] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya adalah JayanegaraPararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta ItaliaOdorico da Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Kejayaan Majapahit

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/87/Majapahit_Expansion.gif/260px-Majapahit_Expansion.gif

Perkembangan Kemaharajaan Majapahit, bermula di Trowulan, Majapahit, Jawa Timur, pada abad ke-13, kemudian mengembangkan pengaruhnya atas kepulauan Nusantara, hingga surut dan runtuh pada awal abad ke-16.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatrasemenanjung MalayaKalimantanSulawesi, kepulauan Nusa TenggaraMalukuPapua, Tumasik (Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina.[19] Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.

Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.[20]Majapahit juga memiliki hubungan dengan CampaKambojaSiamBirma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.[2][20]

Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[21] Pihak Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[22] Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[23] Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali dan juga naskah Carita Parahiyangan. Kisah ini disinggung dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.

Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandalaraksasa yang membentang dari Sumatra ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[24]

Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]

Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit tampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.

Surutnya Majapahit

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/00/Golden_Celestial_Nymph_of_Majapahit.jpg/120px-Golden_Celestial_Nymph_of_Majapahit.jpg

Bidadari Majapahit, arca emas apsara gaya Majapahit menggambarkan zaman kerajaan Majapahit sebagai "zaman keemasan" Nusantara.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/aa/Gajah-Mada.jpg/200px-Gajah-Mada.jpg

Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.

Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.

Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di SemarangDemakTuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.[25]

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.[8]

Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara.[26] Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatra. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ac/Muzium_Negara_KL38.JPG/220px-Muzium_Negara_KL38.JPG

Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara MalaysiaKuala LumpurMalaysia. Kapal yang ditampilkan ini berjenis kapal Borobudur.

Setelah mengalami kekalahan dalam perebutan kekuasaan dengan Bhre Kertabumi, Singhawikramawardhana mengasingkan diri ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus melanjutkan pemerintahannya di sana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dengan memanfaatkan ketidakpuasan umat Hindu dan Budha atas kebijakan Bhre Kertabumi serta mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1498 dengan gelar Girindrawardhana hingga ia digulingkan oleh Patih Udara. Akibat konflik dinasti ini, Majapahit menjadi lemah dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan Demak yang didirikan oleh keturunan Bhre Wirabumi di pantai utara Jawa.

Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[27]) hingga tahun 1518.

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.[28] Raden Patah yang saat itu adalah adipati Demak sebetulnya berupaya membantu ayahnya dengan mengirim bala bantuan dipimpin oleh Sunan Ngudung, tetapi mengalami kekalahan bahkan Sunan Ngudung meninggal di tangan Raden Kusen adik Raden Patah yang memihak Ranawijaya hingga para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.

Hal ini diperkuat oleh prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi [28] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Ranawijaya dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Sebenarnya perang ini sudah mulai mereda ketika Patih Udara melakukan kudeta ke Girindrawardhana dan mengakui kekuasan Demak bahkan menikahi anak termuda Raden Patah, tetapi peperangan berkecamuk kembali ketika Prabu Udara meminta bantuan Portugis. Sehingga pada tahun 1518, Demak melakukan serangan ke Daha yang mengakhiri sejarah Majapahit[29] dan ke Malaka. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.

Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1518, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.[30] Demak di bawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.

Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.[28]

Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribu kota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Militer dan Persenjataan

Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.

Berdasarkan buku Sejarah Yuan, prajurit pada masa Majapahit awal didominasi oleh infanteri ringan. Pada saat serbuan Mongol ke Jawa, tentara Jawa dideskripsikan sebagai prajurit yang dimobilisasi sementara dari petani dan beberapa prajurit bangsawan. Para bangsawan berbaris di garis depan, dan pasukan belakang yang besar berformasi T terbalik. "Tentara petani" Jawa berpakaian setengah telanjang dan ditutupi dengan kain katun di bagian pinggangnya (sarung). Sebagian besar senjata adalah busur dan panah, tombak bambu, dan pedang pendek. Kaum aristokrat sangat dipengaruhi oleh budaya India, biasanya dipersenjatai dengan pedang dan tombak, dan berpakaian putih.[31]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/0f/Cet-bang_Majapahit.jpg/300px-Cet-bang_Majapahit.jpg

Meriam Cetbang Majapahit

Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak dan meriam kapal sederhana yang disebut Cetbang. Saat ini salah satu koleksi Cetbang Majapahit tersebut berada di The Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika.

Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar, cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut Penjajap (Portugis: Pangajaua atau Pangajava), dan juga Lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke 17, prajurit angkatan laut Nusantara bertempur di panggung yang biasa disebut Balai (lihat gambar kapal). Menurut Anthony Reid, jika ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot, meriam seperti ini pasti sangat efektif.[32]

Majapahit memiliki pasukan elit yang disebut Bhayangkara. Tugas utama pasukan ini adalah untuk melindung raja dan kaum bangsawan, namun mereka juga dapat diterjunkan ke pertempuran jika diperlukan. Hikayat Banjar mencatat peralatan Bhayangkara di istana Majapahit:

... dengan perhiasannya orang berbaju rantai empat puluh serta pedangnya berkopiah taranggos sachlat merah, orang membawa astengger [senapan kopak] empat puluh, orang membawa perisai serta pedangnya empat puluh, orang membawa dadap serta sodoknya sepuluh, orang membawa panah serta anaknya sepuluh, yang membawa tombak rampukan bersulam emas empat puluh, yang membawa tameng Bali bertulis air empat puluh.

— Hikayat Banjar. 6.3

Menurut catatan China, prajurit yang lebih kaya menggunakan baju pelindung yang disebut kawaca. Baju pelindung ini berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak. Walaupun begitu, prajurit yang lebih miskin pergi berperang dengan telanjang dada.[33] Majapahit juga mengawali penggunaan senjata api di Nusantara. Suatu catatan tentang penggunaan senjata api pada pertempuran melawan pasukan Giri pada tahun 1470-an berbunyi:

"... wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis ..." 
"... pasukan Majapahit menembaki (bedil=senjata api), sementara pasukan Giri berguguran karena mereka tidak kuat dihujani peluru (mimis=peluru bulat)..."

Serat Darmagandhul

Tidak diketahui secara pasti jenis senjata api apa yang digunakan dalam pertempuran ini. Kata "bedhil" dapat merujuk ke beberapa jenis senjata bubuk mesiu yang berbeda. Itu mungkin merujuk pada arquebus Jawa (Zua Wa Chong - 爪哇銃) yang dilaporkan oleh orang China. Arquebus ini memiliki kemiripan dengan arquebusVietnam pada abad ke-17. Senjata ini sangat panjang, dapat mencapai 2,2 m panjangnya, dan memiliki dudukan bipod yang dapat ditekuk.[34]

Catatan Tome Pires tahun 1515 menyebutkan pasukan tentara Gusti Pati, wakil raja Batara Brawijaya, berjumlah 200,000 orang, 2,000 diantaranya adalah prajurit berkuda dan 4,000 adalah musketeer.[35] Duarte Barbosa sekitar tahun 1510 mengatakan bahwa penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, dan senjata api lainnya. Setiap tempat disana dianggap sangat baik dalam mencetak artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.[36]

Untuk angkatan laut, armada Majapahit menggunakan djong/jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Pada puncaknya Majapahit memiliki 5 armada perang. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah total jong yang dimiliki Majapahit, tetapi jumlah terbesar yang pernah digunakan dalam satu ekspedisi adalah berjumlah 400 buah, tepatnya saat Majapahit menyerang Pasai.[37] Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70-180 meter, berat sekitar 500-800 ton dan dapat membawa 200-1000 orang. Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil.[38] Sebuah jong dari tahun 1420 memiliki daya muat 2000 ton dan hampir saja menyeberangi samudera Atlantik.[39]Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa menggunakan kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu.[40] Menurut Sejarah Melayu, jenis kapal lain yang digunakan Majapahit adalah malangbang, keluluslancaranpenjajap, jongkong, cecuruh, tongkang,dan pelang.[41][42] Penggambaran angkatan laut Majapahit di masa modern seringkali menggambarkan kapal-kapal bercadik, namun pada kenyataannya kapal ini berasal dari abad ke-8 yaitu kapal Borobudur, yang digunakan dinasti Sailendra.[38]

Kebudayaan

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fb/Bajang_Ratu_Gate_Trowulan.jpg/180px-Bajang_Ratu_Gate_Trowulan.jpg

Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[43]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama BuddhaSiwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya.[44] Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto. Beberapa elemen arsitektur berasal dari masa Majapahit, antara lain gerbang terbelah candi bentar, gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopoberdasar struktur bata. Gaya bangunan seperti ini masih dapat ditemukan dalam arsitektur Jawa dan Bali.

".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya."

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[45]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatra, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkihkemukuspala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan di sini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.

Kesusasteraan

Pada zaman Majapahit ditulis berbagai kakawin (puisi berbahasa Jawa Kuna), seperti Negarakertagama dan Pararaton, dan juga muncul berbagai cerita kembangan dari epos raya India (seperti Tantu PanggelaranGarudeya, dan Sudhamala) maupun cerita lokal yang populer hingga masa kini, seperti lingkaran cerita Panji, kisah Sri Tanjung, dan kisah Bhubuksah dan Gagangaking. Berbagai ukiran batu candi dari masa ini banyak menggambarkan fragmen cerita-cerita tersebut[46].

Ekonomi

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/04/Majapahit%2C_Piggy_Bank.jpg/220px-Majapahit%2C_Piggy_Bank.jpg

Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi TrowulanJawa Timur. (Koleksi Museum GajahJakarta)

Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.[20] Pajak dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[47] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[48]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandalaJawa).[43] Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuanpedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah ladagaramkain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiaraemasperaksutrabarang keramik, dan barang dari besiMata uangnya dibuat dari campuran peraktimah putihtimah hitam, dan tembaga.[49] Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.[50]

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[43]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari IndiaKhmerSiam, dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.[51]

Struktur pemerintahan

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.[52] Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.

Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

·         Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja

·         Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan

·         Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan

·         Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

Pembagian wilayah

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a3/Majapahit_Core_and_Provinces.svg/360px-Majapahit_Core_and_Provinces.svg.png

Kawasan inti Majapahit dan provinsinya (Mancanagara) di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk pulau Madura dan Bali.

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari,[17] terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre atau "Bhatara i". Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:

1.    Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja

2.    Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)

3.    Watek: dikelola oleh wiyasa,

4.    Kuwu: dikelola oleh lurah,

5.    Wanua: dikelola oleh thani,

6.    Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

No

Provinsi

Gelar

Penguasa

Hubungan dengan Raja

1

Kahuripan (atau Janggala, sekarang Sidoarjo)

Bhre Kahuripan

Tribhuwanatunggadewi

ibu suri

2

Daha (bekas ibu kota dari Kediri)

Bhre Daha

Rajadewi Maharajasa

bibi sekaligus ibu mertua

3

Tumapel (bekas ibu kota dari Singhasari)

Bhre Tumapel

Kertawardhana

ayah

4

Wengker (sekarang Ponorogo)

Bhre Wengker

Wijayarajasa

paman sekaligus ayah mertua

5

Matahun (sekarang Bojonegoro)

Bhre Matahun

Rajasawardhana

suami dari Putri Lasem, sepupu raja

6

Wirabhumi (Blambangan)

Bhre Wirabhumi

Bhre Wirabhumi1

anak

7

Paguhan

Bhre Paguhan

Singhawardhana

saudara laki-laki ipar

8

Kabalan

Bhre Kabalan

Kusumawardhani2

anak perempuan

9

Pawanuan

Bhre Pawanuan

Surawardhani

keponakan perempuan

10

Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah)

Bhre Lasem

Rajasaduhita Indudewi

sepupu

11

Pajang (sekarang Surakarta)

Bhre Pajang

Rajasaduhita Iswari

saudara perempuan

12

Mataram (sekarang Yogyakarta)

Bhre Mataram

Wikramawardhana2

keponakan laki - laki

Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/bf/Parvati_Majapahit_2.JPG/170px-Parvati_Majapahit_2.JPG

Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanattunggadewi, ratu Majapahit ibunda Hayam Wuruk.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[53] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

·         Kahuripan (no. 1)

·         Daha (no. 2)

·         Tumapel (no. 3)

·         Wengker (no. 4)

·         Matahun (no. 5)

·         Wirabumi (no. 6)

·         Kabalan (no. 8)

·         Kembang Jenar (no. 10)

·         Pajang (no. 11)

·         Jagaraga

·         Keling

·         Kelinggapura

·         Singhapura

·         Tanjungpura

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

·         Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibu kota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.

·         Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk persekutuan atau menikah dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup besar. Wilayah Mancanegara termasuk di dalamnya seluruh daerah Pulau Jawa lainnya, MaduraBali, dan juga DharmasrayaPagaruyungLampung dan Palembang di Sumatra.

·         Nusantara, adalah area yang tidak mencerminkan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup luas dan kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam ketuanan Majapahit atas wilayah itu akan menuai reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di MalukuKepulauan Nusa TenggaraSulawesiKalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori tersebut masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar negeri.

Hubungan diplomatik

Majapahit juga menempuh jalan diplomasi dalam menjalin persekutuan. Semboyan Mitreka Satata digunakan oleh Mahapatih Gajah Mada sebagai landasan dalam menjalankan politik luar negeri Majapahit yang bersifat kekerabatan, hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kutipan ini berasal dari Kakawin Nagarakretagama pupuh 15, bait 1[54]. Lengkapnya ialah:

Jawa Kuno

Alih bahasa

nahan / lwir ni? deçantara kacaya de çri narapati, tuhn / ta? synakayodyapura kimuta? darmmanagari, marutma mwa? ri? rajapura nuniweh sinhanagari, ri campa kambojanyat i yawana mitreka satata

Such is the aspect of the other countries, protected by the Illustrious Prince;

verily, to be sure: Syangkayodhyapura, together with Dharmanagari, Marutma and Rajapura, and Singhanagari too, Campa, Kamboja. Different is Yawana, that is a friend, regul

kuna? teka? nusa madura tatan ilwi? parapuri, ri denyan tungal / mwa? yawadarani rakwaikana danu, samudra(1) nangu?(2) bhumi(3) kta ça- (98b) ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh

Concerning now this island of Madura, this is not at all of the same aspect as the foreign kingdoms,

because of the fact that it has been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the past: "The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice; (nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other).

huwus rabda? dwipantara sumiwi ri çri narapati, padasthity awwat / pahudama wijil anken / pratimasa, sake kotsahan / sa? prabhu ri sakhahaywanyan iniwö, bhujanga mwa? mantrinutus umahalot / patti satata.

Already the other continents are getting ready to show obedience to the Illustrious Prince,

alike orderly they bring in all kinds of products every ordained season. As an instance of the honoured Prabhu's exertion for all the good that is taken care of by him, ecclesiastical officers and mandarins are sent to fetch the produce regularly.

Mitreka Satata yang secara harafiah berarti "persaudaraan yang satu dengan dasar persamaan derajat". Mitreka berasal dari kata mitra dan ika (mitra = sahabat; ika = itu) Satata berarti satu tata (sama derajat dan kekal). Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya di Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si Thammarat), MarutmaRajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan ChampaKamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam). Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.

Pola kesatuan politik khas sejarah Asia Tenggara purba seperti ini kemudian diidentifikasi oleh sejarahwan modern sebagai "mandala", yaitu kesatuan yang politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.[55] Daerah-daerah bawahan yang termasuk dalam lingkup mandala Majapahit, yaitu wilayah Mancanegara dan Nusantara, umumnya memiliki pemimpin asli penguasa daerah tersebut yang menikmati kebebasan internal cukup luas. Wilayah-wilayah bawahan ini meskipun sedikit-banyak dipengaruhi Majapahit, tetap menjalankan sistem pemerintahannya sendiri tanpa terintegrasi lebih lanjut oleh kekuasaan pusat di ibu kota Majapahit. Pola kekuasaan mandala ini juga ditemukan dalam kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Sriwijaya dan Angkor, serta mandala-mandala tetangga Majapahit yang sezaman; Ayutthaya dan Champa.

Raja-raja Majapahit

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/84/Rajasa-Dynasty_id.svg/320px-Rajasa-Dynasty_id.svg.png

Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam gambar ini.[56]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].

Nama Raja

Gelar

Tahun

Raden Wijaya

Kertarajasa Jayawardhana

1293 - 1309

Kalagamet

Sri Jayanagara

1309 - 1328

Sri Gitarja

Tribhuwana Wijayatunggadewi

1328 - 1350

Hayam Wuruk

Sri Rajasanagara

1350 - 1389

Wikramawardhana

1389 - 1429

Suhita

Dyah Ayu Kencana Wungu

1429 - 1447

Kertawijaya

Brawijaya I

1447 - 1451

Rajasawardhana

Brawijaya II

1451 - 1453

Purwawisesa atau Girishawardhana

Brawijaya III

1456 - 1466

Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa

Brawijaya IV

1466 - 1468

Bhre Kertabumi

Brawijaya V

1468 - 1478

Girindrawardhana

Brawijaya VI

1478 - 1498

Patih Udara

1498 - 1518

Warisan sejarah

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1f/Museum_f%C3%BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_033.jpg/220px-Museum_f%C3%BCr_Indische_Kunst_Dahlem_Berlin_Mai_2006_033.jpg

Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada abad-abad berikutnya.

Legitimasi politik[sunting | sunting sumber]

Kesultanan-kesultanan Islam DemakPajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibu kota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[44]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat ini.[20] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[57] Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[58] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Arsitektur

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/40/Pair_of_door_guardians_SF_Asian_Art_Museum.JPG/220px-Pair_of_door_guardians_SF_Asian_Art_Museum.JPG

Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur (Museum of Asian ArtSan Francisco)

Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai bangunan di ibu kota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini. Meskipun bata merah sudah digunakan jauh lebih awal, para arsitek Majapahitlah yang menyempurnakan teknik pembuatan struktur bangunan bata ini.

Beberapa elemen arsitektur kompleks bangunan di Jawa dan Bali diketahui berasal dari masa Majapahit. Misalnya gerbang terbelah candi bentar yang kini cenderung dikaitkan dengan arsitektur Bali, sesungguhnya merupakan pengaruh Majapahit, sebagaimana ditemukan pada Candi Wringin Lawang, salah satu candi bentar tertua di Indonesia. Demikian pula dengan gapura paduraksa (kori agung) beratap tinggi, dan pendopo berlandaskan struktur bata. Pengaruh citarasa estetika dan gaya bangunan Majapahit dapat dilihat pada kompleks Keraton Kasepuhan di CirebonMasjid Menara Kudus di Jawa Tengah, dan Pura Maospait di Bali. Tata letak kompleks bangunan berupa halaman-halaman berpagar bata yang dihubungkan dengan gerbang dan ditengahnya terdapat pendopo, merupakan warisan arsitektur Majapahit yang dapat ditemukan dalam tata letak beberapa kompleks keraton di Jawa serta kompleks puri (istana) dan pura di Bali.

Kesenian modern

Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.

Puisi lama

·         Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Hindu" ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.

Komik dan strip komik

·         Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai, mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang rekan Mahesa Rani.

·         Komik/Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.

·         Komik Majapahit karya R.A. Kosasih

·         Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang warga Majapahit bernama Panji Koming.

·         Komik "Dharmaputra Winehsuka", karya Alex Irzaqi, kisah Ra Kuti dan Ra Semi dalam latar peristiwa pemerontakan Nambi 1316 M.

Roman/novel sejarah

·         Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.

·         Pelangi Di langit Singasari (1968 - 1974), roman sejarah dengan setting zaman kerajaan Kediri dan Singasari, karya S. H. Mintardja.

·         Bara Di Atas Singgasana, roman sejarah dengan setting zaman kerajaan singasari dan Majapahit, karya S. H. Mintardja

·         Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.

·         Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.

·         Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.

·         Arus Balik (1995), sebuah epos pasca kejayaaan Nusantara pada awal abad 16, karya Pramoedya Ananta Toer.

·         Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.

·         Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya Langit Kresna Hariadi.

·         Jung Jawa (2009), sebuah antologi cerita pendek berlatar Nusantara, karya Rendra Fatrisna Kurniawan, diterbitkan Babel Publishing dengan ISBN 978-979-25-3953-0.

Film/sinetron

·         Tutur Tinular, suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara radio. Kisah ini berlatar belakang Kerajaan Singhasari pada pemerintahan Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.

·         Saur Sepuh, suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara radio yang populer pada kurun dasawarsa pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.

·         Walisanga, sinetron Ramadan tahun 2003 yang berlatar Majapahit pada masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak pada zaman Sultan Trenggana.

·         Puteri Gunung Ledang, sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film ini menceritakan kisah percintaan Gusti Putri Retno Dumilah, seorang putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang perwira Kesultanan Malaka.

·         Civilization V: Brave New World yang terbit pada Juli 2013, terdapat peradaban Indonesia dengan tokoh pemimpinnya Gajah Mada. Meskipun dinamakan peradaban 'Indonesia', namun perdaban ini menggunakan Surya Majapahit sebagai simbolnya. Peradaban ini memiliki bangunan unik yaitu Candi, yang memiliki ikon bergambar Candi bentar di Trowulan, Mojokerto.

·         Kemudian pada Civilization VI sebuah DLC memiliki salah satu pemimpin Majapahit, Dyah Gitarja sebagai pemimpin peradaban Indonesia dengan simbolnya berupa Surya Majapahit yang lebih sederhana. Unit unik untuk peradaban ini adalah jong, yang menggantikan frigate.

·         Age of Empires II: The Age of Kings ekspansi keempat Rise of Rajas yang terbit pada Desember 2016, menampilkan misi sebagai Gajah Mada, dari awal pendirian Majapahit mengusir tentara Mongolia dan Kediri (Kerajaan Singhasari), menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di kepulauan Nusantara setelah Sumpah Palapa hingga peristiwa Perang Bubat yang mengakhiri karier Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit. Bangunan Candi bentarGapura Bajang Ratu serta Candi Kalasan ditampilkan secara visual pada misi Gajah Mada.

Lihat pula

·         Kakawin Nagarakretagama

·         Pararaton

·         Kidung Sunda

·         Kerajaan Singhasari

·         Sejarah Nusantara

·         Gajah Mada

Referensi

1.  ^ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific Affairs38 (3/4): 353—359.

2.  ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 19

3.  ^ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. ResinkIndonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W. van Hoeve, 1968), hal. 21.

4.  ^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. pp.29. ISBN 0-300-10518-5.

5.  ^ a b c Ricklefs (1991), page 18

6.  ^ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography"The Journal of Asian Studies24 (1): 91–99.

7.  ^ Nagarakretagama Diakui sebagai Memori Dunia, kompas.com

8.  ^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3. Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55. Kesalahan pengutipan: Tanda<ref> tidak sah; nama "Ricklefs_55" didefinisikan berulang dengan isi berbeda

9.  ^ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1993, pages 18 and 311

10. ^ http://www.tempo.co/read/news/2010/07/01/061260022/Indonesia-Jepang-Buat-Kapal-Majapahit/ Tempo/

11. ^ http://sains.kompas.com/read/2012/12/05/19045066/Majapahit-Jajah-hingga-Semenanjung-Malaya. Kompas/

12. ^ http://www.kali-majapahit.com/

13. ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)". Diakses tanggal 16 Juni.

14. ^ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006

15. ^ a b Mulyana 2006, hlm. 122

16. ^ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.

17. ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)

18. ^ Komandoko 2009, hlm. 16

19. ^ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.

20. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56

21. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675.

22. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72.

23. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.

24. ^ Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 106. ISBN 981-3018-26-7.

25. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 63. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4

26. ^ Ricklefs (2005), hal. 57.

27. ^ Ricklefs, 37 and 100

28. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.

29. ^ Ricklefs, 36-37

30. ^ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java"American Ethnologist10 (1983): 665––683. doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. Diakses tanggal 2008-10-23.

31. ^ Song Lian. Sejarah Yuan.

32. ^ Reid, Anthony (2012). Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian PastISBN 978-981-4311-96-0

33. ^ Groeneveldt, W.P. (1877). Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources. Batavia: Transactions of the Batavian Society of Arts and Science.

34. ^ Tiaoyuan, Li (1969). South Vietnamese Notes. Guangju Book Office.

35. ^ Pires, Tome. Suma Oriental. The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.

36. ^ Barbosa, Duarte (1866). A Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century. The Hakluyt Society.

37. ^ Hikayat Raja-Raja Pasai, 3: 98: Sa-telah itu, mak disuroh baginda musta'idkan segala kelengkapan dan segala alat senjata peperangan akan mendatangi negeri Pasai itu, sa-kira-kira empat ratus jong yang besar-besar dan lain daripada itu banyak lagi daripada malangbang dan kelulus.

38. ^ a b Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 9786029346008.

39. ^ Text from Fra Mauro map, 10-A13, bahasa Italia asli: "Circa hi ani del Signor 1420 una naue ouer çoncho de india discorse per una trauersa per el mar de india a la uia de le isole de hi homeni e de le done de fuora dal cauo de diab e tra le isole uerde e le oscuritade a la uia de ponente e de garbin per 40 çornade, non trouando mai altro che aiere e aqua, e per suo arbitrio iscorse 2000 mia e declinata la fortuna i fece suo retorno in çorni 70 fina al sopradito cauo de diab. E acostandose la naue a le riue per suo bisogno, i marinari uedeno uno ouo de uno oselo nominato chrocho, el qual ouo era de la grandeça de una bota d'anfora." [1][pranala nonaktif permanen]

40. ^ Lombard, Denys (1990). The Javanese Crossroads. Essay of Global HistoryISBN 2713209498.

41. ^ Sejarah Melayu, 5.4: 47: Maka betara Majapahit pun menitahkan hulubalangnya berlengkap perahu akan menyerang Singapura itu, seratus buah jung; lain dari itu beberapa melangbing dan kelulus, jongkong, cecuruh, tongkang, tiada terhisabkan lagi banyaknya.

42. ^ Sejarah Melayu, 10.4: 77: ... maka baginda pun segera menyuruh berlengkap tiga ratus buah jung, lain dari pada itu kelulus, pelang, jongkong, tiada terbilang lagi.

43. ^ a b c Millet, Didier (August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.

44. ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (1997). Di dalam Didier Millet (editor):, ed. Java Style. Paris: Periplus Editions. hlm. 33–34. ISBN 962-593-232-1.

45. ^ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100". Persee. 1996. Diakses tanggal 2010-07-14.

46. ^ Munandar AA. 2004. KARYA SASTRA JAWA KUNO YANG DIABADIKAN PADA RELIEF CANDI-CANDI ABAD KE-13—15 M. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 2, AGUSTUS 2004: 54-60.

47. ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". 2008.

48. ^ Millet, Didier (Hardcover edition — August 2003). John Miksic, ed. Indonesian Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.

49. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.

50. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.

51. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.

52. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.

53. ^ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.

54. ^ "Materials for the Medieval History of Indonesia".

55. ^ Dellios, Rosita (2003-1-1). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs in traditional Southeast Asia" (dalam bahasa Inggris). Bond University Australia. Diakses tanggal 2011-12-11.

56. ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117. Teks "consulting editor: Mujiyono PH" akan diabaikan (bantuan); Teks "Printed in Singapore " akan diabaikan (bantuan)

57. ^ Ricklefs, hal. 363

58. ^ Friend, Theodore. Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and London: Belknap Press, Harvard University Press. hlm. p.19. ISBN 0-674-01137-6.

Daftar pustaka

·         Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 122. ISBN 978-979-2552-546.

·         Komandoko, Gamal (2009). Gajah Mada: menangkis ancaman pemberontakan Ra Kuti: kisah ketangguhan seorang patih Majapahit dalam menjaga keutuhan takhta sang raja(dalam bahasa Indonesia). Penerbit Narasi. hlm. 122. ISBN 978-979-164-145-2 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan).

Pranala luar

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Commons-logo.svg/30px-Commons-logo.svg.png

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Majapahit.

·         (Inggris) Memories of Majapahit - memuat sejarah dan keterangan situs-situs peninggalan Majapahit.

·         (Indonesia) Diskusi tentang Perseteruan Ming dan Majapahit

·         (Indonesia) Terjemahan Naskah Asli Kitab Negarakretagama Karya Mpu Prapanca - Dari situs www.sejarahnasional.org

 

MASA PERGERAKAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Perang Diponegoro

Perang Diponegoro

Nicolaas Pieneman - The Submission of Prince Dipo Negoro to General De Kock.jpg
Lukisan Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman

Tanggal

1825-1830

Lokasi

Jawa

Hasil

Pangeran Diponegoro dibuang ke Makassar;[1] pemberontakan berakhir

Pihak terlibat

Flag of the Netherlands.svg Belanda
Golongan Jawa yang pro-Belanda

Milisi Pro-Pangeran Diponegoro
Tentara Tionghoa

Tokoh dan pemimpin

Jendral De Kock

Pangeran Diponegoro

Kekuatan

50.000

100.000

Korban

Serdadu Eropa:
~8.000
Serdadu Jawa:
7.000
[2]

20,000 tewas dalam perang[3]

Milisi dan sipil:
200.000 korban jiwa 
[2][4][5][6]

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java WarBelandaDe Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau JawaHindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]

Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[8]

Latar belakang

Pemerintahan Daendels dan Raffles

Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.[8]

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali raja, sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali raja.[8]

Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert

Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.[8]

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya yang berada di Tegalrejo untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.[8]

Mulainya perang

Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.[8]

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.[8] Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.[8] Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Perang sabil

Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9] Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.[8]

Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.[8]

Jalan peperangan

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/92/Mataram_Baru_1830.png/220px-Mataram_Baru_1830.png

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/bb/Diepo_Negoro.jpg/220px-Diepo_Negoro.jpg

Diponegoro

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/df/Sentot%2C_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg/220px-Sentot%2C_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg

Alibasah Sentot

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantrikavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malariadisentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/11/Aankomst_van_Dipo_Negoro_te_Magelang.jpg/220px-Aankomst_van_Dipo_Negoro_te_Magelang.jpg

Pencarian Diponegoro di Magelang.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a5/Gevecht_bij_Ploentaran.jpg/220px-Gevecht_bij_Ploentaran.jpg

Pertempuran di Pluntaran.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Karena bagi sebagian orang Keraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir Perang

Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatra Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatra Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.[1]

Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu kebal sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadinya sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.[2]

Sinofobia

Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai sekutu oleh Raden Ronggo dalam pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal tersebut disebabkan mencuatnya sikap anti-tionghoa oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1.   Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton Yogyakarta akibat intervensi pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan etnis Tionghoa[11]

2.   Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.[8]

3.   Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).[8]

4.   Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.[8]

5.   Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.[8]

6.   Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.[8]

7.   Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya bahwa dirinya tergoda oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum perang Gawok (Oktober 1986) sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan tubuhnya (mendapat luka saat perang) dan mengalami kekalahan.[8]

8.   Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.[8]

Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.[8]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Commons-logo.svg/30px-Commons-logo.svg.png

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Java War.

 

Ikon portal

Portal Indonesia

Referensi

1.    ^ Toby Alice Volkman: Sulawesi: island crossroads of Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065page 73.

2.    ^ a b Jaap de Moor: Imperialism and War: Essays on Colonial Wars in Asia and Africa, BRILL, 1989, ISBN 9004088342page 52.

3.    ^ Clodfelter, Michael, Warfare and Armed Conflict: A Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1618-1991

4.    ^ Eric Oey: Java, Volume 3, Tuttle Publishing, 2000, ISBN 9625932445page 146

5.    ^ Renate Loose, Stefan Loose, Werner Mlyneck: Travel Handbuch Bali& Lombok, CQ Press, 2010, ISBN 0872894347page 61.

6.    ^ Dan La Botz: Made in Indonesia: Indonesian Workers Since Suharto, South End Press, 2001, ISBN 0896086429page 69.

7.    ^ Kompas, diakses 14 Mei 2007

8.    ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.

9.    ^ J. Kathirithamby-Wells (1998). "The Old and the New". Dalam Mackerras, Colin. Culture and Society in the Asia-Pacific. Routledge. hlm. 23.

10. ^ M.C. Ricklefs: A History of modern Indonesia since 1300, p. 117.

11. ^ Budi Susanto (editor). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-21-0851-3.

 

PERANG PADERI  ( PERLAWANAN IMAM BONJOL)

 

Perang Padri

Perang Padri

Perang Padri
Perang Padri

Tanggal

18031838

Lokasi

Sumatra BaratSumatra Utara dan Riau

Hasil

Kemenangan Belanda.

Pihak terlibat

Perang 18031821:
Flag of Minang.svg Kaum Adat
Perang 
18211833:
Flag of Minang.svg Kaum Adat
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/20/Flag_of_the_Netherlands.svg/23px-Flag_of_the_Netherlands.svg.png 
Belanda
Perang 
18331838:
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/20/Flag_of_the_Netherlands.svg/23px-Flag_of_the_Netherlands.svg.png 
Belanda


Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri

Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri


Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Kaum Padri
Flag of Minang.svg Kaum Adat

Tokoh dan pemimpin

Flag of Minang.svg Rajo Alam*
Flag of the Netherlands.svg Mayor Jendral Cochius
Flag of the Netherlands.svg Kolonel Stuers
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Raaff*
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Elout
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Krieger
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Bauer*
Flag of the Netherlands.svg Letnan Kolonel Michiels
Flag of the Netherlands.svg Mayor Laemlin*
Flag of the Netherlands.svg Mayor Prager
Flag of the Netherlands.svg Mayor du Bus*
Flag of the Netherlands.svg Kapten Poland
Flag of the Netherlands.svg Kapten Lange

Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Nan Renceh*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Pasaman*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Imam Bonjol
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Rao*
Flag of Afghanistan (1880–1901).svg Tuanku Tambusai

·         Meninggal dunia dalam rentang waktu peperangan

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudianpenyabungan ayampenggunaan madatminuman kerastembakausirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belandapada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Latar belakang

Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji MiskinHaji Sumanikdan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3]Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4]

Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagaridalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]

Keterlibatan Belanda

Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]

Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/5a/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Fort_van_der_Capellen_Sumatra%60s_Westkust_TMnr_60003554.jpg/220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Fort_van_der_Capellen_Sumatra%60s_Westkust_TMnr_60003554.jpg

Fort van der Capellen

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]

Gencatan senjata

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2]Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]

Tuanku Imam Bonjol

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/3e/Portret_van_Tuanku_Imam_Bonjol.jpg/170px-Portret_van_Tuanku_Imam_Bonjol.jpg

Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuerspada tahun 1820.

Artikel utama: Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16]

Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[5]

Peperangan jilid kedua

Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]

Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/df/Sentot%2C_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg/170px-Sentot%2C_opperbevelhebber_der_rebellen.jpg

Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.

Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]

Perlawanan bersama

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/93/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Adathoofden_van_de_Minangkabau_met_gevolg_TMnr_10026889.jpg/200px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Adathoofden_van_de_Minangkabau_met_gevolg_TMnr_10026889.jpg

Kaum Adat

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.

Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]

Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/30/Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg/220px-Luitenant-kolonel-Raaff-voo.jpg

Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de Veer. Raaff meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/8e/Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg/220px-Heldhaftig-gedrag-van-luite.jpg

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat SumatraMayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.

Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.

Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.

Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]

Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai frontterdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24]

Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.

Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitsermortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.

Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/20/Bondjol2.jpg/220px-Bondjol2.jpg

Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[25]

Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]

Pengepungan Bonjol

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e5/Aftocht_van_de_bezetting_van_Amerongen.jpg/220px-Aftocht_van_de_bezetting_van_Amerongen.jpg

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.

Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.

Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1a/Flankeur-Ligtvoet-op-een-ve.jpg/170px-Flankeur-Ligtvoet-op-een-ve.jpg

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/91/Cochius%2C_FD.jpg/170px-Cochius%2C_FD.jpg

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.

Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochiusuntuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.

Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda[30].

Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi[30]. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley[31], dan 2004[32] di Padang.[30]

Akhir peperangan

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/74/Padri_War_Monument.JPG/220px-Padri_War_Monument.JPG

Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[33] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.

Warisan sejarah

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[34] Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.

Referensi

1.    ^ Cuisinier, Jeanne (1959). "La Guerre des Padri (1803-1838-1845)". Archives de Sociologie des Religions. Centre National de la Recherche Scientifique.

2.    ^ a b Sejarah. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.

3.    ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.

4.    ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.

5.    ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.

6.    ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.

7.    ^ a b Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.

8.    ^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.

9.    ^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.

10. ^ H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1

11. ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.

12. ^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.

13. ^ Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).

14. ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0

15. ^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1

16. ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

17. ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.

18. ^ Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).

19. ^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XIIWaspada.

20. ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.

21. ^ Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).

22. ^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.

23. ^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.

24. ^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.

25. ^ a b Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.

26. ^ Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol.

27. ^ Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.

28. ^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.

29. ^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.

30. ^ a b c Hadler, Jeffrey (2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History"The Journal of Asian Studies(dalam bahasa Inggris). 67 (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228ISSN 1752-0401. Halaman 986-989, 1002

31. ^ IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.

32. ^ IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.

33. ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.

34. ^ Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.

 

 

PERANG PERLAWANAN KAPITEN PATTIMURA

Pattimura (Thomas Matulessy) lahir di Hariapulau SaparuaMaluku8 Juni 1783 – meninggal di AmbonMaluku16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram)". Ayahnya yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram.

Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.

Perjuangan

Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[1]

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongitochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan[2] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura[3] Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir raja-raja patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para raja patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di BaliSulawesi dan JawaPerang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior KesaulyaAnthoni RebookPhilip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede di Saparua, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jazirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

Referensi

1.    ^ Pahlawan Nasional dari Maluku dalam www.tokohindonesia.com

2.    ^ J B Soedarmanta, Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, halaman 199, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0

3.     ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Sejarah Maluku

 

PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari

Pangeran Antasari

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
Pangeran Antassarie
Gusti Inu Kartapati

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/c/c8/Pangeran_Antasari_Museum_Lambung_Mangkurat.JPG/220px-Pangeran_Antasari_Museum_Lambung_Mangkurat.JPG

Lukisan Pangeran Antasari menurut Perda Kalsel

Masa kekuasaan

14 Maret 1862 - 11 Oktober 1862

Pendahulu

Sultan Hidayatullah Khalilullah

Pengganti

Sultan Muhammad Seman

Pasangan

1. Ratu Antasari (Ratoe Idjah) binti Sultan Adam
2. Nyai Fatimah (adik 
Tumenggung Surapati)

Anak

1. ♂ Panembahan Muhammad Said (anak dengan Ratu Antasari)

2. ♂ Sultan Muhammad Seman(anak dengan Nyai Fatimah)
3. ♀ Putri Kaidah (ibu Gusti Mat Napis)

4. ♀ Puteri Hasiah (diperisteri Pangeran Wira Kasuma

Wangsa

Dinasti Banjarmasin

Ayah

Pangeran Masud bin Pangeran Amir

Ibu

Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar1797[1][2] atau 1809[3][4][5][6] – meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun AtasKapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[8]

Daftar isi

·         1Gusti Inu Kartapati

·         2Pewaris Kerajaan Banjar

·         3Perlawanan terhadap Belanda

·         4Meninggal dunia

·         5Bagan Silsilah

·         6Referensi

·         7Pranala luar

Gusti Inu Kartapati[sunting | sunting sumber]

Pangeran Antasari merupakan cucu Pangeran Amir.[9] Semasa muda nama Pangeran Antasari adalah Gusti Inu Kartapati.[10] Ibunda Pangeran Antasari adalah Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II[11][12][13]Pangeran Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri.[14] Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang lebih dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman karena menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih bayi.

Pewaris Kerajaan Banjar[sunting | sunting sumber]

Dia cucu Pangeran Amir yang gagal naik tahta pada tahun 1785.[15][16] Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[17] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!

Seluruh rakyat, para panglima Dayak, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[2]

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perlawanan terhadap Belanda[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/43/1._ZM_Stoomschip_Celebes_in_gevecht_met_een_Kota_Mara_6_aug_1859_Poeloe_Kananat_opgenomen.jpg/300px-1._ZM_Stoomschip_Celebes_in_gevecht_met_een_Kota_Mara_6_aug_1859_Poeloe_Kananat_opgenomen.jpg

Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengarontanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[18]

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendiriannya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...

Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.[19] Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:[20]

1.   Antasari dengan anak-anaknya

2.   Demang Lehman

3.   Amin Oellah

4.   Soero Patty dengan anak-anaknya

5.   Kiai Djaya Lalana

6.   Goesti Kassan dengan anak-anaknya

Monumen Perang Banjar yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengenang tentaranya yang tewas.

Meninggal dunia[sunting | sunting sumber]

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.[21] Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.[22]

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968.[23] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000

Bagan Silsilah[sunting | sunting sumber]

KESULTANAN BANJAR

Sultan Tahmidullah 
Sultan Tahmid Ollah 
Sultan Tahmid Allah 
Panembahan Tingie 
Panembahan Kuning 
[24]

↓ (berputra)

Pangeran Dipati Sena

Sultan Ilhamid Illah (Chamidullah/Hamidullah)

Sultan Kuning (Kemuning)[25]

↓ (berputra)

Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anum

Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah

Sultan Muhamadiya Uddin Amin Ullah

SULTAN Muhamadiya Uddin Amin Ulatie

Sultan Tamjidillah II[26]

Sultan Tahmidillah 1[27]

↓ berputra

Pangeran Amir (Sultan Amir)

↓ berputra

Pangeran Mas'ud (Masoöd/Masohut)

↓ berputra

Gusti Inu Kartapati

Pangeran Antasari

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin

↓ berputra

SULTAN BANJAR

·         ♂ Panembahan Muhammad Said

↓ (berputra)

1.    ♂ Pangeran Perbatasari (suami Goesti Dijah)

2.    ♂ Pangeran Prabu Anom / Gusti Abdullah

3.    ♂ Gusti Muhammad Arsyad (suami Ratu Zaleha)

SULTAN BANJAR

·        ♂ Sultan Muhammad Seman

↓ (berputra)

1.    ♂ Pangeran Banjarmas (anak Nyai Banun)

2.    ♀ Goesti Dijah (anak Nyai Banun; isteri Pg. Perbatasari)

3.    ♀ Ratu Zaleha (isteri Pg. M. Arsyad)

4.    ♂ Gusti Berakit/Berkek (anak Nyai Mariamah)

Referensi[sunting | sunting sumber]

·         Perang Sabil Versus Perang Salib, Oleh Abdul Qodir Jaelani. Penerbit Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawarah 1420 H/ 1999 M.

·         Van Rees WA. 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Arnhem: Thieme.

·         M. Gazali Usman, Kerajaan BanjarSejarah Perkembangan PolitikEkonomiPerdagangan dan Agama IslamBanjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.

·         R. L. de Haes, Eenige opmerkingen over het werk getiteld: de Bandjermasinsche Krijg van 1859 tot 1863, D. Noothoven Van Goor, 1866

1.    ^ (Indonesia) Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Galangpress Group. ISBN 6028620106.ISBN 978-602-8620-10-9

2.    ^ a b (Indonesia) Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, Kawan Pustaka, 2004, ISBN 979-3034-70-X, 9789793034706

3.    ^ (Indonesia) Wahana Ips Iimu Pengetahuan Sosial. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 9797467139.ISBN 978-979-746-713-5

4.    ^ (Indonesia) Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia. Grasindo. hlm. 159. ISBN 9797597164.ISBN 978-979-759-716-0

5.    ^ Helius Sjamsuddin; Antasari, Balai Pustaka, 1982

6.    ^ (Indonesia) Iskandar, Salman. 99 Tokoh Muslim Indonesia. PT Mizan Publika. ISBN 9797526828.ISBN 978-979-752-682-5

7.    ^ Regnal Chronologies Southeast Asia: the Islands

8.    ^ (Indonesia) Basuni, Ahmad (1986). Pangeran Antasari: pahlawan kemerdekaan nasional dari Kalimantan. Bina Ilmu. hlm. 57.

9.    ^ (Belanda) Bruining & Wijt (1872). Militair tijdschrift3. hlm. 554.

10. ^ (Indonesia) Artha, Artum (1971). Pangeran Antasari Gusti Inu Kartapati.

11. ^ (Indonesia) Sudrajat, A Suryana (2006). Tapak-tapak pejuang: dari reformis ke revisionis (Seri khazanah kearifan). Erlangga. hlm. 19. ISBN 9797816109.ISBN 978-979-781-610-0

12. ^ (Indonesia) Komandoko, Gamal (2006). Kisah 124 pahlawan & pejuang Nusantara. Pustaka Widyatama. hlm. 54. ISBN 9796610906.ISBN 978-979-661-090-7

13. ^ (Belanda) (1899)De Indische gids21 (edisi ke-1). hlm. 277.

14. ^ (Belanda) Rutte, J. M. C. E. Le (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 20.

15. ^ (Indonesia) A. Suryana Sudrajat (2006). Tapak-tapak pejuang: dari reformis ke revisionis. Indonesia: Erlangga. hlm. 19. ISBN 9789797816100. ISBN 9797816109

16. ^ (Belanda) Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1864). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde14. Indonesia: Lange. hlm. 384.

17. ^ (Indonesia) SEJARAH Untuk SMP dan MTs Penerbit Grasindo ISBN 979-025-198-X, 9789790251984

18. ^ (Indonesia) Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. ISBN 9790241151.ISBN 978-979-024-115-2

19. ^ (Indonesia) Saleh, Mohamad Idwar (1993). Pangeran Antasari. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

20. ^ (Belanda) de Heere, G. A. N. Scheltema (1863). Staatsblad van Nederlandisch Indië. Ter Drukkerij van A. D. Schinkel. hlm. 118.

21. ^ (Indonesia) 100 Pahlawan Nusantara: Mengenal Dan Meneladani Para Pahlawan Melalui Kisah Perjuangan Mereka Dalam Mewujudkan Dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. AgroMedia. hlm. 6. ISBN 6028526347.ISBN 978-602-8526-34-0

22. ^ (Indonesia) IPS : - Jilid 5. ESIS. hlm. 70. ISBN 9797346013.ISBN 978-979-734-601-0

23. ^ (Indonesia) Pahlawan Indonesia. Niaga Swadaya. hlm. 12. ISBN 979-1481-60-1.ISBN 978-979-1481-60-1

24. ^ (Indonesia) M. Idwar Saleh (1993). Pangeran Antasari. Indonesia: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 75.

25. ^ (Belanda) Willem Adriaan van Rees (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-18631. D. A. Thieme. hlm. 7.

26. ^ Templat:Idnl Departemen Penerangan Indonesia (1959). Republik Indonesia7. Indonesia: Kementerian Penerangan. hlm. 365.

27. ^ Templat:Idnl Tamar Djaja (1966). Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air2. Indonesia: Bulan Bintang.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

·         http://en.rodovid.org/wk/Person:157411 Silsilah Pangeran Antasari

·         (Indonesia) http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/keturunan-pangeran-antasari-berdoa-di-makam-leluhur.html

·         (Indonesia) Pangeran Antasari

·         (Indonesia) Perang Banjar (1859-1905) 2

·         (Indonesia) SEMANGAT, PERJUANGAN, DAN KETOKOHAN P. ANTASARI DALAM DE BANDJERMASINCHE KRIJG

·         (Inggris) Silsilah Antasari

·         (Indonesia) Perang Banjar

·         (Indonesia) memuat tentang Pangeran Perbatasari

·         (Indonesia) Asrama Kalsel Pangeran Antasari

·         (Indonesia) Sekilas mengenai Pangeran Antasari\

·         (Indonesia) Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?

 

 

 

PERLAWANAN SULTAN HASANUDDIN

 

Sultan Hasanuddin

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/78/Stamps_of_Indonesia%2C_053-06.jpg/220px-Stamps_of_Indonesia%2C_053-06.jpg

Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai salah satu perangko

Sultan Hasanuddin (lahir di GowaSulawesi Selatan12 Januari 1631 – meninggal di GowaSulawesi Selatan12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-Makassari. Setelah menaiki Tahta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan di KatangkaKabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]

Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa mulai tahun 1653 sampai 1669. Kerajaan Gowa adalah merupakan kerajaan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.

Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri menjual dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, selain itu Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkeh di beberapa tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab yang demikian adalah bertentangan dengan kehendak Allah katanya. Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada Kompeni "marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk dengan serba kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang Sultan Hasanuddin memandang bahwa cara yang demikian itu adalah kelaliman.

Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Tahun 1667, VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelmanbeserta sekutunya kembali menyerang Makassar. Pertempuran berlangsung dimana-mana, hingga pada akhirnya Kerajaan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 di BungayaGowa yang merasa dirugikan, mengadakan perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada Tahun 1669. Kompeni berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669. Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

 

Referensi[sunting | sunting sumber]

1.    ^ Peranginangin, Marlon dkk; Buku Pintar Pahlawan NasionalBanten: Scientific Press, 2007.

 

 

 

 

 

PERANG PERLAWANAN TEUKU UMAR

 

Teuku Umar (Meulaboh1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan asal Aceh yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda & terkenal akan strategi perang gerilyanya. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.

Daftar isi

·         1Masa Muda

·         2Perang Aceh

·         3Taktik Penyerahan Diri

·         4Insiden Kapal Nicero

·         5Melanjutkan Perlawanan

·         6Penyerahan Diri Kembali

·         7Gugur

·         8Penghargaan

·         9Galeri

·         10Referensi

·         11Bacaan lanjutan

Masa Muda[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/6a/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Groepsportret_met_Teuku_Umar_en_gevolg_TMnr_10001809.jpg/220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Groepsportret_met_Teuku_Umar_en_gevolg_TMnr_10001809.jpg

sebuah foto Teuku Umar bersama pengikutnya.

Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki.

Nenek moyang Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[1]. Salah seorang keturunan Datuk Makhudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, orang itu diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh mempunyai dua orang putra yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Teuku Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim. la mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien[2].

Teuku Umar dari kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.

Perang Aceh[sunting | sunting sumber]

Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.[2]

Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.

Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.

Taktik Penyerahan Diri[sunting | sunting sumber]

Rumah Teuku Umar di Lampisang, Peukan Bada, Aceh Besar tahun 1896.

Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer[3].

Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut]) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.

Insiden Kapal Nicero[sunting | sunting sumber]

Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.

Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun ia sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya.[3]

Melanjutkan Perlawanan[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c6/Toekoe_Oemar_en_zijn_volgelingen.jpg/220px-Toekoe_Oemar_en_zijn_volgelingen.jpg

Teuku Umar dan pengikutnya (gambar oleh G. Kepper, 1900).

Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di LampisangAceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.

2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal "Hok Canton" yang dinahkodai pelaut Denmarkbernama Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu, dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.

Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung.
Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar sudah siap, dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya gagal.
[3]

Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Belanda sebenarnya pun sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar dan lama.

Penyerahan Diri Kembali[sunting | sunting sumber]

Penyerangan rumah Teuku Umar di Lampisang tahun 1896.

Teuku Umar sendiri merasa perang ini sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun mengubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali kepada Belanda.

September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Umar suka menghindar apabila terjadi percekcokan.[3]

Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap panggilan dari Gubernur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang memuaskan, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.

Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat (misalnya Teuku Mat Amin). Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/75/Jeurat_Teuku_Umar.JPG/250px-Jeurat_Teuku_Umar.JPG

Makam Teuku Umar di Mugo RayekPanton ReuAceh Barat.

Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadiri para pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien pun sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.[3]

Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. maka pada tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.

Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando.

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.

Gugur[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/74/Gedenknaald_Meulaboh.jpg/220px-Gedenknaald_Meulaboh.jpg

Monumen Teuku Umar di Meulaboh.

Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.

Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.[3]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan penjajah Belanda, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air. Salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Selain itu Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya.

Galeri[sunting | sunting sumber]

·         Gelang Akarbahar milik Teuku Umar (koleksi Tropen Museum)

 

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/58/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Laken_staatsiejas_toebehoord_aan_Teuku_Umar_Djohan_TMnr_674-722.jpg/96px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Laken_staatsiejas_toebehoord_aan_Teuku_Umar_Djohan_TMnr_674-722.jpg

Jas Teuku Umar (koleksi Tropen Museum)

 

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/16/Pl%C3%B4k_Daweu%C3%ABt_Teuku_Uma.jpg/120px-Pl%C3%B4k_Daweu%C3%ABt_Teuku_Uma.jpg

Tempat tinta milik Teuku Umar

Referensi[sunting | sunting sumber]

1.    ^ Riwajat hidup (singkat) beberapa orang pahlawan Atjeh, zaman pra-kemerdekaan

2.    ^ a b http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02014.pdf

3.    ^ a b c d e f "T. Umar.pdf" (PDF). Pemerintah Provinsi Aceh.

 

CIK DIKTIRO

 

Teungku Chik di Tiro

Muhammad Saman Tiro

Cik Di Tiro.jpg

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman

Lahir

1 Januari 1836
Bendera Kesultanan Aceh TiroPidieAceh Darussalam

Meninggal

31 Januari 1891 (umur 55)
Bendera Kesultanan Aceh Aneuk Galong, Aceh BesarAceh Darussalam

Dikenal atas

Pahlawan Kemerdekaan Aceh

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Tiro, Pidie1 Januari 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar31 Januari 1891) adalah seorang pahlawan nasional dari Pedir.

Daftar isi

·         1Riwayat

·         2Memimpin perjuangan

·         3Lain-lain

·         4Lihat pula

·         5Referensi

·         6Pranala luar

Riwayat[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/57/Jeurat_Teungku_Chik_di_Tiro.JPG/220px-Jeurat_Teungku_Chik_di_Tiro.JPG

Gerbang masuk makam Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman.

Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada 1 Januari1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.

Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Memimpin perjuangan[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/31/Jeurat_Teungku_Chik_di_Tiro_Muhammad_Saman.JPG/220px-Jeurat_Teungku_Chik_di_Tiro_Muhammad_Saman.JPG

Kubur Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman

Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.

Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[1] Selama ia memimpin peperangan terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu:

·         Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)

·         Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)

·         Henry Demmeni (1884-1886)

·         Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)

Belanda akhirnya memakai siasat lain dengan cara meracunnya. Muhammad Saman akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 di benteng Aneuk Galong.

Lain-lain[sunting | sunting sumber]

Salah satu cucunya adalah Hasan di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.[2]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

·         Tiro

·         Teungku

·         Hasan Muhammad di Tiro

·         Wali Negara Aceh

Referensi[sunting | sunting sumber]

1.    ^ Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891)

2.    ^ KyodoIndonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal, 2 Januari 2006

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

·         Yakub, Ismail. 1960. Tengku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): pahlawan besar dalam Perang Atjeh (1881-1891). Jakarta: Bulan Bintang

·         Ishak, Jauhari. 1984. Pahlawan-pahlawan nasional dari Aceh: Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teungku Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Teuku Nyak Arif. Jakarta: Meudanghara Putra

·         (Indonesia) "Panglima Perang Aceh" Bio Teungku Cik Di Tiro di Ensiklopedi Tokoh Indonesia

 

 

CUT NYAKDIN

Cut Nyak Dhien

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Untuk film Indonesia tahun 1988, lihat Tjoet Nja' Dhien (film).

Cut Nyak Dhien

Tjoet Nya' Dhien.jpg

Cut Nyak Dhien

Lahir

1848
Bendera Kesultanan Aceh LampadangKesultanan Aceh

Meninggal

6 November 1908 (berusia 59–60)
Bendera Belanda SumedangHindia Belanda

Dikenal atas

Pahlawan Nasional Indonesia

Suami/istri

Ibrahim LamngaTeuku Umar

Anak

Cut Gambang

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' DhienLampadangKerajaan Aceh1848 – SumedangJawa Barat6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang[1]. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encokdan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.

Daftar isi

·         1Kehidupan Awal

·         2Perlawanan saat Perang Aceh

·         3Masa Tua dan Kematian

·         4Makam

·         5Apresiasi

o    5.1Biografi dalam Seni

o    5.2Pengabadian

·         6Lihat pula

·         7Referensi

o    7.1Catatan kaki

o    7.2Daftar pustaka

·         8Pranala luar

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/49/Rumoh_Cut_Nyak_Dhi%C3%ABn.jpg/250px-Rumoh_Cut_Nyak_Dhi%C3%ABn.jpg

Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Satiperantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[4]. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[2] Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh[sunting | sunting sumber]

Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1873.

Pada tanggal 26 Maret 1873Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van AntwerpenPerang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]

Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[1]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/68/Teuku_Umar.jpg/200px-Teuku_Umar.jpg

Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]

Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]

Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid[1]

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[6][7] Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]

Masa Tua dan Kematian[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/bb/Stamps_of_Indonesia%2C_102-08.jpg/220px-Stamps_of_Indonesia%2C_102-08.jpg

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[7] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]

Makam[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/6/64/Stamps_of_Indonesia%2C_103-08.jpg/220px-Stamps_of_Indonesia%2C_103-08.jpg

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[7] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[7] Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[7]

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa ArabSurah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[7]

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[7]

Apresiasi[sunting | sunting sumber]

Biografi dalam Seni[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/e/ed/Tjoet_Nja%27_Dhien.jpg

Poster Film Tjoet Nja' Dhien

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarotdan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).

Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.

Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.

Pengabadian[sunting | sunting sumber]

·         Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.

·         Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.

·         Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.

·         Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

·         Perang Aceh

·         Teuku Umar

·         Tokoh Indonesia

·         Tjoet Nja' Dhien (film)

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

1.    ^ a b c d e f g h i j k l m "Tjoet Njak Dien (Cut Nyak Dhien)".

2.    ^ a b c d e f g h i j Armand, Deddi. Cut Nyak Dien. Penerbit: Pustaka Ananda

3.    ^ a b c Tentang Cut Nyak Dien di tokohindonesia.com

4.    ^ Riwajat hidup (singkat) beberapa orang pahlawan Atjeh, zaman pra-kemerdekaan

5.    ^ a b Tentang Cut Nyak Dhien di situs resmi pemerintah Provinsi Aceh

6.    ^ Sudarmanto, Y.B. 1999. Jejak Pahlawan Indonesia. Penerbitan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907: 12).

7.     ^ a b c d e f g sinarharapan.co.id: Makam Cut Nyak Dhien Sepi Akibat Perang Saudara

 

 

DEWI SARTIKA

Dewi Sartika

Dewi Sartika 

Raden Dewi Sartika.jpg

Lahir

4 Desember 1884
Cicalengka, BandungJawa Barat

Meninggal

11 September 1947 (umur 62)
Cineam, TasikmalayaJawa Barat

Kebangsaan

Bendera Indonesia Indonesia

Dikenal atas

Pahlawan Nasional; Perintis pendidikan wanita

Suami/istri

Raden Kanduruhan Agah Suriawinata

Raden Dewi Sartika (Sundaᮛ᮪ᮓ᮪. ᮓᮦᮝᮤ ᮞᮁᮒᮤᮊ, Latin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung4 Desember1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Daftar isi

·         1Biografi

·         2Peninggalan

·         3Penghargaan

·         4Kehidupan pribadi

·         5Referensi

·         6Bibliografi

Biografi[sunting | sunting sumber]

Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya.[1][3] Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[3]

Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]

Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa perang kemerdekaan.[4][7]

Peninggalan[sunting | sunting sumber]

Nama Dewi Sartika digunakan sebagai nama jalan di mana sekolahnya berada.[1]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.[4][7] Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.[6][7]

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

1.    ^ a b c Aning S. 2005, hlm. 65

2.    ^ Agustina 2009, hlm. 41

3.    ^ a b Sudarmanto 2007, hlm. 154

4.    ^ a b c d e f Agustina 2009, hlm. 42

5.    ^ Aning S. 2005, hlm. 65–66

6.    ^ a b "Dewi Pendidikan dari Cicalengka"tokohindonesia.com. Diakses tanggal 6 Januari 2011.

7.    ^ a b c Aning S. 2005, hlm. 66

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Commons-logo.svg/30px-Commons-logo.svg.png

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Dewi Sartika.

·         Agustina, Fenita (2009). 100 Great Women: Suara Perempuan yang Menginspirasi Dunia. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-8620-28-4.

·         Aning S., Floriberta (2005). 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-756-475-9.

·         Sudarmanto, J.B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-759-716-0.

IBU KITA KARTINI

Biografi RA Kartini

RA Kartini

RA Kartini – Siapa yang tidak kenal Biografi RA Kartini, salah satu pahlawan wanita Indonesia yang rela berjuang demi rakyat saat masa penjajahan. Beliau dikenang sebagai wanita terdidik yang memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia. Biografi RA Kartini sendiri sangatlah patut untuk dikenang. Mulai dari beliau kecil hingga wafat.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang lebih dikenal dengan nama RA Kartini memiliki harapan atas kesamaan gender pada waktu itu. Karena dahulu, wanita tidak dihargai sehingga tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Dimana wanita hanya ditugaskan untuk mengurus suami, anak dan memasak di rumah.

Dengan kegigihannya, RA Kartini berjuang agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria. Untuk mengenang jasa beliau, berikut biografi RA Kartini yang dapat kita teladani.


DAFTAR ISI ARTIKEL

·         Kelahiran RA Kartini

·         Keluarga RA Kartini

·         Kehidupan RA Kartini

·         Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini

·         Yayasan Kartini Dan Penghargaan Untuk RA Kartini

·         5 Teladan Dari RA Kartini

·         1. Sederhana

·         2. Berani Dan Optimis

·         3. Mandiri / Independen

·         4. Cerdas Dan Berwawasan Luas

·         5. Inspiratif

Kelahiran RA Kartini

Biografi RA Kartini tentunya dimulai dari kelahiran beliau. RA Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara. Dimana hari lahir inilah yang diperingati oleh masyarakat Indonesia sebagai hari Kartini. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati jasa beliau karena dengan gigih melindungi rakyat Indonesia.

Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan Jawa. Sehingga beliau mendapat gelar RA yang artinya Raden Ajeng. Kemudian setelah menikah, gelar berubah menjadi Raden Ayu.


Keluarga RA Kartini

Biografi RA Kartini selanjutnya membahas keluarga beliau. Kartini merupakan putri pertama dari istri pertama Raden Adipati Ario Sosroningrat. Ayahnya merupakan putra Pangeran Arion Tjondronegoro IV. Sedangkan ibunya bukanlah istri utama dari sang Ayah meskipun posisinya sebagai istri pertama.

Ibunya bernama MA Ngasirah yang merupakan anak dari seorang Kiyai di Telukawur, Surabaya. MA Ngasirah bukanlah seorang putri keturunan bangsawan. Sedangkan pada masa kolonial Belanda, terdapat peraturan bahwa seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan.

Akhirnya ayah Kartini menikahi Raden Adjeng Woerjan yang merupakan bangsawan dari Raja Madura. Setelah pernikahannya inilah, kemudian ayah Kartini diangkat menjadi bupati Jepara tepat setelah Kartini dilahirkan.

 


Kehidupan RA Kartini

Kakek Kartini merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini sendiri merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. Sedangkan dari saudara sekandungnya, Kartini merupakan putri tertua.

Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun. Beliau belajar bahasa Belanda.

Akan tetapi, di umur 15 tahun beliau harus tinggal di rumah karena sudah dapat dipingit. Dengan kepandaiannya dalam berbahasa Belanda, beliau mulai belajar menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon.

Dimulai dari belajar menulis dan sharing dengan teman-teman Belanda inilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa. Beliau mempelajari hal ini melalui surat kabar, majalah hingga buku-buku. Kemudian beliau mulai berusaha untuk memajukan perempuan Indonesia yang masih memiliki status sosial rendah saat itu.

Banyak buku dan majalah dari kebudayaan Eropa yang dia baca. Bahkan di usia 20 tahun, beliau sudah membaca karya-karya yang berbahasa Belanda. Sehingga beliau punya pengetahuan yang luas tentang ilmu pengetahuan serta kebudayaan.

Selanjutnya, Kartini mulai memperhatikan masalah emansipasi wanita dengan membandingkan wanita Eropa dengan wanita Indonesia. Dan baginya seorang wanita harus memperoleh persamaan, kebebasan dan otonomi serta kesetaraan hukum.


Pernikahan Hingga Wafatnya RA Kartini

Di usia 24 tahun, tepatnya 12 November 1903, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Suami Kartini ini telah memiliki tiga orang istri.

Suami Kartini memberikan pengertian mengenai keinginan Kartini. Bahkan beliau membebaskan serta mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang perkantoran Rembang. Yang kini menjadi gedung pramuka.

Dari pernikahannya ini, RA Kartini dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Namun empat hari setelah melahirkan, yaitu usia 25 tahun, Kartini meninggal. Beliau dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.


Yayasan Kartini Dan Penghargaan Untuk RA Kartini

Pada tahun 1912, Yayasan Kartini di Semarang mendirikan sekolah wanita. Yang kemudian disusul di Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Sekolah yang diberi nama Sekolah Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,tokoh Politik Etis.

Setelah Kartini wafat, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia-Belanda yaitu Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Setelah dikumpulkan, surat-surat ini kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dengan terbitnya surat – surat Kartini ini menarik perhatian masyarakat Belanda. Pemikiran Kartini merubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan Jawa. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi inspirasi bagi tokoh kebangkitan nasional Indonesia. hingga dibuatkannya lagu Ibu Kita Kartini oleh W.R Soepratman.

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Juga menetapkan tanggal 21 April menjadi Hari Kartini.


5 Teladan Dari RA Kartini

RA Kartini merupakan pahlawan wanita yang berani. Apalagi dalam memberdayakan perempuan. Biografi RA Kartini sangat baik, terutama sifat-sifat beliau. Berikut 5 teladan RA Kartini yang patut untuk ditiru :

1. Sederhana

Raden Mas Adipati Sosroningrat selaku ayah RA Kartini merupakan bupati Jepara saat itu. Meskipun berasal dari kalangan bangsawan, namun RA Kartini tidak berpangku tangan dan diam saja di rumah. Beliau bergaul dan berteman dengan siapapun, sehingga beliau dikenal sebagai perempuan yang merakyat.

RA Kartini juga sangat menolak keras perilaku para bangsawan lain, yang mana mereka menggunakan derajat dan status untuk menindas kaum di bawahnya. Hal inilah yang membuat beliau sangat disenangi oleh rakyat.

RA Kartini memiliki sifat kesederhanan yang patut diacungi jempol. Beliau tidak pernah berfoya-foya maupun bermewah-mewahan. Bahkan ketika menikah, beliau tidak mengenakan baju mewah pernikahan dan tidak menggelar pesta.

2. Berani Dan Optimis

Pada zaman dahulu, RA Kartini pernah ditentang oleh masyarakat sekitar karena memiliki pandangan yang berbeda mengenai perempuan. Kartini menganggap bahwa perempuan harus keluar rumah, belajar dan mengejar cita – cita. Bukan hanya berada di dalam rumah sehingga menutup kesempatan bagi perempuan untuk melihat dunia. Atau yang disebut dengan budaya pingit.

Hal itu membuat beliau berani membuka sebuah tempat belajar khusus untuk mendidik perempuan dan anak-anak. Tidak hanya itu, beliau sangat optimis bahwa tindakannya akan memberikan dampak yang besar di masa depan

Dan terbukti hingga kini, bahwa beliau masih selalu dikenang dengan karya-karya terbaik yang pernah diberikan untuk Indonesia khususnya perempuan Indonesia.

3. Mandiri / Independen

Teladan RA Kartini yang bisa kita tiru adalah sifat mandiri beliau. Beliau dapat mencari cara agar beliau bisa berpengaruh bagi sekitarnya. Padahal saat itu beliau masih dalam keadaan dipingit.

Meskipun tidak disekolahkan tinggi-tinggi, beliau tetap belajar dengan caranya sendiri. Yaitu dengan menulis surat kepada para sahabat penanya. Serta belajar pengalaman dari para sahabatnya. Alhasil, beliau dapat membangun sekolah Perempuan Pertama di Jawa.

4. Cerdas Dan Berwawasan Luas

Sejak berkirim surat dengan sahabat penanya yang berada di luar negeri, wawasannya menjadi terbuka. Beliau semakin berfikir bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki – laki. Baik dalam hal pendidikan, bekerja hingga berpendapat.

Tidak hanya belajar melalui teman penanya, beliau juga belajar dari semua hal yang dialaminya. Kemudian dengan jiwa pendidik nya itu lah beliau mengajarkan kepada anak-anak didiknya. Mulai dari baca tulis, memasak, melukis, menjahit dan masih banyak lagi. Semua beliau tularkan kepada anak-anak dan perempuan Indonesia.

5. Inspiratif

Semua yang dilakukan oleh RA Kartini menunjukkan keihklasan dan kesungguhan. Siapa yang akan menyangka jika tindakan yang dilakukannya di masa lalu akan dapat menginspirasi kita hingga kini.

Beliau menularkan pandangan baru kepada orang sekitarnya sehingga mampu membuat orang lain melakukan sesuatu. Semua hal positif yang dilakukannya sangat berdampak baik kepada kita sekarang.

Nah, itulah biografi RA Kartini secara lengkap beserta teladan-teladan yang bisa kita ikuti. Semoga dengan mengetahui biografi RA Kartini, kita menjadi generasi penerus yang memiliki sifat-sifat RA Kartini.

Sampai saat ini kita tahu bahwa jasa RA Kartini sangatlah besar bagi Bangsa ini. Kalau RA Kartini pada jaman itu saja bisa memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa, apalagi kita yang hidup dengan berbagai kemudahan serta teknologi canggih. Seharusnya kita juga mampu memberikan sesuatu yang besar bagi Bangsa ini.

 

KI HAJAR DEWANTORO

Ki Hadjar Dewantara

 

Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara Mimbar Umum 18 October 1949 p2.jpg

Ki Hadjar Dewantara

Menteri Pengajaran Indonesia ke-1

Masa jabatan
2 September 1945 – 14 November 1945

Presiden

Sukarno

Pendahulu

Tidak ada, jabatan baru

Pengganti

Todung Sutan Gunung Mulia

Informasi pribadi

Lahir

2 Mei 1889
Bendera Belanda Pakualaman, masa Hindia Belanda

Meninggal dunia

26 April 1959 (umur 69)
Bendera Indonesia YogyakartaIndonesia

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/c/ca/Ki_hajar_dewantara.jpg

Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBISuwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Pakualaman2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun;[1] selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).[3]

Daftar isi

·         1Masa muda dan awal karier

·         2Aktivitas pergerakan

·         3Als ik een Nederlander was

·         4Dalam pengasingan

·         5Taman Siswa

·         6Pengabdian pada masa Indonesia merdeka

·         7Galeri

·         8Referensi

·         9Pranala luar

Masa muda dan awal karier[sunting | sunting sumber]

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, SediotomoMidden JavaDe ExpresOetoesan HindiaKaoem MoedaTjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Aktivitas pergerakan[sunting | sunting sumber]

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.

Als ik een Nederlander was[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a2/Soewardi1919Lebeau.jpg/220px-Soewardi1919Lebeau.jpg

Ki Hadjar Dewantara 
(Chris Lebeau, 1919)

Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Dalam pengasingan[sunting | sunting sumber]

Soewardi, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai) tahun 1914 saat diasingkan di Negeri Belanda

Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Tahun 1913 dia mendirikan Indonesisch Pers-bureau, "kantor berita Indonesia". Ini adalah penggunaan formal pertama dari istilah "Indonesia", yang diciptakan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggeris George Windsor Earl dan pakar hukum asal Skotlandia James Richardson Logan.

Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan IndiaSantiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

Taman Siswa[sunting | sunting sumber]

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian pada masa Indonesia merdeka[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/6/6d/Patung_ki_hadjar_dewantara.jpg/220px-Patung_ki_hadjar_dewantara.jpg

Patung Ki Hajar Dewantara

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Galeri[sunting | sunting sumber]

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4a/Commons-logo.svg/30px-Commons-logo.svg.png

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Ki Hajar Dewantara.

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/3a/Ki_Hadjar_Dewantara_Mimbar_Umum_18_October_1949_p2.jpg/79px-Ki_Hadjar_Dewantara_Mimbar_Umum_18_October_1949_p2.jpg

Potret di Mimbar Umum18 Oktober 1949

 

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/7b/Ki_Hadjar_Dewantara%2C_funeral_procession_%28page_114%29.jpg/120px-Ki_Hadjar_Dewantara%2C_funeral_procession_%28page_114%29.jpg

Pemakaman Ki Hajar Dewantara

 

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e9/Ki_Hadjar_Dewantara%2C_with_Sukarno_%28page_100%29.jpg/120px-Ki_Hadjar_Dewantara%2C_with_Sukarno_%28page_100%29.jpg

Ki Hajar Dewantara dengan Sukarno

 

·         https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/c5/Ki_Hadjar_Dewantara%2C_writing_%28page_87%29.jpg/120px-Ki_Hadjar_Dewantara%2C_writing_%28page_87%29.jpg

Ki Hajar Dewantara sedang menulis

Referensi[sunting | sunting sumber]

1.    ^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.

2.    ^ Uang Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April 2011.

3.    ^ "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA"

 

 

PERJUANGAN BUDI UTOMO

Budi Utomo

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/c/cc/Monumen_Kebangkitan_Nasional_Solo_by_Bennylin_02.jpg/220px-Monumen_Kebangkitan_Nasional_Solo_by_Bennylin_02.jpg

Monumen Kebangkitan Nasional di Solo.

Budi Utomo (ejaan van OphuijsenBoedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr.Soetomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua" yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatra maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.

Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa, Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

·         (Indonesia) Mengusung "Nasional" dari Bangku Sekolah

 

 

 

Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia ,Proklamasi dan Perumusan Pancasila Dasar Filsafat Negara UUD 1945

soekarno-di-tugu

 

“A. Sejarah Indonesia Sebelum Kemerdekaan”

 

Kedatangan Bangsa Bangsa Eropa

 

  1. Masa Bangsa Portugis

 

Sebelum merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan oleh beberapa negara asing. Dimulai dari Portugis yang pertama kali tiba di Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511 yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.

 

  1. Masa Bangsa Spanyol

Keberhasilan Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk ikut mencari untung. Kalau Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate, Spanyol lebih tertarik bersekutu dengan Tidore. Terjadilah persaingan antara Portugis dan Spanyol di kawasan Maluku. Spanyol kemudian membangun benteng di Tidore. Pembangunan benteng ini semakin memperuncing persaingan persekutuan Portugis dan Ternate dengan Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada tahun 1527 terjadilah pertempuran antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore yang dibantu oleh Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut oleh persekutuan Ternate dan Portugis.

Portugis dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat persaingan itu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya menyepakati diadakanlah Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain;

  1. Maluku menjadi daerah pengaruh dan kegiatan Portugis
  2. Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri di Filipina

Perjanjian ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku. Dalam melaksanakan monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk menanamkan kekuasaan di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate kemudian menentang Portugis.

 

 

  1.  Masa Pemerintahan penjajah Belanda

 

Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat, akhirnya VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian Giyanti yang isinya adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.

Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda menunjuk Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels, masyarakat Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung lama dan digantikan oleh Johannes van den BoschVan den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.

 

  1.  Masa Pemerintahan penjajah Jepang

Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda di Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang antara lain adalah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).

Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan Negara imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai Negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barang-barang industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industry apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil industri yang luas. Dengan demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan.

 

 

  1. Perlawanan rakyat terhadap penjajah

Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng Aceh perlawanan terhadap Jepang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah tersebut). Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat.

Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.

2.    Persiapan kemerdekaan

Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu di Perang Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang. Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.

Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.

3.    Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul SalehSukarni, dan Wikana berdiskusi dengan Ibrahim dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjomelakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.

Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

 

**Naskah asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional (Gambar)

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain SoewirjoWilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Peloporyang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama.

 

“B. Sejarah Indonesia Sesudah Merdeka”

 

  1. Konflik Indonesia dan Belanda

Atas nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.

Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya,sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkanorang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australiasetelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia.

Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas Oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu. Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) ternyata memiliki agenda yang terselubung. Kedatangan pasukan Sekutu justru diboncengi oleh NICA yang tidak lain adalah orang-orang Belanda yang ketika Jepang dating melarikan diri ke Australia dan membentuk kekuatan di sana. Mereka memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Dengan demikian sikap Indonesia yang semula menerima kedatangan Sekutu menjadi penuh kecurigaan dan kemudian berkembang menjadi permusuhan.

 

  1. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Peristiwa di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kedatangan pasukan Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Khusus untuk Surabaya, Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian dari divisi ke-23 Sekutu. Brigade 49 dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober 1945. Pada mulanya pemerintah Jawa Timur enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian dibuat kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.

Suryo dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah sebagai berikut.

1)      Inggris berjanji tidak mengikutsertakan angkatan perang Belanda

2)      Menjalin kerja sama kedua pihak untuk menciptakan kemanan dan ketentraman

3)      Akan dibentuk kontrak biro

4)      Inggris akan melucuti senjata Jepang

Dengan kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota Surabaya. Ternyata pihak Inggris ingkar janji. Itu terlihat dari penyerbuan penjara Kalisosok 26 Oktober 1945. Inggris menduduki pangkalan udara Tanjung Perak tanggal 27 Oktober 1945, serta menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjatasenjata mereka. Kontrak senjata antar Sekutu dan rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945. Karena terjadi kontak senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan Wakil

Presiden Moh. Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak merumuskan hasil perundingan sebagai berikut.

1)      Surat-surat selebaran/pamflet dianggap tidak berlaku

2)      Serikat mengakui keberadaan TKR dan Polisi Indonesia

3)      Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kampkamp tawanan dijaga bersama-sama Serikat dan TKR

4)      Tanjung Perak dijaga bersama TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia

Walaupun sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota Surabaya tetap terjadi bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang bersenjata. Pertempuran seru terjadi di Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan A.W.S. Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan Serikat. Karena begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal, yaitu meninggalnya A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing.

Peristiwa ini terjadi tanggal 30 Oktober 1945. Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak Inggris memperingatkan rakyat Surabaya dan meminta pertanggungjawaban. Mereka mengancam agar rakyat Surabaya menyerah dan akan dihancurkan apabila tidak mengindahkan seruan itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas dendam atas pembunuhan A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang ditentukan. Disamping itu, pemuda bersenjata harus menyerahkan senjatanya. Ultimatum Inggris itu secara resmi ditolak rakyat Surabaya melalui pernyataan Gubernur Soerjo. Karena penolakan itu, pertempuran tidak terhindarkan lagi, maka pecahlah pertempuran pada tanggal 10 November 1945.

Sekutu mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat. Peristiwa heroik ini berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang memakan korban banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia yang berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya sekaligus mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia.

2.    Pertempuran Ambarawa

Pertempuran ini berlangsung tanggal 20 November sampai dengan 15 Desember 1945 antara TKR dan pasukan Inggris. Peristiwa itu berawal dari kedatangan tentara sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945. Tujuan semula pasukan itu adalah mengurus tawanan perang. Akan tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh NICA yang kemudian mempersenjatai para tawanan.

Di Ambarawa tanggal 20 Oktober 1945 pecahlah pertempuran antara TKR yang dipimpin Mayor Sumarto dengan tentara Serikat. Dalam pertempuran itu gugur Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Kolonel Isdiman, komando pasukan diambil alih oleh Letnan Kolonel Sudirman yang saat itu menjabat sebagi panglima divisi Banyumas. Pasukan Serikat menggunakan para tawanan Jepang yang telah dipersenjatai untuk ikut bertempur. Mereka juga mengerahkan tank dan senjata berat lainnya.

Pada tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia melancarkan serangan serentak. Setelah bertempur selama empat hari, akhirnya pasukan Indonesia berhasil mengusir tentara Serikat dari Ambarawa dan memukul mundur mereka sampai Semarang.

3.  Medan Area

Mr. Teuku M. Hassan yang telah diangkat menjadi gubernur mulai membenahi daerahnya. Tugas pertama yang dilakukan Gubernur Sumatera ini adalah menegakkan kedaulatan dan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk wilayah Sumatera. Oleh karena itu, mulai dilakukan pembersihan terhadap tentara Jepang dengan melucuti senjata dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Pada tanggal 9 Oktober 1945, di Medan mendarat pasukan Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para Pemuda Indonesia dan Barisan Pemuda segera membentuk TKR di Medan. Pertempuran pertama pecah tanggal 13 Oktober 1945 ketika lencana merah putih diinjak-injak oleh tamu di sebuah hotel. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut sehingga mengakibatkan 96 korban luka-luka. Para korban ternyata sebagian orang-orang NICA. Bentrokan antar Serikat dan rakyat menjalar ke seluruh kota Medan. Peristiwa kepahlawanan ini kemudian dikenal sebagai pertempuran “Medan Area”.

4. Bandung Lautan Api

Istilah Bandung Lautan Api menunjukkan terbakarnya kota Bandung sebelah selatan akibat politik bumi hangus yang diterapkan TKR. Peristiwa itu terjadi tanggal 23 Maret 1946 setelah ada ultimatum perintah pengosongan Bandung oleh Sekutu. Seperti di kota-kota lainnya, di Bandung juga terjadi pelucutan senjata terhadap Jepang. Di pihak lain, tentara Serikat menghendaki agar persenjataan yang telah dikuasai rakyat Indonesia diserahkan kepada mereka. Para pejuang akhirnya meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumihanguskan kota Bandung. Peristiwa tragis ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.

      5.Tragedi Nasional (Masa Orde Lama)

Tragedi nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia. Tragedi ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa Indonesia sekaligus merupakan ancaman, tantangan dan hambatan. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat mengganggu upaya menata kembali bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan.

6.Pemberontakan PKI Madiun 1948

Peristiwa Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukn Fron Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa partai seperti partai Sosialis, Pesindo, partaiBuruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa Madiun itu diawali dari kota Solo yang dilakukan oleh para pengikut Muso dan Amir SyarifuddinPada tahun 1948 Muso kembali dari Rusia. Sekembalinya itu Musobergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Ajaranyang diberikan pada para anggota PKI adalah mengadu domba kesatuan nasional denganmenyebarkan teror. . Pada tanggal 18 September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh politiknya dibunuh oleh PKI.

Dengan terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan segera mengambil tindakan tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah pemerintah mengangkat Gubernur Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi Semarang, Pati dan Madiun. Walaupun dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam peristiwa Madiun menelan banyak korban, namun tindakan itu demi mempertahankan Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda melakukan agresi terhadap Republik Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan melaukan pemberontakan yang sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.

 

7.Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan)

Salah seorang yang juga menjadi dalang dalam pemberontakan Andi Aziz adalah Dr. Chr. R.S. Soumokil datang ke Ambon. Ketika itu Soumokil menjabat sebagai Jaksa Agung Negara Bagian Indonesia Timut (NIT). Dia mempengaruhi pada anggota KNIL agar membentuk Republik Maluku Selatan (RMS). RMS kemudian diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950. Pemerintah berusaha mengakhiri teror yang dilakukan oleh gerombolan RMS terhadap rakyat Maluku Tengah. Walaupun sudah dilakukan upaya damai, namun RMS tetap melakukan terror terhadap rakyat.

Pemerintah kemudian mengambil jalan dengan mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan tersebut. Pada 14 Juli 1950 pasukan dari APRIS mulai mendarat di Maluku. Pada bulan Desember 1950 seluruh Maluku Tengah dapat dikuasai oleh APRIS. Para pemberontak melarikan diri ke pulau Seram. Pada tanggal 2 Desember 1953 Somoukil dapat ditangkap dan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa dia dijatuhi hukuman dengan pidana mati.

8.Gerakan 30 September 1965 (G.30 S / PKI)

Sebagai fakta sejarah setiap orang Indonesia tidak akan melupakannya, bahwa di negara ini pernah terjadi peristiwa di tahun 1965 yang dikenal dengan nama Gerakan 30 September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30 S/PKI) . Pada dini hari 1 Oktober 1965 mereka membunuh enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke Desa Lubang Buaya sebelah Selatan pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Mereka itu adalah:

  1. Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad yani
  2. Deputy II Men/Pangad, Mayor Jenderal R.Soeprapto
  3. Deputy III Men/Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
  4. Asisten I Men/Pangad, Mayor Jenderal Siswodo Parman
  5. Asisten IV Men/Pangad Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan
  6. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
  7. Letnan Satu Pierre Andrean Tendean

Peristiwa G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno, bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik peristiwa tersebut. Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Aksi mogok demonstrasi mulai dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia.

Di samping itu juga mereka melakukan aksi corat-coret serta tempelantempelan pada kendaraan-kendaraan bermotor yang antara lain berbunyi mengecam kepemimpinan Soekarno dan PKI. Mereka bertekad akan terus mogok sampai tuntutan mereka terpenuhi. Khususnya kendaraan-kendaraan ABRI diberi jalan dan disambut dengan meriah “hidup ABRI”. Peranan Amerika nampaknya besar di balik peristiwa ini, sebagai introspeksi diri bahwa semua ini terjadi karena kondisi politik di dalam negeri tidak stabil. Dari aksi para mahasiswa tersebut menghasilkan sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya:

  1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang bernaung dibawahnya
  2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G 30 S/PKI
  3. Turunkan harga/perbaikan ekonomi

Untuk menjawab tuntutan tersebut maka Kabinet Dwikora mengadakan sidangnya di Istana Negara pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 yang dipimpin oleh Soekarno. Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir, kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto karena sakit flu.

Presiden Sukarno mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan liar dengan kekuatan satu kompi mengepung istana. Ia langsung berhenti memimpin sidang, kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sidang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan sidang ini gagal. Melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud dan Brigjen M.Yusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana kepada Letjen Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada Menteri/Pangad untuk menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi sebenarnya di Jakarta.

Sore hari ketiga perwira itu menghadap Presiden yang didampingi oleh Dr. Soebandrio, Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu ke Bogor disusul oleh ajudan Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur. Ketiga perwira ini mencoba menyakinkan presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai siatuasi dewasa ini ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah pengamanan dan penertiban keadaan.

Dan setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 memberikan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, surat mini dikenal dengan nama Supersemar. Secara umum Supersemar mempunyai arti penting, di antaranya:

  1. Keluarnya Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
  2. Dengan Supersemar menyebabkan Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
  3. Berlandaskan Supersemar Letnan Jenderal

Soeharto harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada perjalanan hidup bangsa dan negara.

 

 

 

 

 

SEJARAH PROKLAMASI NEGARA INDONESIA

 

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia.

Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut SaigonVietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Pada tanggal 10 Agustus 1945Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Para pemuda pejuang termasuk Chaerul saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih dan pemuda lainnya membawa soekarno, beserta fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan dan hatta ke rengasdengklok yang kemudian dikenal dengan peristiwa rengasdengklok.

Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Dan Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, Lalu bertemu dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.

Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh SoekarniB.M. Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Dan Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik milik Mayor Dr. Hermann Kandeler (dari kantor perwakilan AL Jerman). Dan  pembacaan proklamasi dilakukan dikediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain SoewirjoWilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan oleh seorang prajurit PETA yaitu Latief Hendraningrat dibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi membawa nampan berisi bendera Merah Putih . Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum TuguMonumenNasional.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional

  1. KRONOLOGI PERUMUSAN PANCASILA DASAR FILSAFAT NEGARA, PEMBUKAAN DAN PASAL-PASAL UUD 1945

·         Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

(BPUPKI) beranggotakan sebanyak 63 orang, dengan ketua dr. Rajiman Wedyiningrat dan wakil ketua Icibangase dari Negara Jepang. Sekretarisnya adalah R.P. Soeroso. Anggota (BPUPKI) resmi diumukan pada tanggal 28 April 1945 dan upacaranya dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri).

·         Masa Persidangan Pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Masa persidangan pertama kali yang diselenggarakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu dimulai pada tanggal 29 Meti 1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam persidangan BPUPKI membahas tentang dasar-dasar Negara untuk bisa bangsa Indonesia merdeka, bebagai pendapat telah dikemukakan. Berikut Pedapat yang di sampaikan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr. Supomo dan Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI:

  1. Mr.Mohammad Yamin

Menyampaikan pendapatnya pada tanggal 29 Mei 1945 dengan judul “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” yang berintikan sebagai berikut :

  1. Peri kebangsaan
  2. Peri kemanusiaan
  3. Peri ketuhanan
  4. Peri kerakyatan
  5. Kesejahteraan rakyat
  1. Mr. Supomo

Menyampaikan pendapatnya pada tanggal 31 Mei 1945 tentang masalah-masalh yang berhubungan dengan dasar-dasar Negara Republik Indonesia merdeka, yang berdasarkan atas beberapa hal dan diberi nama Pancasila, dan kemudian pada tanggal 1 Juni diperingatilah sebagai hari lahirnya Istilah Pancasila, Berikut beberapa hal yang disampaikan oleh Mr. Supomo :

  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan batin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan sosial
  1. Ir. Soekarno

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya di hadapan sidang hari ketiga Badan Penyelidik. Dalam pidato itu dikemukakan/diusulkan juga lima hal untuk menjadi dasar-dasar Negara Merdeka yang perumusan serta sistematikanya sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhan yang berkebudayaan

·         Masa Persidangan kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Setelah masa persidangan pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei–1 Juni 1945 berakhir, namun belum juga mendapatkan atau belum terbentuk juga rumusan dasar Negara Indonesia merdeka, maka BPUPKI akhirnya membentuk panitia untuk menampung aspirasi tentang pembentukan atau rumusan dasar Negara Indonesia merdeka yang beranggotakan 9 orang, diantaranya adalah Ir. Sukarno (ketua), Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A. A. Maramis. Pada akhirnya panitia 9 itu berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia merdeka pada tanggal 22 Juni 1945 dan rumusan itu diberi nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter oleh Mr. Moh. Yamin.

Pada tanggal 10-16 Juli 1945, BPUPKI melangsungkan persidangan yang kedua untuk membahas rancangan UUD dan dibentuklah panitia perancangan UUD yang pimpin oleh Ir. Soekarno. Kemudian panitia tersebut membentuk sebuah kelompok kecil yang beranggotakan 7 orang dengan ketua Mr. SUpomo dengan 6 anggotanya yaitu : Wongsonegoro, Ahmad Subarjo, Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman. Setelah hasil didapat dan sudah disempurnakan oleh penghalus bahasa kemudian hasil perumusan UUD tersebut disampaikanlah atau dilaporkan oleh Ir.Soekarno di sidang BPUPKI pada tanggal 14 Juli 1945 yang berisikan 3 hal pokok yaitu, pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan undang-undang dasar, dan undang-undang dasar (batang tubuh). Pada tanggal 15-16 Juli 1945 diadakan kembali sidang untuk menyusun undan-undang dasar yang berdasarkan hasil kerja panitia sembilan, kemudian pada tanggal 17 Juli 1945 dilaporkanlah hasil kerja penyusunan undang-undang dasar dan akhirnya laporan tersebut diterima sidang pleno BPUPKI.

·         Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia

Pada tanggal 07 Agustus 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibubarkan oleh Jepang, kemudian Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI. PPKI dibentuk dengan anggota sebanyak 21 orang yang diketuai atau dipimpin oleh Ir. Soekarno, namun pada tanggal 18 Agustus 1945 pimpinan atau ketua PPKI Ir. Soekarno menambahkan anggota untuk menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI yaitu sebanyak 6 orang, sehingga total anggota dari panitia PPKI ini adalah 27 orang, yaitu diantaranya Ketua Ir. Soekarno, wakilnya Drs. Moh. Hatta, dan penasihatnya Ahmad Subarjo. Adapun anggotanya adalah Mr. Supomo, dr. Rajiman Wedyodiningrat, R.P. Suroso, Sutardjo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Suryohamijoyo, Abdul Kadir, Puruboyo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir, Abdul Abbas, Teuku Moh. Hasan, Hamdani, Sam Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti Ktut Pudja, Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, dan Iwa Kusumasumantri.

·         Proses Penetapan Dasar Negara dan Konstitusi Negara Indonesia

Sidang pertama kali PPKI dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan pembahasan konstitusi Negara Indonesia yaitu, Presiden dan Wakil Presiden Negara Indonesia beserta lembaga-lembaga yang dibentuk untuk membantu tugas Presiden Indonesia. Namun, sebelum sidang dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri untuk mencari penyelesaian masalah kalimat ”… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.Tokoh-tokoh Islam yang membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Dan pada akhirnya para tokoh PPKI mendapatkan hasil dengan menghilangkan kalimat tersebut dengan untuk tidak mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, begitulah semangat rasa nasionalisme dan jiwa besar yang ditunjukkan oleh para tokok PPKI.

·           Perbedaan dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

Pada tanggal 18 Agustus 1945 sidang pertama PPKI rancangan UUD hasil kerja dari BPUPKI dibahas kembali, Pada sidang pembahasan itu terdapat 2 usul perubahan yang diberikan oleh kelompok Muh. Hatta, 2 usul tersebut berisikan seperti dibawah ini :

1) Usul yang pertama, berkaitaan dengan sila perta yang semulanya berbunyi “”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2)  Usul yang kedua, ab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi ”Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi ”Presiden ialah orang Indonesia asli”.

Dan akhirnya 2 usulan yang disampaikan oleh Muh, Hatta diterima dan disahkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Indonesia (UUD 1945) yang di umumkan dalam berita Republik Indonesia pada tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45-48.

·         Sistematika Undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) itu terdiri atas 3 hal, yaitu :

1)        Pembukaan (mukadimah) UUD 1945 terdiri atas empat alinea. Pada Alenia ke-4 UUD 1945 tercantum Pancasila sebagai dasar negara yang berbunyi sebagai berikut:

Pancasila

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2)        Batang tubuh UUD 1945 terdiri atas 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan.

3)        Penjelasan UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Rumusan Dasar Negara Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang sah dan benar, karena disamping mempunyai kedudukan Konstitusional juga disahkan oleh suatu Badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia (PPKI) yang berarti disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEDOMAN PENGHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Lengkap)

Ditulis oleh Admin I  23 Nov 2015  2 Komentar

Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (biasah disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa merupakan sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru.

 

Panduan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila dibentuk melalui Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Ketetapan tersebut berisi tentang Eka Prasetya Pancakarsa yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Tap MPR no. II/MPR/1978 telah dicabut melalui Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003

 

Baca Juga: Sejarah Hari Kesaktian Pancasila

 

Berikut merupakan poin-poin dalam butir-butir pancasila. silakan Resapi dan hayati isinya. isi butir butir pancasila:

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Butir Pengalaman Sila Pertama Pancasila, Bintang Tunggal

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa (Ada 7 Butir Pengalaman)

  • Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME, sesuai dengan agama dan kepercayaannya sendiri-sendiri menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  • Bangsa Indonesia menyatakan ketakwaannya dan kepercayaannya terhadap Tuhan YME.
  • Mengembangkan sikap hormat dan menghormati serta bekerjasama antar pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan YME.
  • Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME kepada orang lain.
  • Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan YME.
  • Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
  • Mengembangkan sikap yang saling menghormati dan menghargai kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

 

 

Baca Juga

·         Pengertian dan Syarat Naturalisasi, Lengkap Penjelasan Naturalisasi Biasa dan Istimewa

·         Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan PKI Madiun

·         Pengertian, Sejarah, Latarbelakang & Tujuan Gerakan Non Blok

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Butir Pengalaman Sila Kedua Pancasila, Rantai Emas

Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (Ada 10 Butir Pengalaman)

  • Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda bedakan keturunan, suku, agama, jenis kelamin, kepercayaan, warna kulit, kedudukan sosial dan sebagainya.
  • Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME.
  • Mengembangkan sikap tepa selira dan saling tenggang rasa.
  • Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  • Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  • Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  • Berani membela kebenaran dan keadilan.
  • Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
  • Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  • Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.

 

 

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Butir Pengalaman Sila Ketiga Pancasila, Pohon Beringin

Baca Juga: Kumpulan Posting Tentang CPNS (Terlengkap dan Gratis)

 

Sila ketiga, Persatuan Indonesia (Ada 7 Butir Pengalaman)

  • Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  • Mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta keselamatan dan kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  • Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  • Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  • Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
  • Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  • Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.

 

 

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Butir Pengalaman Sila keempat Pancasila, Kepala Banteng

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Ada 10 Butir Pengalaman)

  • Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  • Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban yang sama.
  • Mengunakan Musyawarah guna mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  • Mengutamakan musyawarah saat mengambil atau menentukan keputusan untuk kepentingan bersama.
  • Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  • Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  • Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab, selalu melaksanakan dan menerima hasil keputusan musyawarah.
  • Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  • Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
  • Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

 

 

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Butir Pengalaman Sila kelima Pancasila, Padi Kapas

Sila kelima. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Ada 11 Butir Pengalaman)

  • Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  • Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang memperlihatkan sikap dan suasana kekeluargaan dan ke gotongroyo ngan.
  • Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang berkeadilan sosial dan merata.
  • Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  • Menghormati hak orang lain.
  • Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  • Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  • Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  • Suka bekerja keras.
  • Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  • Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.

 

Baca Juga: Arti dan Makna Lambang dan Simbol Negara (Lengkap)

 

Dalam perjalanannya ke 36 butir Pengalaman pancasila dikembangkan menjadi 45 butir oleh BP7. Namu Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir tersebut benar-benar diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

 

Baca Juga: 10 Fungsi dan Kedudukan Pancasila

 

Sekian Artikel tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi sobat MARKIJAR.Com dan dapat memberikan pengetahuan mengenai wawasan Kebangsaan Indonesia.

10 Fungsi dan Kedudukan Pancasila

Ditulis oleh Sriwati  24 Nov 2015  4 Komentar

Fungsi dan Kedudukan Pancasila - Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari bahasa Sanskerta: "pañca" berarti lima dan "śīla" berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fungsi dan Kedudukan Pancasila

Fungsi dan Kedudukan Pancasila

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila memiliki banyak Kedudukan dan Fungsi bagi bangsa Indonesia, Berikut Ini adalah beberapa kedudukan dan fungsi Pancasila Bagi Bangsa Indonesia:

 

Fungsi dan Kedudukan Pancasila:

1. Pancasila Sebagai Dasar Negara bangsa Indonesia

Dasar negara merupakan fundamen atau Alas yang dijadikan pijakan serta dapat memberi kekuatan kepada berdirinya suatu negara. Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu alas atau landasan yaitu Pancasila. Pancasila pada fungsinya sebagai dasar negara, adalah sumber kaidah hukum yang mengatur Bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni rakyat, pemerintah dan wilayah. Pancasila pada posisi seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara serta seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.


Baca Juga: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Lengkap)

 

2. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup

Pancasila merupakan kristalisasi pengalaman hidup dalam sejarah bangsa indonesia yang telah membentuk watak, sikap, prilaku, etika dan tata nilai norma yang telah melahirkan pandangan hidup. Pandangan hidup sendiri adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian dari nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berguna sebagai pedoman / tuntunan untuk mengatur hubungan sesama manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan lingkungan.

 

Baca Juga

·         (Lengkap + Gratis) Materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) CPNS

·         45 Butir-Butir Pengamalan Pancasila (Sila Ke-1 sampai Ke-5) dengan Contoh dan Penjelasan

·         20 Pengertian Politik Menurut Ahli Lengkap Sejarah, Ruang Lingkup dan Cabang Ilmu Politik

3. Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia

Ideoligi berasal dari kata “Idea” yang berarti konsep, gagasan, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti ilmu jadi Ideologi dapat diartikan adalah Ilmu pengertian-pengertian dasar. Dengan demikian Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dimana pada hakikatnya adalah suatu hasil perenungan atau pemikiran Bangsa Indonesia. Pancasila di angkat atau di ambil dari nilai-nilai adat istiadat yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia, dengan kata lain pancasila merupakan bahan yang di angkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia.

 

4. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia

Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan yang ada di masyarakat indonesia, hal tersebut melalui penjabaran instrumental sebagai acuan hidup yang merupakan cita-cita yang ingin digapai serta sesuai dengan jiwa Indonesia serta karena pancasila lahir bersamaan dengan lahirnya Indonesia. Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai jiwa Bangsa lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia yaitu pada jaman dahulu kala pada masa kejayaan nasional.

 

5. Pancasila merupakan Sumber dari segala sumber tertib hukum

Poin ini dapat diartikan bahwa segala peraturan perundang-undangan / hukum yang berlaku dan dijalankan di Indonesia harus bersumber dari Pancasila atau tidak bertentangan (kontra) dengan Pancasila. Karena segala kehidupan negara indonesia berdasarkan pancasila.

 

6. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia

Pancasila sebagai kepribadian bangsa karena Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain. dan Pancasila Merupakan wujud peran dalam mencerminkan adanya kepribadian Negara Indonesia yang bisa mem bedakan dengan bangsa lain, yaitu amal perbuatan, tingkah laku dan sikap mental bangsa Indonesia.

 

7. Pancasila sebagai Cita-cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia

Dalan Pancasila mengandung cita-cita dan tujuan negara Indonesia yang menjadikan pancasila sebagai patokan atau landasan pemersatu bangsa. dimana tujuan akhirnya yaitu untuk mencapai masyarakat adil, makmur yang merata baik materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila.

 

8. Pancasila sebagai Perjanjian Luhur

Karena saat berdirinya bangsa indonesia, Pancasila merupakan perjanjian luhur yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa untuk dilaksanakan, di lestarikan dan di pelihara. Artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara tanggal 18-Agustus-1945 pada sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia), PPKI ini merupakan wakil-wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian luhur (Pancasila) tersebut.

 

Baca Juga: Arti dan Makna Lambang dan Simbol Negara (Lengkap)

9. Pancasila sebagai Falsafah Hidup yang Mempersatukan Bangsa Indonesia

Pancasila merupakan sarana yang ampuh untuk mempersatukan Bangsa Indonesia. Karena Pancasila merupakan palsafah hidup dan kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, bijaksana, adil dan tepat bagi Bangsa Indonesia guna mempersatukan Rakyat Indonesia.

 

10. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional memiliki konsekuensi bahwa di dalam segala aspek pembangunan nasional wajib berlandasakan pada hakikat nilai nilai dari sila sila yang ada pada pancasila.

 

 

Sekian Artikel tentang Fungsi dan Kedudukan Pancasila, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi sobat MARKIJAR.Com dan dapat memberikan pengetahuan tentang Kedudukan dan Fungsi Pancasila Bagi Negara Indonesia yang sejatinya wajib diketahui oleh seluruh warga indonesia agar dijadikan pedoman dalam kehidupan.

 

 

KETAHANAN NASIONAL

Materi Ketahanan nasional, Pengertian, perkembangan, perwujudan, asas, sifat, fungsi, dll

 

Kita semua menyadari bahwa setiap bangsa mempunyai cita-cita luhur dan indah yang ingin dicapainya. Orang mengatakan bahwa cita-cita yang ingin dicapai oleh suatu bangsa mempunyai fungsi sebagai penentu dari tujuan nasionalnya. Lazimnya dalam usaha mencapai tujuan tersebut, bangsa bersangkutan menghadapi tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang senantiasa perlu dihadapi ataupun ditanggulangi. Oleh karena itu, suatu bangsa harus mempunyai kemampuan, kekuatan, ketangguhan dan keuletan. Umumnya inilah yang dinamakan ketahanan nasional, yang dapat juga disebut sebagai ketahanan bangsa (Suhady dan Sinaga, 2006).



Pengertian ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Ketahanan nasional diperlukan dalam rangka menjamin eksistensi bangsa dan negara dari segala gangguan baik yang datangnya dari dalam maupun dari dalam negeri. Untuk itu bangsa Indonesia harus tetap memiliki keuletan dan ketangguhan yang perlu dibina secara konsisten dan berkelanjutan.

 

1) Tujuan dan Fungsi Ketahanan Nasional

Srijanti, dkk (2009) menjelaskan tujuan, fungsi, dan sifat dari ketahanan nasional sebagai berikut:

a) Tujuan Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional diperlukan dalam menunjang keberhasilan tugas pokok pemerintahan, seperti tegaknya hukum dan ketertiban, terwujudnya kesejahteran dan kemakmuran, terselenggaranya pertahanan dan keamanan, terwujudnya keadilan hukum dan keadilan sosial, serta terdapatnya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasi diri.

b) Fungsi Ketahanan Nasional

Ketahanan nasional mempunyai fungsi sebagai:

(1). Daya tangkal, dalam kedudukannya sebagai konsepsi penangkalan, ketahanan nasional Indonesia ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa, dan negara Indonesia dalam aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

(2). Pengarah bagi pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan sehingga tercapai kesejahteraan rakyat.

(3). Pengarah dalam menyatukan pola pikir, pola tindak, dan cara kerja intersektor, antarsektor, dan multidisipliner. Cara kerja ini selanjutnya diterjemahkan dalam RJP yang dibuat oleh pemerintah yang memuat kebijakan dan strategi pembangunan dalam setiap sektor untuk mencapai tujuan nasional mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

 

2) Perwujudan Ketahanan Nasional

Perwujudan Ketahanan Nasional yang dikembangkan bangsa Indonesia meliputi (Bahan Penataran, BP7 Pusat, 1996):

a) Ketahanan ideologi, adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang berdasarkan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan untuk menangkal penetrasi ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

b) Ketahanan politik, adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia yang berlandaskan demokrasi yang bertumpu pada pengembangan demokrasi Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas politik yang sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang bebas aktif.

c) Ketahanan ekonomi, adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung kemampuan menerapkan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan makmur. d) Ketahanan sosial budaya, adalah kondisi kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang menjiwai kepribadian nasional yang berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hidup rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.

e) Ketahanan pertahanan keamanan, adalah kondisi daya tangkal bangsa Indonesia yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasilnya serta kemampuan mempertahankan kedaulatan Negara dan menangkal semua bentuk ancaman.

 

3) Ciri dan asas ketahanan nasional

Ketahanan nasional yang dikembangkan bangsa Indonesia bertumpu pada budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga berbagai cirri ketahanan nasional yang dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari tata kehidupan bangsa Indonesia (Suhady dan Sinaga, 2006).

a) Ciri Ketahanan Nasional

(1). Ketahanan nasional merupakan prasyarat utama bagi bangsa yang sedang membangun menuju bangsa yang maju dan mandiri dengan semangat tidak mengenal menyerah yang akan memberikan dorongan dan rangsangan untuk berbuat dalam mengatasi tantangan, hambatan dan gangguan yang timbul.

(2). Menuju mempertahankan kelangsungan hidup. Bangsa Indonesia yang baru membangun dirinya tidak lepas dari pencapaian tujuan yang dicitacitakan.

(3). Ketahanan nasional diwujudkan sebagai kondisi dinamis bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan bangsa untuk mengembangkan kekuatan dengan menjadikan ciri mengembangkan ketahanan nasional berdasarkan rasa cinta tanah air, setia kepada perjuangan, ulet dalam usaha yang didasarkan pada ketaqwaan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keuletan dan ketangguhan sesuai dengan perubahan yang dihadapi sebagai akibat dinamika perjuangan, baik dalam pergaulan antar bangsa maupun dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.

b) Asas Ketahanan Nasional

Pengembangan ketahanan nasional bangsa Indonesia didasari pada asasasas sebagai berikut:

(1).Kesejahteraandankeamanan;
(2).Utuhmenyeluruhterpadu;
(3).Kekeluargaan;
(4). Mawas diri;

 

 

 

SELAMAT BELAJAR DAN BERTUGAS

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar